SUARA UTAMA – Perkembangan ekonomi digital Indonesia dalam lima tahun terakhir telah membawa UMKM masuk ke ruang online. Dari penjual makanan di marketplace, reseller fesyen, hingga kreator produk lokal, semua berlomba memanfaatkan platform digital. Namun, di tengah geliat tersebut, kebijakan pajak untuk UMKM online kembali menjadi perdebatan: apakah benar ia menciptakan keadilan fiskal, atau justru membebani pelaku usaha kecil yang sedang bertumbuh?
Payung Hukum dan Aturan yang Berlaku, Dasar hukum pengenaan pajak UMKM tidak datang secara tiba-tiba. Beberapa regulasi penting antara lain:
- UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh): mengatur kewajiban pajak secara umum.
- Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2018: menetapkan tarif PPh Final 0,5% dari omzet bruto bagi UMKM dengan omzet ≤ Rp4,8 miliar per tahun.
- PMK No. 210/PMK.010/2018: sempat mengatur pajak transaksi perdagangan melalui sistem elektronik.
- UU No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP): memperkuat kewajiban perpajakan di era digital, termasuk PPN untuk platform digital asing.
Dengan dasar hukum ini, pemerintah berargumen bahwa UMKM online tidak boleh berada di “zona abu-abu” fiskal, melainkan harus ikut dalam sistem pajak nasional demi keadilan dan penerimaan negara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Pandangan Pakar dan Akademisi
- Dr. Aviliani (Ekonom Senior INDEF)
“Jika toko offline wajib bayar pajak, sementara online bebas, maka terjadi ketidakadilan. Pajak UMKM online justru memberi kepastian hukum dan mendorong formalitas usaha,” ujarnya. - Bhima Yudhistira (Direktur CELIOS)
“Masalahnya bukan sekadar tarif 0,5%, tapi soal kepatuhan administrasi. Banyak UMKM online masih usaha rumahan, pencatatan keuangan minim, sehingga administrasi pajak bisa menjadi beban psikologis dan finansial,” katanya. - Siti Zuhro (Pakar Kebijakan Publik LIPI)
“Pajak harus diikuti dengan insentif. Misalnya akses kredit lebih mudah, subsidi logistik, atau pelatihan digitalisasi. Jika tidak, pajak hanya jadi pungutan, bukan instrumen pembangunan UMKM,” jelasnya.
Pandangan Media Nasional
- Kompas dalam editorialnya menyebut bahwa penerapan pajak UMKM online merupakan langkah tak terhindarkan untuk menata ekonomi digital. Namun Kompas mengingatkan, “Jangan sampai pajak menjadi rem yang menghambat inovasi. Pemerintah wajib memastikan pajak yang dipungut kembali kepada pelaku usaha dalam bentuk fasilitas dan dukungan.”
- Tempo menulis lebih kritis: “Pajak UMKM online berpotensi mengurangi semangat berwirausaha. Di saat ekonomi digital menjadi motor pertumbuhan, justru regulasi yang terlalu cepat bisa membuat banyak usaha kecil lari dari jalur formal.” Tempo menekankan pentingnya moratorium atau masa transisi sebelum penerapan penuh.
- Media Indonesia menilai pajak UMKM online sebagai bagian dari keadilan fiskal. “Tidak adil bila perusahaan besar dan UMKM offline membayar pajak, sedangkan UMKM online bebas. Namun pemerintah harus memberikan edukasi dan simplifikasi administrasi, sehingga pajak tidak berubah menjadi beban baru.”
- Republika menyoroti aspek sosial dan keumatan. Dalam tajuknya disebutkan, “Mayoritas pelaku UMKM online adalah rumah tangga Muslim yang bergelut dari dapur hingga marketplace. Pajak boleh saja, tapi harus adil, proporsional, dan tidak mematikan ikhtiar umat untuk bangkit.”
