Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
SUARA UTAMA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur mekanisme perpajakan untuk kegiatan e-commerce. Langkah ini, secara prinsip, dapat dipahami sebagai bagian dari upaya memperluas basis penerimaan negara seiring dengan meningkatnya transaksi ekonomi digital.
Namun demikian, di lapangan, kebijakan ini menimbulkan sejumlah tantangan implementatif, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjalankan usahanya melalui platform daring. Banyak dari mereka masih menghadapi keterbatasan dalam literasi perpajakan. Pemahaman dasar mengenai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), perbedaan antara omzet dan laba, serta kewajiban pelaporan pajak masih belum merata.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tanpa masa transisi yang cukup, pemberlakuan PMK 37/2025 berpotensi menimbulkan kebingungan bahkan keresahan. Tidak sedikit pelaku UMKM yang khawatir akan sanksi administratif akibat kekeliruan atau keterlambatan pelaporan. Padahal, yang dibutuhkan saat ini bukan hanya regulasi, tetapi juga edukasi dan pendampingan secara sistematis.
Di sisi lain, beban administratif juga dialami oleh platform marketplace. Mereka kini bertanggung jawab memungut, mencatat, dan melaporkan pajak dari penjual. Ini bukan tugas ringan, apalagi sistem administrasi pajak nasional—termasuk aplikasi Coretax—masih dilaporkan mengalami gangguan dan belum sepenuhnya stabil.
Dalam kondisi seperti ini, respons wajar dari sebagian penjual adalah melakukan penyesuaian harga untuk menutupi potensi beban pajak. Jika tren ini meluas, maka dapat berdampak pada naiknya harga produk secara umum di platform digital, menekan daya beli konsumen, dan dalam jangka panjang bisa mempengaruhi daya saing e-commerce nasional.
Salah satu isu kunci dari polemik ini adalah minimnya sosialisasi sebelum kebijakan diberlakukan. Idealnya, sebuah regulasi yang menyasar sektor padat pelaku seperti e-commerce didahului oleh masa transisi dan edukasi publik yang cukup. Pemerintah, dalam hal ini, dapat melibatkan asosiasi pelaku usaha, platform digital, dan tokoh masyarakat dalam menyampaikan informasi serta menjawab kekhawatiran yang muncul.
Pajak adalah tulang punggung pembangunan nasional. Namun untuk menjadi instrumen yang efektif, ia harus ditopang oleh kepercayaan publik. Kepatuhan pajak yang tumbuh dari kesadaran akan jauh lebih kokoh dibandingkan kepatuhan yang lahir karena ketakutan atau tekanan administratif.
PMK 37/2025 seharusnya menjadi peluang untuk memperkuat kolaborasi antara negara dan masyarakat dalam membangun sistem pajak yang modern dan adil. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya menekankan sisi regulatif, tetapi juga sisi edukatif dan fasilitatif dari kebijakan perpajakan digital.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














