SUARA UTAMA – Ditengah hiruk pikuk kebisingan berbagai masalah multidimensional, kita perlu mengingat dua peristiwa yang teramat penting bagi kesatuan bangsa Indonesia, yang sedang ditindas oleh para buzzer yang bergerak demi cuan untuk membungkam suara-suara yang mendukung demokrasi, para antek asing yang menguras kekayaan, para oligarki yang mengintervensi politik dan ekonomi, para wakil rakyat yang nir empati, sampai para aparat yang represif, yaitu peristiwa Sumpah Pemuda 1928 dan perumusan Pancasila 1945.
Sumpah Pemuda yang dihasilkan pada Kongres Pemuda Kedua sebagai tindak lanjut dari Kongres Pemuda Pertama pada 1926 yang menyatukan beragam gerakan muda berbasis kesukuan dan agama.
Di dalam Kongres Pemuda tersebut telah membangkitkan semangat kebangsaan, persatuan bahasa, dan pengakuan terhadap tanah air yang 1 abad setelahnya dijuluki Konoha ini telah menyatukan berbagai gerakan muda dalam satu derap perjuangan menuju kemerdekaan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendapat Para Ahli tentang Sumpah Pemuda
Menurut para ahli, Sumpah Pemuda merupakan satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yaitu bersatu dalam perbedaan suku, etnis, dan agama.
Sebelum terjadinya Sumpah Pemuda, sebenarnya telah muncul kesadaran akan penindasan yang diakibatkan Kolonialisme dan Imperialisme.
Namun ketika itu perjuangan, masih terkungkung dalam sekat identitas masing-masing.
Pengotakan perjuangan berbasis perbedaan identitas bukan terjadi secara otomatis, namun terpengaruh oleh kebijakan pemerintah kolonial yang mengotak-ngotakkan berbagai kelompok etnis di Hindia Belanda.
Pada saat itu, secara hukum dibagi menjadi golongan Eropa (Europeanen), Timur Asing (Vreemde Oosterlingen), dan Bumiputera (Inlander).
Kebijakan devide et impera atau pecah belah terbukti efektif, bahkan sampai saat ini masih melekat, dan kemungkinan di masa depan pun masih ada.
Sumpah Pemuda memang bukan sebatas penegasan seperti yang kita wariskan hari ini dan nanti, namun pembangkangan terhadap sistem yang merusak perjuangan sekaligus kesadaran akan persatuan dalam perjuangan.
Tapi kondisi objektif terkait persatuan dan kesatuan bukan berarti menghilangkan identitas yang melekat pada diri kita.
Bukan pula menjadikan persatuan dan kesatuan sebagai alat politis yang malah memecah belah.
Tetapi, menjadi ruang bermakna yang memberikan kasih sayang dan rasa hormat sebagai sesama bangsa yang dapat diradikalkan menjadi alat perjuangan melawan penindasan.
Beruntunglah pada saat Kongres Pemuda 1 dan 2 tidak sampai terjadi intervensi dari senior yang bekerja untuk kaum penjajah, lempar-melempar kursi dan meja, sampai umpatan kotor hanya karena berbeda pendapat.
Tidak seperti kongres organisasi pemuda saat ini yang berujung dualisme, tigalisme, sampai ke takterhinggaanisme ketika tidak tercapai kesepakatan, yang terkadang mendapat intervensi dari entitas Negara yang tidak menginginkan persatuan gerakan para generasi muda yang dapat mengancam kekuasaan.
Peran Intelektual Muda
Kaum muda itu identik dengan kaum terpelajar, kalau kata sahabat GMNI kebanyakan kaum muda itu pemikir pejuang.
Oleh karena itu sebagai kaum intelektual tentu tugas mereka bukan sebatas lulus lalu bekerja, namun berkontribusi pemikiran dan gerakan untuk bangsa.
Teringat satu paragraf dari buku Tugas Cendekiawan Muslim, karangan Ali Syariati yang diterjemahkan oleh Amin Rais, pada bab Piramida Sosiologi Kebudayaan:
“Kita, kaum muda, para intelektual, dan kelas terpelajar dari bagian dunia ini harus menyadari bahwa kita sedang menghadapi suatu konflik yang serius dalam masyarakat.”
“Bila konflik ini tidak dirasakan, dipahami, ditemukan, dianalisis, dievaluasi secara berani, kita akan menjadi mainan keadaan yang ditentukan semata-mata oleh periode sejarah mendatang.”
“Sebaliknya, bila kita berhasil menyadari hakikat konflik tersebut dan menyadari dampaknya pada eksistensi kita, bila kita mampu melihat dengan cermat dan menganalisisnya, sehingga kita dapat memilih segi-segi yang baik dari konflik itu atau sama sekali melenyapkan segi-segi buruknya, maka kita akan dapat memainkan peran intelektual kita yang sebenarnya dalam menentukan dan membentuk nasib sejarah kita.”
“Jika tidak demikian maka kita tidak lebih dari sekadar boneka-boneka buta tanpa kesadaran dari sang nasib.”
“Atau kita akan seperti penulis yang bicara tentang nasib dan bagaimana nasib itu menentukan manusia dan kehidupannya, tetapi mereka tak henti-hentinya menumpuk kekayaan dan memperbesar kekuasaan.”
Menilai kaum muda yang terpelajar hanya dari apa yang mereka lakukan dan seharusnya mereka lakukan. Jika menilai yang muda hanya sebagai seorang yang menuntut ilmu dalam keadaan pasif yang output-nya hanya untuk mendapatkan pekerjaan, maka perannya sebagai terpelajar menjadi kurang.
Jika mengacu pada komodifikasi pendidikan di mana hanya menghasilkan output terpelajar hanya sebagai pekerja tentu berbicara apalagi tergabung dalam organisasi, turun dalam berbagai aksi dan advokasi, apalagi tenggelam dalam berbagai wacana yang katanya progresif dan revolusioner tidaklah penting.
Namun, jika berbicara soal etik, apalagi terkait dengan perubahan sosial, maka apa yang mereka lakukan merupakan suatu keharusan.
Apalagi sejarah membuktikan, bahwa gerakan kaum muda selalu mengambil peran penting dalam pergerakan perubahan dalam konteks ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang sudah mencemarkan semangat merah dan putih.
Di mana yang merah saat ini berarti keberanian para penindas untuk mengubur harapan orang-orang lemah dan yang putih berarti kemunafikan, kepalsuan, kepura-puraan untuk tidak tahu tentang apa yang telah terjadi, yang hanya mencintai Indonesia lewat perayaan bukan merayakannya lewat perlawanan melawan penindasan yang masih ada.
Tentu dibutuhkan barisan muda yang visioner yang kembali berkumpul untuk menyatukan visi dan misi Sumpah Pemuda.
Tapi yang menjadi tantangannya, apakah sekarang ini kita sebagai bagian dari generasi muda yang berada di antara ambang cemas dan emas itu masih bisa atau tidak menyatukan visi dan misi kembali, dengan Sumpah Pemuda yang baru, untuk bersumpah membuat sistem bernegara yang baru.
Terlepas dari bayang-bayang sistem yang ada. kalau visi dan misinya sudah jelas, reformasi mungkin harus berganti menjadi revolusi.
Penulis : Mansurni Abadi
Editor : Nurana Prasari
Sumber Berita : Berbagai Sumber














