SUARA UTAMA – Jakarta, 22 September 2025 – Wacana Tax Amnesty Jilid III kembali mencuat di tengah tekanan penerimaan negara. Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dengan tegas menolak rencana tersebut. Baginya, pengampunan pajak yang dilakukan berulang kali bukan solusi, melainkan ancaman bagi kepatuhan pajak jangka panjang.
Sejarah Tax Amnesty di Indonesia
Indonesia pernah dua kali melaksanakan program serupa. Pertama, Tax Amnesty pada 2016 yang digagas di era Presiden Joko Widodo dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Program ini berhasil menarik dana repatriasi dan meningkatkan kepatuhan jangka pendek, meski tidak sepenuhnya mencapai target.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau kerap disebut Tax Amnesty Jilid II pada 2022. PPS memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk melaporkan harta yang belum tercatat. Hasilnya cukup signifikan bagi penerimaan negara, tetapi kembali menimbulkan pertanyaan: apakah pengampunan berulang menciptakan ketergantungan?
Purbaya: “Kita Bisa Dikibulin Terus”
Menkeu Purbaya menilai, pengulangan tax amnesty berisiko memberi sinyal negatif.
“Kalau tax amnesty terus diulang, orang bisa berpikir lebih baik nyelundupin uang saja, toh nanti bisa diampuni lagi. Kita bisa dikibulin terus,” ujarnya.
Menurutnya, alih-alih memperkuat basis pajak, kebijakan ini justru melemahkan fondasi fiskal negara. Wajib pajak yang selama ini patuh berpotensi kehilangan kepercayaan karena merasa diperlakukan tidak adil dibanding mereka yang menunda kewajiban.
Suara dari Praktisi Pajak
Kritik serupa datang dari kalangan praktisi. Yulianto Kiswocahyono, S.E., S.H., BKP, konsultan pajak senior sekaligus pengurus KADIN Jawa Timur, menyebut penolakan Purbaya patut diapresiasi.
“Jika tax amnesty terus digulirkan, efek jera wajib pajak bisa hilang. Mereka yang patuh merasa tidak adil, sementara yang menunggak justru mendapat keuntungan,” jelas Yulianto.
Ia menekankan bahwa pemerintah seharusnya memperkuat core tax system, meningkatkan pengawasan berbasis data, serta memastikan konsistensi penegakan hukum pajak.
“Penguatan sistem administrasi, pemanfaatan data pertukaran internasional, dan kepastian hukum lebih efektif jangka panjang dibanding mengulang tax amnesty,” tambahnya.
Perspektif Ekonom
Dari sisi ekonomi makro, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebut bahwa tax amnesty memang bisa membantu penerimaan jangka pendek, tetapi berulang kali menggunakannya akan menggerus kredibilitas fiskal.
“Kalau tax amnesty terus dipakai, masyarakat akan melihat negara tidak serius menegakkan pajak. Yang dibutuhkan adalah kepastian hukum dan digitalisasi sistem pajak,” tegas Bhima.
Ia juga menyoroti perlunya memperluas basis pajak melalui integrasi data keuangan, pemanfaatan teknologi, dan penegakan hukum terhadap pengemplang pajak kelas besar.
Dilema Pemerintah
Di satu sisi, pemerintah menghadapi kebutuhan fiskal yang besar, mulai dari pembiayaan infrastruktur hingga subsidi sosial. Di sisi lain, langkah cepat seperti tax amnesty rawan menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang merugikan sistem perpajakan.
Penolakan Purbaya menunjukkan adanya pergeseran paradigma. Bukan lagi mengejar penerimaan instan, melainkan membangun kepatuhan yang berkelanjutan. Namun, pertanyaannya: akankah pemerintah konsisten menutup pintu pengampunan, atau tekanan kebutuhan fiskal akan membuat tax amnesty kembali dilirik?
Catatan Redaksi: Artikel ini disusun berdasarkan pernyataan resmi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa serta tanggapan dari praktisi pajak Yulianto Kiswocahyono dan ekonom Indef Bhima Yudhistira. Semua kutipan dan pendapat narasumber disajikan sesuai dengan kode etik jurnalistik secara berimbang.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














