SUARA UTAMA- Tabiiik Puuun!!!
Lagu “Bayar Bayar Bayar” yang dibawakan band punk Sukatani menjadi simbol keberanian menyuarakan keresahan publik. Mereka mengangkat realitas pahit: urusan yang bersentuhan dengan aparat kepolisian kerap tak lepas dari bayang-bayang uang.
Sulit dibantah, fakta di lapangan masih menunjukkan banyaknya oknum yang berperilaku negatif. Ini bukan sekadar lirik lagu atau cerita murahan, melainkan potret nyata yang terjadi sehari-hari di tengah masyarakat, meski harus diakui selalu ada upaya perbaikan layanan secara sungguh-sungguh di institusi ini.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ironisnya,upaya reformasi birokrasi itu tercemar oleh ulah oknum, sebagai contoh, yang membuat lagu Bayar Bayar Bayar ini viral justru karena tindakan aparat sendiri.
Ketika lagu ini menyentuh saraf sensitif institusi, respons yang muncul bukan refleksi diri, melainkan tekanan berujung pada permintaan maaf dan penghapusan lagu dari platform streaming.
Ini bukan sekadar penyesalan artis terhadap karyanya, melainkan bukti nyata bagaimana suara rakyat dibungkam. Alih-alih menjadikan kritik sebagai bahan evaluasi, yang terjadi adalah upaya meredam suara yang mengungkap kebobrokan sistem.
Permintaan maaf Sukatani yang terkesan dipaksakan semakin mempertegas wajah lama penindasan terhadap kebebasan berpendapat. Ini memperkuat stigma bahwa sebagian aparat lebih sibuk menutupi keburukan ketimbang memperbaiki pelayanan.
Polri berulang kali mengklaim terbuka terhadap kritik. Tapi ketika kritik muncul dalam bentuk seni — suara paling jujur dari akar rumput — responsnya justru ancaman dan tekanan. Ini bukti bahwa reformasi kepolisian masih sebatas jargon.
Kalau benar-benar ingin berubah, institusi ini harus berani mendengar suara rakyat, bukan membungkamnya dengan intimidasi.
Masyarakat berhak marah, kecewa, dan bersuara. Ketika seni menjadi saluran meluapkan kegelisahan sosial, membungkamnya sama saja dengan menumpuk bara api yang sewaktu-waktu bisa meledak lebih besar.
Sudah menjadi hukum alam: semakin suara rakyat ditekan, semakin nyaring teriakan mereka untuk keadilan. Pada akhirnya, publik hanya menginginkan satu hal: kepolisian yang bersih, melayani tanpa pamrih, dan benar-benar mengayomi.
Kritik bukan musuh, melainkan cermin yang memantulkan kenyataan, seburuk apa pun itu. Jika cermin itu dihancurkan, wajah buruk yang ingin disembunyikan tidak akan hilang — hanya berpindah ke balik bayang-bayang ketakutan rakyat.
Pertanyaannya sederhana: apakah kita ingin punya institusi yang dipercaya rakyat, atau terus memelihara budaya ketakutan?
Jawabannya ada di tangan institusi tersebut. Tapi satu hal yang pasti, kebenaran akan terus bersuara, bahkan jika harus menggema dari balik tembok yang berusaha membungkamnya.
Penulis : Nafian faiz : Jurnalis, tinggal di Lampung