SUARA UTAMA — Bulan Ramadan selalu datang membawa berkah. Jalanan dipenuhi aroma kue manis, suara azan magrib menjadi alunan yang dinanti, dan masjid-masjid penuh dengan lantunan doa.
Suasana religius menyelimuti kehidupan, mengingatkan kita untuk memperbanyak amal dan mempererat silaturahmi. Namun, di balik keindahan ini, muncul paradoks yang mengajak kita bercermin — tentang makna puasa yang bukan sekadar ritual, melainkan sarana membangun kesadaran akan hubungan dengan Allah dan sesama manusia.
Ramadan adalah bulan menahan hawa nafsu, tetapi justru menjadi bulan konsumsi berlebihan. Pasar takjil ramai, meja makan penuh hidangan yang sering kali melebihi kebutuhan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Niat awalnya hanya “berbuka dengan yang manis.” Namun, tanpa sadar, kita terjebak dalam lapar mata, hingga makanan berlimpah akhirnya terbuang sia-sia.
Padahal, banyak saudara kita yang hanya berbuka dengan air putih dan nasi seadanya. Di sini, puasa seharusnya mengasah empati — mengingatkan bahwa menahan lapar bukan sekadar ujian fisik, tetapi latihan merasakan derita orang lain yang kurang beruntung.
Ironisnya, bulan yang mengajarkan kesabaran justru kadang diwarnai letupan emosi.
Jalanan memanas menjelang berbuka, klakson bersahutan, dan saling salip hanya karena ingin cepat sampai rumah. Ada yang tersinggung hanya karena antrean panjang, lupa bahwa puasa juga melatih kita untuk menahan amarah.
Rasulullah bersabda, “Puasa adalah perisai. Maka, janganlah berkata kotor dan bertindak bodoh. Jika ada orang yang mengajak berkelahi, katakanlah: ‘Aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhari & Muslim).
Lebih menyedihkan, Ramadan yang seharusnya membawa kedamaian kadang justru diwarnai peningkatan kejahatan. Ada pencurian, penipuan, hingga konflik yang seharusnya bisa diredam dengan semangat Ramadan.
Di masa penjajahan Belanda, fenomena ini bahkan dijadikan alat stigmatisasi. Ketika tindak kriminal meningkat menjelang Lebaran, mereka berkata, “Orang pribumi mau Lebaran.” Seolah-olah umat Islam identik dengan kekacauan, tanpa memahami bahwa kemiskinan dan ketidakadilan saat itu adalah akar masalahnya.
Namun, Ramadan sejatinya adalah ruang mempererat kebersamaan. Di saat kita menahan lapar, kita diajak merasakan kesulitan orang lain.
Di saat kita berbagi takjil atau bersedekah, kita sedang merajut solidaritas. Ramadan bukan hanya tentang memperbaiki hubungan vertikal dengan Allah, tetapi juga memperkuat hubungan horizontal dengan sesama manusia.
Tentu, menjaga kesucian Ramadan di tengah hiruk-pikuk dunia tidaklah mudah. Tetapi setiap kali kita tersadar, memperbaiki diri, dan memilih untuk bersikap lembut, itulah kemenangan kecil yang bermakna. Sebab, Ramadan adalah perjalanan spiritual yang mengundang kita untuk terus belajar dan tumbuh.
Karena pada akhirnya, Ramadan bukan hanya tentang aku dan Engkau, melainkan tentang kita. Sebuah perjalanan kolektif menemukan cahaya kebersamaan yang akan terus menerangi hidup, bahkan setelah bulan suci ini berlalu.
Penulis : Nafian faiz : Jurnalis, tinggal di Lampung