Suara Utama, ID.- Sejak pecahnya konflik terbaru di Jalur Gaza, dunia kembali menyaksikan gelombang solidaritas global yang luar biasa. Di berbagai kota besar dunia—dari Jakarta, Istanbul, London, hingga Cape Town—jutaan orang turun ke jalan dalam aksi yang dikenal sebagai Global March to Gaza. Gerakan ini tidak hanya menggambarkan dukungan terhadap rakyat Palestina, tetapi juga memperlihatkan kebangkitan nurani kolektif umat manusia terhadap penderitaan yang berkepanjangan.
Solidaritas dari Timur ke Barat
Aksi ini bukan hanya inisiatif lokal, melainkan merupakan koordinasi lintas negara dan lintas agama yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat. Dari aktivis HAM, pemuka agama, hingga selebritas dan politisi dunia, semua bersatu menyuarakan seruan yang sama: hentikan kekerasan di Gaza.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam orasinya di depan Parlemen Inggris, Jeremy Corbyn, mantan pemimpin Partai Buruh, mengatakan:
“Kita tidak boleh diam saat kejahatan kemanusiaan terjadi di depan mata kita. Gaza bukan hanya isu Palestina—ini adalah isu kemanusiaan global.”
“Solidaritas global bukan simbolik. Ini adalah kekuatan nyata melawan penindasan.”
Di sisi lain, Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan, dalam pidatonya di Istanbul saat aksi solidaritas berlangsung, menyatakan: “Kita melihat kebungkaman dunia atas penderitaan anak-anak Gaza. Tapi hari ini, rakyat dunia yang adil telah bangkit untuk menunjukkan bahwa nurani belum mati.”
Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya saat membuka 19th Session of Conference of PUIC dan Related Meetings di Jakarta, menyerukan: Persatuan Dunia Islam dan Tindakan nyata dukung Palestina, sudah tiba waktunya, jangan kita sekedar berdiskusi , jangan Menyusun resolusi-resolusi lagi, rakyat palestina terlalu lama menjadi korban, rakyat palestina membutuhkan suatu keberpihakan, suatu Tindakan nyata
Noam Chomsky (Intelektual AS)
“Gerakan rakyat lintas negara seperti ini memberi tekanan moral yang nyata. Itu penting.”
Aksi Rakyat Melampaui Diplomasi Formal
Banyak pengamat menyebut Global March to Gaza sebagai bentuk “diplomasi rakyat” yang efektif, ketika jalur-jalur diplomasi formal gagal menekan agresi dan pelanggaran HAM. Ribuan organisasi masyarakat sipil berperan aktif dalam menggalang donasi, menyebarkan informasi, serta menekan pemerintah mereka untuk bertindak.
Noam Chomsky, intelektual asal Amerika Serikat, dalam wawancara dengan media independen mengatakan:
“Kekuatan rakyat biasa jauh lebih besar dari yang kita sadari. Aksi-aksi seperti ini memberi tekanan moral yang sangat kuat, bahkan kepada negara-negara besar.”
Dukungan dari Dunia Islam dan Barat
Uniknya, Global March to Gaza tidak terbatas pada negara-negara mayoritas Muslim. Ribuan warga Yahudi progresif dan Kristen humanis di Eropa dan Amerika ikut dalam pawai solidaritas. Di New York, organisasi Yahudi seperti Jewish Voice for Peace membawa poster bertuliskan “Not in our name”.
Ilhan Omar, anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, menyampaikan:
“Membela Gaza bukan berarti memusuhi siapa pun. Ini soal menolak ketidakadilan dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan universal.”
Kesimpulan: Nurani yang Bangkit, Harapan yang Menyala
Global March to Gaza adalah simbol kebangkitan nurani global. Di tengah polarisasi geopolitik dan media yang sering bias, gerakan ini mengingatkan bahwa nilai keadilan dan kemanusiaan masih hidup. Ia adalah panggilan bagi dunia—bukan untuk memilih pihak secara sempit—tetapi untuk berdiri tegak di sisi kemanusiaan.
Global March to Gaza membuktikan bahwa meski dunia terpecah dalam banyak hal, suara keadilan bisa mempersatukan umat manusia. Gerakan ini bukan sekadar respons emosional, tetapi representasi nyata dari rakyat dunia yang menolak tunduk pada ketidakadilan dan kekerasan struktural.(*)
Penulis : Tonny Rivani














