
SUARA UTAMA — Pemerintah Indonesia tengah menggulirkan wacana Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bagi anak sekolah dan kelompok rentan. Program ini digadang-gadang sebagai solusi untuk menekan angka stunting, meningkatkan konsentrasi belajar, dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) sejak dini.
Namun, muncul perbandingan dengan Program Pendidikan Gratis yang sudah berjalan di berbagai daerah, di mana pembiayaan sekolah mulai dari SD hingga SMA/SMK dibebankan pada pemerintah, meringankan beban biaya masyarakat. Pertanyaannya, jika harus memilih, mana yang lebih tepat dijadikan prioritas nasional?
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
—
1. Gambaran Anggaran
Berdasarkan estimasi pemerintah dan data Kementerian Pendidikan, berikut perkiraan kebutuhan anggaran kedua program tersebut:
√ Program MBG
– Target: 19–20 juta penerima (2025), meningkat ke ±83 juta (2029)
– Perkiraan Anggaran Tahunan: ±Rp 71 triliun (2025), berpotensi naik ke Rp 100–120 triliun saat skala penuh
– Catatan: Termasuk bahan pangan, logistik, gaji tenaga dapur, dan distribusi.
√ Program Pendidikan Gratis
– Target: ±45 juta siswa (SD–SMA/SMK)
– Perkiraan Anggaran Tahunan: ±Rp 60–80 triliun/tahun
– Catatan: Meliputi SPP, buku, seragam, dan kegiatan belajar.
Anggaran keduanya tergolong besar. Jika berjalan penuh, MBG bahkan bisa menyaingi atau melampaui biaya pendidikan gratis, tergantung harga bahan pangan dan biaya distribusi.
—
2. Perbandingan Manfaat
√ Program MBG
• Jangka Pendek: Menekan angka stunting, memperbaiki status gizi, meningkatkan konsentrasi belajar.
• Jangka Panjang: Mencetak generasi sehat yang lebih produktif dan berpotensi unggul secara akademik.
• Dampak Ekonomi: Mendorong pasar bagi UMKM pangan, petani, dan nelayan.
√ Program Pendidikan Gratis
• Jangka Pendek: Meningkatkan angka partisipasi sekolah, meringankan beban biaya keluarga.
• Jangka Panjang: Mencetak generasi terdidik dengan keterampilan yang lebih baik, mendorong inovasi dan daya saing nasional.
• Dampak Ekonomi: Memperkuat sektor pendidikan, penerbitan, dan industri alat belajar.
—
3. Tantangan Masing-Masing Program
√ Program MBG: Tantangan terbesar ada pada keamanan pangan, distribusi tepat sasaran, dan risiko anggaran membengkak.
√ Program Pendidikan Gratis: Tanpa peningkatan kualitas guru dan fasilitas, biaya gratis tidak otomatis meningkatkan mutu pendidikan.
—
4. Usulan Kombinasi Program
Melihat keunggulan dan kelemahan masing-masing, solusi yang dinilai lebih bijak adalah mengombinasikan MBG dan Pendidikan Gratis dalam satu paket kebijakan nasional, dengan prinsip:
√ MBG Tepat Sasaran
• Difokuskan untuk anak usia dini, siswa SD, dan kelompok rawan gizi.
• Distribusi bekerja sama dengan koperasi sekolah dan UMKM pangan lokal.
√ Pendidikan Gratis Berkualitas
• Membebaskan biaya sekolah untuk SD–SMA/SMK.
• Dibarengi perbaikan kualitas guru, fasilitas belajar, dan kurikulum berbasis keterampilan.
√ Pendanaan Seimbang
• Mengalokasikan anggaran secara proporsional: 50% untuk gizi (MBG), 50% untuk pendidikan gratis.
• Memaksimalkan sumber dana non-APBN seperti CSR dan kemitraan swasta.
√ Integrasi Tujuan
• Makan bergizi di sekolah menjadi bagian dari proses pendidikan gizi dan kesehatan.
• Sekolah menjadi pusat pembelajaran sekaligus pusat pemenuhan gizi anak.
—
5. Penutup.
Memilih antara Program Makan Bergizi Gratis dan Pendidikan Gratis seolah memaksa kita menentukan prioritas antara perut dan otak. Padahal, keduanya adalah pilar yang saling melengkapi. Anak yang kenyang namun tidak sekolah akan tertinggal dalam keterampilan, sedangkan anak yang sekolah tapi kekurangan gizi sulit mencapai potensi maksimalnya.
Karena itu, langkah strategis yang layak diambil adalah menjalankan keduanya secara terpadu, memastikan generasi Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing tinggi.
—














