SUARA UTAMA- Kemarin, Kamis (10/10), saya melakukan perjalanan dari Rawajitu Timur Tulang Bawang menuju Bandar Lampung dengan jarak tempuh sekitar 220 KM tanpa melalui jalan tol.
Sepanjang perjalanan, ada hal menarik yang saya perhatikan yakni minimnya alat peraga kampanye (APK) pasangan Arinal Djunaidi dan Sutono (Arjuno). Padahal, Arinal adalah calon petahana yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur. APK mereka, seperti baliho dan spanduk, terlihat sangat jarang, bahkan dapat dihitung dengan jari. Hal ini memunculkan tanda tanya, mengingat Arinal sebagai petahana seharusnya memiliki akses lebih luas untuk memobilisasi dukungan visual di ruang publik. Sebelumnya, dalam Pilkada 2019, konon beliau didukung oleh salah satu raja kebun tebu di Lampung.
Di sisi lain, pasangan RMD dan Jihan justru mendominasi APK di berbagai titik sepanjang jalan dari Rawajitu Timur menuju Bandar Lampung. Sepertinya, hal serupa terjadi di seluruh wilayah Lampung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal lain, banyak bakal calon Bupati Tulang Bawang yang sejak jauh hari sudah menyebar APK- masih terpampang sepanjang jalan- telah mengeluarkan modal besar, namun akhirnya tidak jadi maju, gigit jari, karena tidak mendapat dukungan partai.
Ide Lama yang Belum Usang: Pemilihan Gubernur Tak Langsung
Saya kemudian merenung, seandainya saja kemaren-kematen itu Presiden Jokowi mendorong perubahan sistem pemilihan gubernur dari yang dipilih langsung oleh rakyat menjadi melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)? Langkah ini, meskipun terkesan kontroversial, bisa menjadi bagian dari husnul khotimah dalam menutup masa jabatan beliau.
Saya yakin ide ini akan mendapat dukungan mulus dari partai-partai politik. Mengingat sebelumnya, undang-undang besar seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) disahkan tanpa banyak kendala politis. Tak harus pake tangan MA dan MK. Apalagi, dalam sistem ini, justru tokoh partai politik dan anggota DPRD akan lebih diuntungkan.
Pemilihan gubernur secara tidak langsung juga mungkin tidak akan banyak menuai resistensi dari rakyat. Pada kenyataannya, banyak yang memahami bahwa gubernur hanyalah perpanjangan tangan presiden di tingkat provinsi. Pemimpin yang lebih dekat dengan rakyat sehari-hari justru bupati dan wali kota, yang berperan dalam pelayanan publik. Jadi, bagi masyarakat awam, apakah gubernur dipilih langsung atau oleh DPRD, mungkin tidak terlalu signifikan.
Sistem ini juga membuka peluang baru bagi politik dinasti. Jika presiden ingin mendorong seseorang dari keluarganya atau lingkaran dekatnya untuk menjadi gubernur, sistem pemilihan tidak langsung ini akan mempermudah langkah tersebut. Lobi politik dengan DPRD jelas lebih sederhana dibandingkan harus menghadapi pemilihan langsung yang melibatkan jutaan pemilih.
Dari sudut pandang ekonomi politik, pemilihan gubernur oleh DPRD akan mengurangi beban biaya politik. Seorang calon tidak perlu mengeluarkan miliaran rupiah untuk APK atau sosialisasi yang mahal. Fokus bisa dialihkan pada lobi politik dengan anggota dewan yang jumlahnya jauh lebih sedikit. Dengan demikian, fenomena mahalnya biaya politik yang selama ini menjadi kendala besar bisa diatasi.
Di sisi lain, kampanye yang minim di ruang publik juga dapat mengurangi gesekan sosial dan menjaga stabilitas politik. Dengan demikian, pemerintah provinsi bisa lebih cepat berfokus pada pembangunan.
Dalam skenario ini, bukan tidak mungkin langkah ini akan mempermudah tokoh seperti Kaesang atau Bobby untuk menjadi gubernur di provinsi mana pun yang Presiden Jokowi inginkan. Namun, masa jabatan Presiden Jokowi tinggal sedikit, hanya 9 hari lagi. Meski tampaknya sulit diwujudkan dalam waktu yang tersisa, ide ini mungkin bisa menjadi warisan pemikiran beliau yang dihidupkan di masa presiden berikutnya, seperti Presiden Prabowo.
Penulis : Nafian Faiz