Oleh: Eko Wahyu Pramono
Mahasiswa Ilmu Hukum dan Praktisi Pajak
SUARA UTAMA – Vonis pidana terhadap Bapak Tom Lembong selama 4 tahun 6 bulan telah menimbulkan keprihatinan luas, baik dari kalangan akademisi, profesional, hingga masyarakat umum. Kasus ini mengangkat kembali perdebatan lama tentang batas antara pelanggaran administratif dan ranah tindak pidana dalam kebijakan publik.
Sebagai mahasiswa ilmu hukum sekaligus praktisi pajak yang terbiasa bersinggungan dengan regulasi dan kewenangan pejabat negara, saya merasa perlu menyampaikan pandangan kritis namun tetap dalam kerangka hukum positif dan etika hukum atas persoalan ini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Fakta Singkat dan Posisi Hukum
Putusan ini berawal dari kebijakan impor yang dilakukan dalam masa krisis industri nasional. Tidak ditemukan adanya aliran dana, tidak ada bukti keuntungan pribadi, dan tidak terbukti adanya praktik suap atau gratifikasi. Namun, tindakan tersebut dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang karena tidak sesuai prosedur formal, dan berujung pada pidana.
Pertanyaan mendasarnya: Apakah pelanggaran administratif bisa langsung dijadikan dasar pemidanaan tanpa unsur kerugian negara dan niat jahat?
Lima Pokok Pertimbangan:
- Kewenangan Operasional adalah Milik BUMN, Bukan Menteri
Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, ditegaskan bahwa operasional perusahaan negara berada di tangan direksi, bukan pejabat kementerian. Oleh karena itu, pengambilan keputusan teknis atau bisnis sejatinya menjadi domain korporasi, kecuali terbukti terjadi intervensi yang melanggar hukum.
- Kerja Sama BUMN dan Swasta Bukan Tindakan yang Dilarang
Pasal 33 UUD 1945 telah membuka ruang bagi kerja sama antara negara dan swasta untuk mencapai efisiensi dan profesionalisme. Tidak ada norma hukum yang secara eksplisit melarang hal ini, selama tetap mematuhi prinsip transparansi dan akuntabilitas.
- Unsur “Mens Rea” Harus Dibuktikan Secara Meyakinkan
Dalam hukum pidana, niat jahat atau mens rea merupakan elemen pokok. Meski UU Tindak Pidana Korupsi tidak menyebutkannya secara eksplisit, namun doktrin hukum tetap menempatkan unsur niat sebagai syarat pembuktian yang sah. Jika seseorang tidak memiliki maksud untuk memperkaya diri, tidak menerima gratifikasi, dan tidak merugikan negara, maka unsur pidana seharusnya tidak terpenuhi.
- Pelanggaran Administratif Tidak Serta Merta Dipidana
Dalam banyak praktik pemerintahan, pelanggaran prosedur administratif lazim terjadi dan seharusnya ditangani secara internal atau melalui sanksi etik. Menarik kasus seperti ini ke ranah pidana berisiko menimbulkan ketakutan bagi pejabat yang hendak mengambil keputusan cepat demi kepentingan publik.
- Asas Kesetaraan di Hadapan Hukum Perlu Dijaga
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Maka bila tindakan yang sama dilakukan oleh pihak lain namun tidak diproses secara pidana, timbul kesan ketidakadilan yang merusak kepercayaan publik terhadap institusi hukum.
Hukum Bukan Alat Represi
Sebagai warga negara yang taat hukum, kita tentu harus menghormati keputusan pengadilan. Namun, bukan berarti kritik terhadap penegakan hukum tidak boleh disuarakan. Keadilan substantif harus berjalan seiring dengan legalitas formal. Dalam kasus ini, perlu ada refleksi: apakah sanksi pidana sudah benar-benar proporsional dan berdasarkan asas keadilan?
Apalagi jika keputusan diambil dalam situasi krisis dan tidak terbukti merugikan negara, pemidanaan dapat menimbulkan preseden buruk yang membuat pejabat publik enggan bertindak. Padahal keberanian mengambil keputusan sering kali dibutuhkan dalam kondisi darurat.
“Hukum bukan sekadar aturan yang kaku. Ia harus berpihak pada keadilan, bukan hanya pada prosedur.”
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














