Suara Utama ID.- Diawali : Luka yang Tak Pernah Sembuh
Sejak dekade pertama abad ke-20, tanah Palestina telah menjadi saksi dari konflik yang berkepanjangan, bukan sekadar perebutan wilayah, tetapi lebih dalam: pertarungan nilai, moralitas, dan eksistensi manusia itu sendiri. Genosida yang dialami rakyat Palestina bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi simbol nyata dari pertarungan abadi antara kemanusiaan dan kebengisan — antara apa yang bisa disebut sebagai “manusia” dan “iblis” dalam makna metaforis.
Dalam sejarah panjang umat manusia, selalu ada peristiwa-peristiwa yang menandai bagaimana kekuasaan, keserakahan, dan dehumanisasi menjelma menjadi bentuk kekerasan struktural. Genosida Palestina oleh Israel menjadi salah satu contoh paling terang dari wajah gelap peradaban modern — sebuah kisah yang bukan hanya tentang konflik geopolitik, tetapi tentang bagaimana nurani manusia dilumpuhkan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
- Akar Sejarah: Dari Penjajahan hingga Penindasan
Konflik ini bermula dari kolonialisme dan politik identitas. Deklarasi Balfour tahun 1917 oleh pemerintah Inggris, yang menjanjikan tanah Palestina untuk pendirian “tanah air bagi orang Yahudi”, menjadi awal dari proses dislokasi rakyat Palestina. Ketika negara Israel didirikan pada tahun 1948, lebih dari 700.000 warga Palestina diusir dari tanah kelahiran mereka dalam peristiwa yang dikenal sebagai Nakba (malapetaka).
Apa yang terjadi sejak saat itu bukan hanya pendudukan, tetapi pemusnahan sistematis: pengusiran massal, penghancuran rumah dan desa, blokade ekonomi, pembunuhan anak-anak, penargetan rumah sakit, dan pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional. Semua ini terjadi dengan dukungan kekuatan-kekuatan besar dunia, yang diam atau bahkan mendanai kekejaman tersebut.
- Simbolisme Manusia dan Iblis: Antara Nurani dan Nafsu Kekuasaan
Dalam setiap peristiwa genosida, selalu ada dua wajah yang muncul: wajah manusia yang menolak kezaliman dan wajah iblis yang menghalalkan segalanya demi kuasa. Israel, dalam hal ini, sering dipotret sebagai simbol entitas yang menjelma dari kejahatan terorganisir — menggunakan teknologi militer, propaganda, dan justifikasi historis untuk menumpas hak hidup suatu bangsa.
Sebaliknya, rakyat Palestina menjadi simbol dari daya tahan manusia, yang meski dibantai, tetap bertahan dengan batu, doa, dan cinta terhadap tanah air. Anak-anak di Gaza yang menggambar mimpi di dinding reruntuhan, ibu-ibu yang menyusui di pengungsian, para dokter yang bekerja tanpa alat di bawah bom — semua ini adalah wajah dari “manusia” dalam makna paling luhur: berani tetap bermoral di tengah kehancuran.
- Dunia yang Membisu: Cermin Retak Nurani Global
Yang paling menyakitkan dari tragedi ini adalah diamnya dunia. Negara-negara besar yang mengaku sebagai penjaga hak asasi manusia seringkali memilih bungkam atau bahkan berdiri di sisi penindas. PBB mengeluarkan resolusi, tetapi tak pernah ditegakkan. Media besar bias, framing pemberitaan berat sebelah, dan opini publik dikendalikan oleh kekuatan politik dan ekonomi.
Di sinilah genosida Palestina menjadi cermin retak bagi nurani global. Ia memperlihatkan bahwa dalam pertarungan antara manusia dan iblis, dunia sering kali lebih memilih menjadi penonton — atau bahkan menjadi fasilitator iblis itu sendiri.
- Palestina sebagai Simbol Abadi: Perlawanan adalah Eksistensi
Palestina bukan lagi sekadar entitas geografis. Ia telah menjelma menjadi simbol universal bagi semua bangsa tertindas. Seperti Vietnam di masa lalu, atau Afrika Selatan di era apartheid, Palestina adalah simbol dari perlawanan terhadap ketidakadilan global yang dilegalkan.
Setiap anak Palestina yang tetap bersekolah di tengah reruntuhan, setiap ibu yang menguburkan anaknya dengan air mata dan doa, adalah pesan spiritual yang kuat: bahwa kemanusiaan tak bisa dibunuh oleh peluru atau rudal. Di situlah pertarungan abadi itu terus berlangsung — dan belum selesai.
Pertarungan Ini Milik Kita Semua
Genosida Palestina bukan hanya persoalan Timur Tengah. Ini adalah ujian bagi semua umat manusia. Apakah kita akan tetap menjadi manusia yang berpihak pada keadilan, ataukah kita membiarkan iblis merayakan kemenangan atas tubuh-tubuh tak berdosa?
Sejarah kelak akan mencatat siapa yang berdiri dan siapa yang diam. Dan selama Palestina terus bertahan, dunia masih punya harapan bahwa manusia belum sepenuhnya kalah.
Akhir Pertarungan Ini: Kemenangan Kemanusiaan atau Tenggelamnya Nurani Dunia
Akhir dari pertarungan ini bukan hanya tentang siapa yang memenangkan konflik di atas tanah yang dibakar. Ini adalah soal apa yang tersisa dari kemanusiaan kita ketika debu perang mengendap — apakah kita akan berdiri dengan martabat, atau meninggalkan sejarah dengan tangan berlumur darah karena diam dan penyangkalan.
Pertarungan antara manusia dan iblis tidak akan selesai di Gaza atau Yerusalem, tapi akan terus hidup di hati setiap orang yang memilih untuk peduli atau berpaling. Dan selama ada satu anak Palestina yang masih bermimpi di tengah reruntuhan, satu suara yang masih berani berbicara kebenaran meski dibungkam, maka iblis belum menang.
Akhir pertarungan ini akan ditentukan bukan oleh senjata, tetapi oleh keberanian manusia untuk tetap manusia — memilih cinta di tengah kebencian, keadilan di tengah kezaliman, dan kebenaran di tengah kebohongan.
Jika dunia memilih untuk membungkam nuraninya, maka kita semua kalah. Tapi jika masih ada yang bangkit dan berkata: “Ini salah,” maka pertarungan ini belum berakhir. Dan di sanalah harapan tetap hidup.
Penulis : Tonny Rivani














