Oleh: Khairul Hibri, Dosen STAI Luqman Al – Hakim, Surabaya, Jawa Timur
SUARA UTAMA – Pada Ahad 29 Desember 2024, ane diminta untuk sharing dengan puluhan wartawan dari media nasional Suara Utama dan pegiat literasi.
Tema besarnya, mengupas rahasia di balik ‘kerenyahan’ karya tulis. Titik tekannya, ada pada kata ‘renyah.’ Kalau merujuk KBBI, kata itu (renyah) memiliki arti; kering, rapuh, dan mudah remuk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kalau diistilahkan cemilan, tak ubahnya kerupuk atau peyek. Menu pelengkap ini memiliki tiga sifat di atas. Karenanya, kalau digigit, kita tak perlu tenaga kuat-kuat. Cukup buka mulut, taruh kerupuk di gigi, tutup mulut, maka akan keluar suara kriuuukkk, tanda krupuk telak pecah, terpotong di dalam mulut. Segitu mudahnya.
Kira-kira, karya tulis semisal itulah yang ingin dihasilkan. Asyik dinikmati sajian tulisannya. Ringan untuk dicerna isinya. Nikmat merasakan nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Saking asyik menikmati, ingin segera ‘melahap’ sesegera mungkin. Bahkan, tak mau berhenti sebelum tuntas.
Lalu, dari mana kita memulai tulisan nan demikian?
Tulisan itu tak ubahnya pembicaraan. Semua akan terasa ringan dan diserap oleh lawan bicara (pembaca), bila muaranya datang dari hati. Dari ketulusan jiwa. Maka, niatlah yang pertama yang perlu dijaga.
Orang yang tulus, maka bawaannya akan tenang. Tak ada beban di hatinya. Yang ada, malah berbunga-bunga, karena ingin berbagi informasi kepada pembacanya.
Cobalah lihat ibu-ibu kompleks yang tengah mengerumpi. Begitu ekspresif si penyampai berita memberitakan informasi. Dan begitu antusia si pendengar mendengarkan. Padahal itu perkara ghibah, yah.
Kalau kita gunakan rumus kebalikannya (dalam istilah ilmu ushul fiqh ‘marhum mukhalafah’); suasana demikian pula yang akan terjadi, bila kita sampaikan kebaikan (informasi positif) dari hati. Dalam konteks pembahasan kita, via tulisan.
Agar pikiran tidak terlalu ditunggangi beban dalam menulis, maka mulailah tulisan itu dari apa yang dikuasai/diketahui. Tidak perlu bermuluk-muluk dulu.
Ketika seseorang sukanya melancong ke pegunungan, misalnya, maka mulailah menulis dengan membuat catatan perjalanan. Dibuka dari titik start, jumlah anggota yang ikut serta, lika-liku perjalanan, gambaran eksotisme pemandangan, hingga akhirnya sampai di garis finish.
Agar tulisan tidak hanya mengandung informasi, tapi juga terdapat nilai-nilai kehidupan, maka selipkan pula dalam karya itu ‘mutiar-mutiara’ yang bisa diambil dari proses pelancongan itu. Mustahil tidak ada. Tinggal kita merenung sedikit, maka akan kita akan dapati pelajaran hidup yang bisa dipetik dari perjalanan yang dilalui.
Menulis dengan pola ini, sejatinya, strategi produktif berkarya yang diberikan oleh Buya Hamka kepada salah seorang anaknya, bakda melakukan perjalanan ke Jepang.
Saat itu sang Buya dibuat penasaran, perihal sang buah tak kadung menyetorkan tulisan catatan perjalanannya, untuk media yang beliau kelola. Setelah ditelusuri, didapati alasan dari sang anak;
“Aku tengah mengumpulkan data-data, ” ucapnya.
Maka, terkait dengan alasan sang putra tercinta ini, Buya menasehati; “Mulailah menulis dari apa yang engkau ketahui. Baru setelah itu, sempurnakan dengan data-data (yang dibutuhkan).”
Hal lain yang patut diperhatikan, ialah pilihan kata-kata. Namanya saja sajian ‘kerupuk,’ maka sebisa mungkin kita pilih kata yang ringan-ringan saja. Mudah difahami oleh khalayak umum. Hatta tukang ojek yang melek aksara, bisa mengerti tulisan kita. Salah satu sebabnya, karena pilihan kata yang ‘sederhana.’
Tips ini pernah dikemukakan oleh seorang wartawan senior Suara Hidayatullah, ketika dalam suatu kesempatan bersua. Saat itu, emang diskusi terkait dengan teknik membuat judul tulisan.
Rumusan dasarnya, beliau menyarankan, tidak usah memilih kata yang berat. Meng-inggris-inggris. Agar dibilang keren. Sederhana saja. Mudah difahami orang.
“Jangan sampai dalam membuat judul, sekedar mengucapkannya saja, pembaca kesulitan. Karena pilihan katanya asing. Apalagi memahami artinya,” ucap beliau.
Lalu, tulisan siapa yang bisa dijadikan rujukan dalam hal ini?
Ane merekomendasikan (salah satunya) tulisan pak Dahlan Iskan. Gaya yang beliau sajikan sangat sederhana. Meski yang dikupas tema berat. Politik, misalnya. Beliau piawai dalam mencari sudut pandang (angel) yang berbeda. Bahkan, bisa dibilang tak lazim.
Coba baca tulisan beliau yang berjudul ‘Politik Ular.’ Sudut pandang yang dipilih terkait perseteruan Hasto-Megawati-Jokowi sangat ‘jenaka.’ Dan sekali lagi, pilihan bahasanya ala ‘wong cilik’ banget.
Apalagi kalau kupasannya tentang perjalanan beliau, yang sering berkunjung ke luar negeri. Lebih ‘renyah’ lagi.
Sudah barang tentu, apa yang diturai pada ulasan ini bersifat subjektif. Kalau punya pandangan berbeda, tak mengapa. Poinnya, mari kita aktif menulis. Seiring waktu, kepiawaian itu akan terasah. Kerenyahan itu akan hadir. Tepung tidak akan pernah menjadi kerupuk yang bisa dinikmati, selama tidak diolah, digoreng dan disajikan. Maka, menulislah.
Penulis : Robinsah
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Redaksi Suara Utama