SUARA UTAMA — Ketika saya membuka tayangan Tiktok dan mengkliknya sesuai putaran tontonan yang ada di Tiktok, dalam klikan itu terlihat acara Seminar Literasi Digital dan Tanggung Jawab Intelektual, yang diadakan oleh Universitas Al Azhar Jakarta pada hari Senin tanggal 30 Juni 2025 pukul 14.00 Wib. Dimana saat acara yang sedang berlangsung saya selaku jurnalis menjadi peserta informal untuk mengikuti secara vitual, dengan mengkorfimasi hadir menyimak acara Seminar tersebut yang melibatkan peserta Mahasiswa Universitas Al Azhar dengan salah satu Nara Sumber yaitu Hasan Nasbi dari Kepala Komunikasi Kepresidenan Republik Indonesia. Dalam kesempatan ini saya tertarik untuk menulis sebuah artikel karena urgensinya yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan.
Dunia Klik yang Menipu : Ketika Jean Baudrillard berbicara tentang simulakra, ia menyadarkan kita bahwa manusia modern tidak lagi hidup dalam realitas, melainkan dalam representasi realitas. Apa yang kita anggap “nyata” hari ini sering kali adalah hasil konstruksi algoritma, media sosial, dan arus informasi tanpa henti.
Hal ini sangat terasa dalam era digital. Kita tidak sekadar mengonsumsi informasi, tapi terus-menerus diseret ke dalam realitas semu yang menipu. Di sinilah literasi digital dan tanggung jawab intelektual menjadi kunci untuk kembali membumi di dunia nyata.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Simulakra dan Dunia Palsu
Jean Baudrillard menyebut simulakra sebagai tiruan dari tiruan, ketika representasi telah menggantikan realitas. Dalam konteks digital, simulakra adalah hoaks, clickbait, framing media yang manipulatif, dan konten viral tanpa dasar faktual.
Neil Postman dalam Amusing Ourselves to Death (1985) telah meramalkan bahwa masyarakat akan terjerat dalam hiburan dan informasi sepele yang tampak penting. “We are a people on the verge of amusing ourselves to death,” tulisnya.
Sementara Noam Chomsky menyatakan bahwa “The smart way to keep people passive and obedient is to strictly limit the spectrum of acceptable opinion.” Di dunia digital, spektrum opini dikontrol oleh algoritma, bukan lagi logika atau kebenaran.
Realitas Indonesia: Banyak Akses, Minim Literasi
Menurut laporan Digital 2024 Indonesia oleh We Are Social dan Meltwater:
- Pengguna internet Indonesia mencapai 185,3 juta (66,5% dari populasi).
- Rata-rata waktu penggunaan media sosial: 3 jam 6 menit per hari.
- Namun, menurut Survei Nasional Literasi Digital Kominfo 2023, indeks literasi digital Indonesia hanya 3,65 dari skala 5 (kategori sedang), dengan skor terendah pada aspek etika digital.
Artinya, masyarakat Indonesia melek akses, tapi belum melek makna. Banyak yang menyebarkan informasi tanpa verifikasi. Bahkan, kaum terdidik pun bisa terperangkap dalam narasi kebencian, teori konspirasi, atau polarisasi politik berbasis emosi.
Literasi Digital: Jalan Pulang dari Dunia Maya
Literasi digital bukan sekadar tahu cara menggunakan internet, tapi lebih dalam:
- Mampu menganalisis konten secara kritis,
- Memverifikasi sumber dan otoritas informasi,
- Memahami bias media dan algoritma,
- Bertindak etis dan bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi.
Henry Jenkins, pakar media dan budaya digital, menekankan pentingnya “participatory culture with civic responsibility”—budaya digital partisipatif yang tetap berpijak pada tanggung jawab sosial.
Tanggung Jawab Intelektual: Netral Tidak Cukup
Intelektual bukan sekadar pengamat. Di tengah krisis informasi, diam adalah kelalaian etis. Peran mereka tak lagi bisa netral. Intelektual harus:
- Menjadi penjernih makna, bukan penyebar kabut,
- Meluruskan narasi yang menyimpang,
- Menjadi evidence-based communicator,
- Dan yang terpenting: berpihak pada akal sehat, fakta, dan kemanusiaan.
Noam Chomsky pernah mengingatkan, “It is the responsibility of intellectuals to speak the truth and to expose lies.”
Menemukan Jalan Kembali ke Dunia Nyata
Dunia nyata bisa diselamatkan dari simulasi digital jika kita:
- Memperkuat pendidikan literasi digital di semua jenjang,
- Membangun komunitas kritis di ruang digital,
- Mendorong media dan platform untuk berorientasi pada kebenaran, bukan sekadar keterlibatan (engagement),
- Dan terakhir, membangun budaya berpikir yang tidak mudah puas hanya karena sesuatu viral atau trending.
Penutup: Dari Dunia Simulasi ke Dunia Berpikir
Dalam dunia yang dibanjiri informasi tapi kekurangan kebijaksanaan, tanggung jawab intelektual dan literasi digital adalah fondasi penting untuk menyelamatkan kewarasan publik. Kita harus melatih diri untuk berpikir jernih, memilah informasi, dan berani bersikap.
Karena dalam setiap klik, tersimpan pilihan: ikut menambah ilusi, atau membangun kesadaran. Dan sebagaimana peringatan Postman, jika kita tidak hati-hati, kita bukan hanya kehilangan kebenaran, tapi tertawa sambil menuju kehancuran berpikir.
Sumber Berita : • Baudrillard, Jean. Simulacra and Simulation • Postman, Neil. Amusing Ourselves to Death • Chomsky, Noam. Media Control • We Are Social & Meltwater. Digital 2024: Indonesia














