SUARA UTAMA — Aksi protes penolakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merebak dari desa hingga kota. Penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan target pendapatan daerah disebut pemerintah daerah sebagai dasar kebijakan, namun di lapangan warga menilai lonjakan tagihan terlalu memberatkan, terutama bagi petani, buruh, pensiunan, serta pelaku UMKM.
Di sejumlah daerah, warga turun ke jalan membawa spanduk dan poster yang memprotes kebijakan ini. Di wilayah pedesaan, petani mengeluhkan beban pajak yang semakin mencekik di tengah harga komoditas yang fluktuatif. Di kawasan perkotaan, pelaku usaha kecil hingga masyarakat berpenghasilan rendah juga mengaku tertekan dengan lonjakan tagihan PBB.
“Kami bukan menolak membayar pajak, tapi kenaikannya tidak masuk akal. Seolah rakyat dipaksa membayar lebih di saat ekonomi sedang sulit,” ujar Sumarno, petani dari Jawa Tengah, dalam orasinya di depan kantor bupati.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Lembaga swadaya masyarakat dan akademisi turut mengkritik kebijakan ini. Menurut pengamat ekonomi publik, Dr. Ratna Anggita, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kondisi daya beli masyarakat sebelum menaikkan tarif PBB. “Pendekatan yang tergesa-gesa justru bisa menurunkan tingkat kepatuhan pajak dan memicu konflik sosial,” tegasnya.
`Sorotan Media Nasional
Redaksi berbagai media arus utama menyoroti tiga isu inti:
- Keadilan dan Proporsionalitas — Editorial menekankan perlunya daya beli dan kondisi pascapandemi sebagai variabel kebijakan. Kenaikan serentak tanpa jeda dinilai rawan memukul rumah tangga kelas menengah bawah.
- Transparansi NJOP dan Data — Laporan mendalam meminta pemerintah daerah membuka metodologi penetapan NJOP, sumber data transaksi properti, serta alasan perbedaan kenaikan antar-kecamatan/desa.
- Dampak ke UMKM & Perumahan Rakyat — Liputan lapangan menunjukkan toko kecil, kios pasar, dan pemilik rumah sederhana menghadapi dilema antara membayar pajak atau menekan biaya kebutuhan lain. Media mendorong opsi tax relief berbasis kategori kerentanan.
Suara Politisi dan Wakil Rakyat
- Kalangan DPR RI menekan agar penyesuaian PBB memperhatikan mandat keadilan fiskal dan tidak menggerus konsumsi rumah tangga. Mereka mendorong Kemendagri/Kemenkeu mengeluarkan pedoman lebih rinci soal batas kenaikan, tahapan, dan skema keberatan yang mudah.
- Fraksi oposisi mengecam “kebijakan kejar setoran PAD” yang dinilai minim uji dampak sosial, sembari menuntut audit kebijakan NJOP di daerah yang kenaikannya ekstrem.
- Pemerintah daerah dan DPRD terbagi dua: satu kubu menilai penyesuaian krusial demi pembiayaan layanan publik; kubu lain meminta moratorium parsial agar ada waktu memetakan kelompok rentan dan memperbaiki basis data objek pajak.
Pandangan Akademisi & Pakar Kebijakan Publik
Pakar keuangan publik dan urban studies menggarisbawahi:
- Desain Bertahap (Staggered Increase) — Kenaikan sebaiknya dibagi menjadi beberapa tahap tahunan agar tidak menciptakan payment shock.
- Targeting Bansos Pajak — Perluasan pengurangan/pembebasan PBB untuk rumah sangat sederhana, veteran/pensiunan, lahan pertanian kecil, dan pelaku UMKM mikro. Instrumen seperti NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak) diusulkan dinaikkan untuk melindungi objek kecil.
- Mekanisme Keberatan yang Ramah Warga — Prosedur banding/keberatan disederhanakan, berbasis one-stop service, dengan tenggat jelas dan kanal digital yang mudah diakses.
- Perbaikan Data & Partisipasi — Pemutakhiran basis data objek pajak melibatkan RT/RW, kepala desa/lurah, dan komunitas lokal untuk menekan salah klasifikasi (misal rumah tua dinilai setara properti komersial).
Sikap Ormas Islam
Sejumlah ormas Islam menekankan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan, dan perlindungan yang lemah:
- Maslahah & Keadilan — Kebijakan pajak mesti menjaga hajat hidup mayoritas, tidak menjerumuskan kelompok rentan. Kenaikan PBB perlu menimbang kemampuan bayar dan memberi ruang ta’awun (gotong royong) melalui keringanan bagi yang membutuhkan.
- Akuntabilitas & Niat Publik — Pajak yang ditarik harus kembali ke rakyat dalam bentuk layanan nyata: air bersih, jalan lingkungan, sekolah, fasilitas kesehatan. Transparansi pemanfaatan dana pajak dipandang sebagai bagian dari amanah.
- Sinergi Zakat–Pajak — Dorongan agar kebijakan publik tidak “menggandakan beban”: umat yang taat berzakat jangan tertindih pajak yang melonjak. Skema keringanan bagi muzaki berpenghasilan rendah dapat dipertimbangkan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Konteks Regulasi Singkat
PBB Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) berada di kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Penetapan besaran didasarkan pada NJOP dengan ruang kebijakan daerah melalui peraturan kepala daerah/perda. Karena itu, variasi kebijakan antar-daerah terjadi dan perlu koridor pusat yang jelas agar tidak menimbulkan disparitas yang tak wajar.
Rekomendasi Praktis (Editorial)
- Jeda Kebijakan & Uji Dampak : Terapkan cooling period di daerah dengan lonjakan tajam; lakukan rapid social impact assessment untuk mengukur efek pada rumah tangga rentan dan UMKM.
- Keringanan Terarah & Skema Cicilan: Perluas pengurangan/ pembebasan untuk rumah sederhana, petani kecil, pensiunan, disertai opsi cicilan tanpa denda bagi wajib pajak yang terdampak.
- Standar Transparansi NJOP: Publikasikan metode penilaian, sumber data transaksi, dan peta kenaikan per wilayah—down to tingkat kelurahan/desa—agar publik bisa memeriksa.
- Saluran Keberatan yang Mudah & Cepat: Bangun kanal online–offline yang sederhana, dengan SLA putusan yang pasti dan gratis biaya administrasi untuk kelompok rentan.
- Komunikasi Publik Kolaboratif :Libatkan tokoh agama, ormas, akademisi, dan asosiasi UMKM dalam forum konsultasi sebelum penetapan angka final; sediakan FAQ dan simulasi tagihan berbasis alamat.
- Perbaiki Data & Keadilan Antarsektor : Pastikan aset komersial besar dan lahan nonproduktif berkontribusi proporsional, sehingga beban tidak bertumpu pada rumah tangga kecil.
Penutup : Gelombang protes PBB adalah alarm sosial: pajak memang nadi layanan publik, tetapi legitimasi fiskal lahir dari keadilan, transparansi, dan empati. Jalan tengah ada—kenaikan yang terukur, perlindungan yang nyata, dan dialog yang tulus—agar penerimaan daerah tumbuh tanpa merobek kantong rakyat kecil.














