SUARA UTAMA – Jakarta, 6 Agustus 2025 – Pembayaran royalti atas pemutaran lagu di ruang publik kembali mendapat perhatian publik. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengimbau agar Kementerian Hukum (Kemenkum) segera menyusun regulasi teknis yang mempermudah pelaku usaha, sekaligus melindungi hak-hak ekonomi para pencipta lagu. Menurutnya, dunia permusikan Indonesia sedang mengalami dinamika, dan DPR telah meminta agar Kementerian Hukum yang membawahi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) merumuskan aturan yang adil dan tidak memberatkan pelaku usaha.
“Revisi Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta masih dalam proses. Sambil menunggu revisi tuntas, kita perlu aturan yang jelas dan memberikan keadilan bagi pelaku usaha serta pencipta lagu,” jelas Dasco.
Dasco menggarisbawahi bahwa revisi tersebut diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum serta sistem pengelolaan royalti yang lebih transparan dan akuntabel. Pasalnya, kalangan pelaku usaha, terutama pemilik kafe, restoran, dan hotel, merasa terbebani oleh kewajiban pembayaran royalti atas lagu yang diputar di tempat usahanya. Prosedur penarikan royalti dianggap tidak transparan dan berpotensi membebani mereka, apalagi di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Meskipun demikian, data dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menunjukkan bahwa total pendapatan royalti pada 2023 mencapai lebih dari Rp150 miliar. Namun, distribusi royalti ini kepada pencipta lagu masih menjadi sorotan. Saat ini, ada 10 LMK yang beroperasi di Indonesia untuk menarik dan mendistribusikan royalti dari berbagai jenis penggunaan lagu.
Musisi dan pencipta lagu menuntut hak ekonomi mereka dipenuhi sesuai dengan regulasi yang berlaku, dengan mengingat bahwa pemutaran karya tanpa kompensasi dapat dianggap sebagai bentuk pembajakan yang dilegalkan. Dasco menekankan bahwa regulasi teknis yang disusun pemerintah dan LMK harus bersifat adil serta tidak memicu konflik baru antara pelaku usaha dan pencipta lagu.
Sebagai praktisi hukum, Yulianto Kiswocahyono menilai bahwa regulasi terkait royalti memang harus melibatkan keseimbangan antara hak-hak ekonomi pencipta lagu dan keberlanjutan usaha kecil, mikro, dan menengah (UMKM). Menurutnya, ada beberapa aspek yang perlu ditekankan dalam pengelolaan royalti di ruang publik. Pertama, perlu ada pengaturan yang jelas mengenai mekanisme perhitungan royalti yang bisa diakses oleh pelaku usaha dengan mudah, tanpa harus merasa dibebani oleh sistem yang rumit.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa pendapatan yang diperoleh dari royalti memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Namun, perlu ada kejelasan dalam perhitungan, khususnya bagi pelaku usaha kecil. Bagi UMKM, pembebanan tarif royalti harus proporsional dengan kemampuan mereka, dengan tidak mengorbankan hak-hak pencipta lagu,” jelas Yulianto.
Lebih lanjut, Yulianto menekankan pentingnya transparansi dalam penarikan royalti. “Mekanisme yang tidak jelas dapat memicu ketidakpercayaan. Oleh karena itu, peraturan teknis yang ada harus benar-benar mengakomodasi semua pihak secara adil,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua LMKN, Dharma Oratmangun, menjelaskan bahwa setiap musisi, pemusik, produser fonogram, dan penyanyi yang karya-karyanya diputar di ruang publik harus memberikan kuasa kepada LMK untuk mendapatkan hak ekonomi atas karyanya. Para penyelenggara ruang publik wajib membayar royalti melalui LMK. Dharma juga menambahkan bahwa suara alam seperti kicauan burung yang diputar di ruang publik juga dikenakan kewajiban royalti, mengingat hak terkait dengan rekaman dan produser fonogram.
Yulianto juga menyarankan agar tarif royalti disesuaikan dengan kapasitas usaha, dengan memberikan perhatian khusus kepada usaha mikro dan kecil yang memiliki keterbatasan. “Tarif khusus bagi UMKM memang sudah ada, namun hal itu harus dipastikan tidak hanya di atas kertas. Diperlukan evaluasi berkala untuk memastikan implementasinya sesuai dengan tujuan,” tambahnya.
Menurut Dharma, tarif royalti di Indonesia relatif rendah dibandingkan negara lain. Namun, untuk memberikan perlindungan kepada pelaku industri kreatif, tarif ini juga harus mempertimbangkan kapasitas ekonomi pelaku usaha.
Agung Damar Sasongko, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI Kemenkumham, menyatakan bahwa royalti adalah bentuk imbalan kepada pencipta atau pemegang hak cipta atas pemanfaatan karya lagu atau musik untuk kepentingan komersial. Praktik penarikan royalti ini sudah diatur sejak 1982 dan disempurnakan dalam UU Hak Cipta, termasuk dalam Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, yang juga memuat tarif khusus untuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Dengan adanya regulasi yang jelas dan mekanisme yang transparan, diharapkan sistem pengelolaan royalti di Indonesia dapat lebih efisien dan adil bagi semua pihak, baik pelaku usaha maupun pencipta lagu.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