Pihak yang Pro (Mendukung Pajak UMKM Online)
- Pemerintah (Kementerian Keuangan & Direktorat Jenderal Pajak)
- Alasan: Menjaga keadilan fiskal antara UMKM offline dan online.
- PPh Final 0,5% dianggap ringan dan memberi kepastian hukum.
- Pajak diperlukan untuk memperluas basis penerimaan negara di era ekonomi digital.
- Ekonom & Pakar Keuangan (misalnya Aviliani – INDEF)
- Menilai pajak mendorong UMKM masuk sistem formal, sehingga lebih mudah mendapat akses kredit dan dukungan pemerintah.
- Adanya pajak membuat ekosistem bisnis lebih sehat karena semua pelaku usaha diperlakukan sama.
- Media Nasional tertentu (Kompas, Media Indonesia)
- Editorial mereka menyebut pajak UMKM online wajar diterapkan untuk menciptakan level playing field.
- Pajak dilihat sebagai bentuk kontribusi UMKM terhadap pembangunan, asal disertai fasilitas dan edukasi.
- Sebagian Asosiasi Pengusaha
- Menilai penerapan pajak membantu UMKM naik kelas karena masuk jalur formal.
- Mereka mendukung dengan catatan: aturan harus sederhana dan transparan.
Pihak yang Kontra (Menolak atau Mengkritisi Pajak UMKM Online)
- Pelaku UMKM Online Kecil (penjual rumahan, reseller, dropshipper, pedagang di marketplace)
- Alasan: Margin keuntungan tipis, omzet tidak selalu stabil, dan pencatatan keuangan masih minim.
- Takut pajak jadi beban tambahan dan menurunkan daya saing.
- Ekonom Kritis (Bhima Yudhistira – CELIOS, Fithra Faisal – UI)
- Menganggap pajak berpotensi menghambat digitalisasi UMKM.
- Risiko banyak UMKM kembali ke jalur informal karena takut pajak.
- Pemerintah seharusnya fokus mendorong pertumbuhan dulu, baru menarik pajak.
- Media Nasional Kritis (Tempo, Republika)
- Tempo: Pajak UMKM online bisa membunuh semangat berwirausaha bila tidak ada masa transisi.
- Republika: Pajak harus adil dan proporsional, jangan sampai menjadi pungutan yang memberatkan umat yang baru merintis usaha.
- Organisasi UMKM dan Komunitas Wirausaha
- Banyak komunitas pedagang online menolak karena merasa kebijakan lebih menguntungkan perusahaan besar (marketplace, e-commerce raksasa), sementara usaha mikro justru ditekan.
- Mereka khawatir akan terjadi ketimpangan antara pemain besar dan pelaku kecil.
Jadi, pihak pro biasanya datang dari pemerintah, ekonom yang pro-formalisasi, dan sebagian media yang melihatnya sebagai keadilan fiskal.
Sementara pihak kontra terutama datang dari pelaku UMKM kecil, ekonom kritis, media dengan sudut pandang populis, dan komunitas wirausaha digital.
Kesimpulan : Pajak UMKM online pada dasarnya bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan alat kebijakan. Ia bisa menjadi solusi keadilan bila disertai dengan insentif nyata, penyederhanaan administrasi, dan edukasi pajak berbasis digital. Namun, ia juga bisa berubah menjadi ancaman pertumbuhan jika sekadar menjadi beban pungutan tanpa timbal balik. Rekomendasi yang muncul antara lain:
- Penerapan ambang batas omzet agar UMKM sangat kecil bebas pajak.
- Digitalisasi administrasi pajak yang mudah, murah, dan terintegrasi dengan marketplace.
- Insentif konkret berupa kemudahan akses modal, pelatihan, dan perlindungan hukum bagi UMKM patuh pajak.
Dengan langkah tersebut, pajak UMKM online bisa menjelma bukan sebagai beban, melainkan jembatan menuju pertumbuhan ekonomi digital yang berkeadilan.














