SUARA UTAMA- Di negeri ini, kritik kerap dituduh tidak sopan hanya karena mengatakan kebenaran. Padahal, tak semua yang keras itu kasar, dan tak semua yang halus itu benar. Ungkapan seperti “Kritik boleh, asal santun” terdengar bijak, tapi tak jarang digunakan untuk membatasi kritik yang dianggap mengganggu kenyamanan kekuasaan atau citra.
Jika kita benar-benar ingin memperbaiki keadaan, maka kritik adalah salah satu instrumen penting. Tanpa kritik, kekeliruan akan terus berjalan seperti tak terjadi apa-apa. Namun budaya kita sering memfilter kritik bukan pada isinya, tapi pada gayanya. Ukuran “sopan” menjadi elastis: jika kritik menyenangkan, disebut santun; jika menyentil kuasa, dicap menyerang.
Bagaimana mungkin seseorang diminta memperbaiki sesuatu, tanpa diberi tahu apa yang salah? Kritik sejati menyebut dengan jelas letak persoalan, bukan sekadar memberi pujian berbalut basa-basi. Di situlah nilai keberanian dan kejujuran seorang pengkritik diuji.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun tentu saja, pengkritik pun punya tanggung jawab moral. Kritik yang lahir dari pemahaman dan niat memperbaiki akan berbeda nadanya dari kritik yang digerakkan oleh dendam atau emosi. Kritik yang baik bukan sekadar menyalahkan, tapi menunjukkan kepedulian dan—kalau mungkin—memberi arah perbaikan. Seperti kata seorang filsuf: “Kritik adalah cinta yang bersuara. Karena musuh tak peduli Anda berubah, tapi sahabat ingin Anda membaik.”
Sebaliknya, pihak yang dikritik pun harus punya kerendahan hati. Jangan langsung menilai cara penyampaiannya, tapi cermati substansinya. Kadang kritik terdengar pedas karena masalahnya memang sudah lama dibiarkan. Jangan abaikan jerit kebenaran hanya karena disampaikan dengan suara tinggi.
Yang perlu kita bangun adalah budaya kritik yang saling memperbaiki, bukan saling membungkam. Pengkritik tidak merasa paling tahu, dan yang dikritik tidak merasa paling benar. Dalam ruang seperti ini, kritik menjadi cermin, bukan cambuk.
Jika kita terus menuntut kritik harus sopan dalam arti yang sempit, kita hanya akan menghasilkan budaya bisu. Padahal, lebih baik telinga kita panas oleh kritik hari ini, daripada bangsa kita rusak karena kebisuan panjang.
Maka, daripada berkata “asal sopan”, lebih baik kita berkata: “asal jujur dan bertanggung jawab.” Di situlah letak martabat kritik dan kematangan penerimanya.
Penulis : Nafian faiz : Jurnalis, tinggal di Lampung