SUARA UTAMA – Surabaya, 25 September 2025 – Penyitaan buku kembali menjadi sorotan publik. Polisi menyita buku Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme karya Franz Magnis-Suseno, SJ, dari tangan seorang demonstran berinisial GLM dalam aksi unjuk rasa yang berujung ricuh di Surabaya–Sidoarjo akhir Agustus lalu.
Buku setebal hampir 300 halaman yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama sejak 1999 itu sejatinya bukan manifesto politik, melainkan karya akademis. Magnis-Suseno, seorang rohaniwan Katolik sekaligus filsuf, membedah pemikiran Karl Marx mulai dari sosialisme utopis, teori alienasi, materialisme historis, hingga kritik kapitalisme dengan analisis kritis dan catatan penyeimbang.
Ironi Penyitaan
Penyitaan buku ini dinilai ironis karena karya akademis yang ditulis untuk tujuan pendidikan justru dianggap berbahaya. Eko Wahyu Pramono, praktisi hukum, menilai langkah polisi sebagai tindakan yang kurang tepat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Magnis-Suseno menampilkan Marx dalam kerangka sejarah pemikiran, bukan sebagai propaganda ideologi terlarang. Aparat seharusnya bisa membedakan mana literatur akademis dan mana materi agitasi politik,” tegas Eko.
Rendahnya Literasi Aparat
Menurut Eko, penyitaan ini mencerminkan rendahnya literasi aparat terhadap karya filsafat. “Menyita buku tanpa memahami isinya hanya memperburuk kesalahpahaman. Publik bisa mengira membaca Marx sama dengan menjadi komunis, padahal karya Magnis-Suseno justru menyingkap kelemahan Marx,” jelasnya.
Ia menambahkan, tindakan tersebut memberi sinyal berbahaya: pengetahuan bisa diperlakukan sebagai barang bukti kriminal. “Dalam perspektif hukum dan akademik, ini jelas kemunduran serius,” kata Eko.
Respons Istana
Polemik penyitaan buku ini juga ditanggapi Istana. Deputi Kantor Staf Presiden menegaskan bahwa tidak ada larangan membaca buku Karl Marx maupun Che Guevara di Indonesia. Menurutnya, penyitaan yang dilakukan polisi merupakan bagian dari proses penyidikan terkait kasus demo, bukan kebijakan negara untuk membatasi literasi.
“Tidak ada larangan membaca buku. Semua warga negara bebas membaca. Tetapi dalam konteks kasus hukum, aparat punya kewenangan menyita barang bukti,” ujarnya di Jakarta, Selasa (23/9).
Meski begitu, pernyataan ini tidak meredakan kritik dari kalangan akademisi dan praktisi hukum yang menilai langkah polisi berlebihan.
Perspektif Hukum Positif
Eko Wahyu Pramono menjelaskan, secara hukum Indonesia memang masih memuat larangan terhadap ajaran Marxisme–Leninisme dan Komunisme, sebagaimana diatur dalam Tap MPRS Nomor XXV/MPRS/1966. Namun, ia menegaskan ada perbedaan jelas antara ajaran ideologi dan kajian akademis.
“Tap MPRS melarang penyebaran ideologi komunisme dalam praktik politik dan organisasi. Tapi membaca, mengkaji, atau membedah pemikiran Marx dalam konteks akademis tidak serta-merta melanggar hukum. Inilah yang sering disalahartikan,” jelas Eko.
Ia menambahkan, penerapan hukum harus proporsional. “Kalau setiap buku yang membahas Marx dianggap barang bukti tindak pidana, itu sama saja menutup ruang pendidikan dan riset. Padahal universitas-universitas besar di dunia justru mengajarkan Marx sebagai bagian dari sejarah pemikiran,” katanya.
Ancaman Bagi Kebebasan Berpikir
Eko juga mengingatkan bahwa sejarah menunjukkan bangsa yang melarang buku tidak pernah menjadi lebih kuat, melainkan kehilangan daya kritis. “Negara yang menganggap literasi sebagai ancaman sesungguhnya sedang mempermalukan dirinya sendiri,” tegasnya.
Menurutnya, jika ada yang patut diwaspadai, bukanlah teks filsafat di rak toko buku, melainkan sikap anti-literasi yang memandang setiap bacaan sebagai bahaya.
Kesimpulan
Kasus penyitaan buku dari demonstran berinisial GLM ini memicu perdebatan lebih luas soal posisi literasi di Indonesia. Banyak pihak menilai tindakan itu sama saja dengan menyita akal sehat.
“Literasi tidak pernah menjadi musuh bangsa, melainkan benteng agar masyarakat tidak buta terhadap sejarah, ide, dan kenyataan. Negara yang takut pada buku, sesungguhnya sedang takut pada rakyatnya yang berpikir,” pungkas Eko Wahyu Pramono.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Wartawan Suara Utama














