SUARA UTAMA – Jakarta, 26 Agustus 2025 – Pemerintah Kota (Pemkot) Parepare telah menurunkan 66 petugas untuk melakukan verifikasi ulang terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), yang sempat memicu kontroversi karena lonjakan tarifnya yang mencapai 800 persen. Penagihan kenaikan tersebut sebelumnya telah ditunda oleh Wali Kota Parepare. Kepala Badan Keuangan Daerah (BKD) Parepare, Prasetyo, menjelaskan bahwa tim verifikasi akan memeriksa kembali sebanyak 9.015 objek pajak yang terdampak lonjakan tarif. Petugas akan dibagi ke dalam 22 kelurahan dengan target penyelesaian dalam waktu 2–3 hari.
“Kami menurunkan 66 orang untuk melakukan pengecekan, dan harapannya dalam waktu 2 sampai 3 hari sudah ada hasil verifikasi,” ujar Prasetyo pada Sabtu (23/8/2025).
Menurut Prasetyo, pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan bahwa fungsi lahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berdasarkan hasil verifikasi, Pemkot akan melakukan penyesuaian tarif sesuai dengan regulasi yang ada. “Objek pajak yang digunakan untuk produksi pangan atau peternakan tentunya akan diperlakukan berbeda. Kami akan sesuaikan tarifnya sesuai dengan kondisi yang ada,” lanjutnya.
Pemkot Parepare juga memastikan bahwa mereka akan mengembalikan kelebihan pembayaran PBB yang sudah terlanjur dibayar oleh warga. “Jika lahan terbukti tidak produktif, tarif yang sudah dibayar akan kami kembalikan sesuai dengan ketentuan. Kami juga akan mendata warga yang sudah membayar untuk memastikan kelebihan pembayaran dapat dikembalikan,” tambah Prasetyo.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, Wali Kota Parepare, Tasming Hamid, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukanlah pembatalan kenaikan PBB, melainkan penundaan penagihan sementara menunggu hasil verifikasi ulang. “Ini bukan pembatalan, tetapi penundaan. Jika hasil verifikasi memang tidak sesuai, maka akan dikembalikan seperti semula. Kami sedang mencari solusi terbaik bagi masyarakat Parepare,” kata Tasming pada Jumat (22/8/2025).
Tasming juga menjelaskan bahwa kenaikan PBB tidak berlaku untuk seluruh wajib pajak di Parepare. Dari sekitar 30 ribu wajib pajak, hanya 17 persen yang mengalami kenaikan tarif, 13 persen tetap stagnan, dan sisanya mengalami penurunan tarif.
“Yang mengalami kenaikan ini yang kami kaji ulang, penagihannya kami tunda dulu agar persoalannya lebih jelas,” pungkasnya.
Penyebab Kenaikan PBB-P2:
- Pemangkasan Dana Transfer ke Daerah (TKD)
Pemerintah pusat mengurangi anggaran TKD sebesar Rp50,59 triliun pada tahun 2025, termasuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Desa. Banyak daerah yang masih sangat bergantung pada TKD, bahkan hingga 80–90% dari APBD mereka, sehingga pemangkasan ini berpengaruh besar terhadap keuangan daerah, - Keterbatasan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Banyak daerah dengan PAD terbatas merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dan pelayanan publik. Sebagai respons cepat, beberapa pemerintah daerah memilih untuk menaikkan tarif PBB-P2 guna menambah pemasukan daerah. - Kebijakan Efisiensi Anggaran dari Pusat
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 mendorong efisiensi belanja negara, termasuk pemangkasan TKD. Meski pemerintah pusat membantah bahwa efisiensi ini menjadi penyebab langsung kenaikan PBB-P2, banyak ekonom dan pengamat menilai bahwa pemangkasan anggaran pusat turut berkontribusi terhadap keputusan daerah untuk menaikkan tarif pajak.
Dampak terhadap Masyarakat
Kebijakan ini memicu protes di berbagai daerah. Sebagai contoh, di Pati, kenaikan PBB-P2 hingga 250% memicu demonstrasi besar-besaran dan tuntutan agar Bupati mundur. Meskipun kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan, ketidakpuasan masyarakat tetap tinggi.
Yulianto Kiswocahyono, SE., SH., BKP, konsultan pajak sekaligus Ketua Komite Tetap Bidang Fiskal dan Moneter Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jawa Timur, mengkritik kebijakan kenaikan PBB-P2 yang diterapkan oleh beberapa daerah, termasuk Parepare. Yulianto menilai bahwa kebijakan tersebut sangat tidak tepat jika diterapkan di tengah ketidakpastian ekonomi yang sedang dihadapi masyarakat.
“Saat ini, banyak sektor yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, salah satunya adalah tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan banyak industri. Dalam situasi seperti ini, yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kebijakan yang meringankan beban mereka, bukan menambah beban dengan menaikkan pajak seperti PBB-P2,” ujar Yulianto.
Yulianto juga menambahkan bahwa kebijakan ini dapat memperburuk kondisi sosial ekonomi di daerah, terutama bagi warga yang bergantung pada pendapatan tetap dan usaha kecil yang tengah berjuang untuk bertahan. “Pemerintah harus lebih peka terhadap kondisi masyarakat. Kenaikan PBB-P2 ini berpotensi memperburuk daya beli masyarakat yang sudah terhimpit oleh ketidakpastian ekonomi. Sebaiknya, pemerintah daerah mencari solusi alternatif untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa membebani rakyat lebih jauh,” lanjutnya.
Yulianto menegaskan bahwa kebijakan seperti ini bukan hanya berdampak pada masyarakat, tetapi juga dapat mengganggu iklim usaha dan investasi di daerah tersebut. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, alih-alih menaikkan pajak, pemerintah daerah seharusnya lebih fokus pada pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
“Harapan saya, kebijakan pajak yang diterapkan harus memperhatikan kondisi ekonomi yang lebih besar dan tidak justru menjadi beban bagi rakyat. Jangan sampai kebijakan yang diambil malah menjadi penyebab kesulitan baru bagi masyarakat,” tegas Yulianto.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














