SUARA UTAMA – Jakarta, 23 September 2025 – Hukum tidak hanya soal pasal-pasal dan undang-undang yang tertulis. Di balik teks hukum, ada pertanyaan mendasar: apa hakikat hukum itu sendiri, untuk apa hukum diciptakan, dan bagaimana hubungan hukum dengan keadilan serta moral? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi ranah filsafat hukum, cabang filsafat yang menelaah dasar, tujuan, dan nilai dari hukum.
Apa Itu Filsafat Hukum?
Filsafat hukum merupakan bagian dari filsafat yang secara kritis menelaah keberadaan hukum. Jika ilmu hukum membahas isi aturan, maka filsafat hukum membahas dasar dan tujuan hukum.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ada tiga pertanyaan pokok yang menjadi fokus filsafat hukum:
- Ontologi hukum – apa hakikat hukum? Apakah hukum hanya norma tertulis, atau juga mencakup adat dan moral?
- Epistemologi hukum – bagaimana cara kita mengetahui hukum yang adil? Apakah cukup dari teks, atau juga dari nilai moral dan pengalaman sosial?
- Aksiologi hukum – apa tujuan hukum? Apakah demi kepastian, keadilan, atau kemanfaatan masyarakat?
Aliran-Aliran dalam Filsafat Hukum
Sejarah mencatat munculnya berbagai aliran besar:
- Hukum Alam (Natural Law): hukum harus sesuai dengan moral dan keadilan universal.
- Positivisme Hukum: hukum sah jika dibuat oleh penguasa, terlepas dari adil atau tidaknya.
- Sosiologi Hukum: hukum dipahami sebagai gejala sosial yang harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
- Hukum Progresif: hukum adalah sarana untuk mencapai keadilan substantif, bukan sekadar teks formal.
Hans Kelsen dan Positivisme Hukum
Tokoh yang sangat berpengaruh dalam positivisme hukum modern adalah Hans Kelsen dengan Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law). Menurutnya, hukum adalah sistem norma yang berlaku berdasarkan hierarki norma: dari konstitusi, undang-undang, hingga peraturan teknis.
Kelsen menolak mencampurkan hukum dengan moral atau politik. Baginya, hukum yang sah adalah hukum yang ditetapkan secara formal, dan kepastian hukum lebih utama daripada penilaian moral yang subjektif.
Namun, pandangan ini menuai kritik karena dianggap terlalu kaku. Jika hukum hanya dipandang sebagai norma formal, maka aturan yang menindas sekalipun tetap sah selama dibuat penguasa.
Indonesia: Civil Law dengan Nuansa Pancasila
Indonesia mewarisi sistem civil law dari Belanda. Ciri khasnya: undang-undang sebagai sumber hukum utama, kodifikasi hukum (KUHPerdata, KUHP), dan hakim yang cenderung terikat pada teks undang-undang.
Dalam praktiknya, Indonesia juga sangat positivistik: asas legalitas dalam KUHP dan hierarki norma dalam UU No. 12/2011 menunjukkan jejak kuat ajaran Kelsen.
Namun, Indonesia tidak murni positivistik. Pancasila dijadikan dasar filosofis hukum, sehingga setiap aturan harus selaras dengan nilai keadilan sosial, kemanusiaan, dan ketuhanan. Selain itu, keberadaan hukum adat, syariah di daerah tertentu, serta putusan progresif Mahkamah Konstitusi memperlihatkan bahwa moralitas dan keadilan juga ikut dipertimbangkan.
Politik Mengintervensi Hukum
Meski teori hukum murni ala Kelsen menolak campur tangan politik, praktik di Indonesia justru menunjukkan hal sebaliknya. Praktisi hukum Eko Wahyu Pramono menegaskan bahwa masyarakat perlu jujur mengakui realitas politik dalam pembentukan hukum.
“Kita harus setuju bahwa hukum di Indonesia adalah produk politik. Undang-undang lahir dari legislator yang diisi oleh orang-orang partai. Seharusnya hukum yang mengintervensi politik, tetapi yang terjadi justru politik mengintervensi hukum,” ujarnya.
Contoh nyata adalah revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) pada 2019. Perubahan aturan ini dinilai banyak pihak justru melemahkan independensi KPK. Alih-alih memperkuat pemberantasan korupsi, revisi tersebut dipandang sebagai bentuk intervensi politik terhadap lembaga hukum.
Kondisi ini memperlihatkan paradoks: hukum di Indonesia masih dominan positivistik, namun keberlakuannya sering ditentukan oleh tarik-menarik kepentingan politik.
Penutup
Filsafat hukum mengajarkan bahwa hukum bukan sekadar teks, melainkan juga refleksi atas keadilan dan kemanusiaan. Indonesia yang berakar pada civil law memang cenderung positivistik, tetapi tetap dituntut menghadirkan hukum yang hidup, berjiwa Pancasila, dan mampu memberi keadilan bagi rakyat.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














