Kebersamaan yang Gagal Menyentuh Hati

- Penulis

Selasa, 15 April 2025 - 17:55 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi: Kebersamaan || suarautama.id

Ilustrasi: Kebersamaan || suarautama.id

SUARA UTAMA-
Kebersamaan adalah kata yang hangat diucap, akrab di telinga, dan sering jadi bintang di berbagai momen kebahagiaan. Dalam pertemuan keluarga, reuni teman lama, hingga kegiatan organisasi, kata ini selalu hadir sebagai tema, semboyan, bahkan simbol keakraban.

Namun, di balik hangatnya euforia dan ramainya unggahan media sosial, kita mulai menyadari sesuatu yang mengganjal: kebersamaan yang sering kita rayakan ternyata tak selalu menyentuh hati. Ia sekadar ramai di permukaan, tapi hampa di kedalaman. Hadir secara fisik, namun tak menyatu secara batin.

Ketika Makna Kebersamaan Menyempit

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Kebersamaan yang Gagal Menyentuh Hati Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Fenomena ini bukan tanpa sebab. Kita hidup di zaman di mana citra lebih utama daripada rasa. Foto kebersamaan disebar luas, seragam dipakai kompak, tawa dipertontonkan—namun sejatinya, mungkin tak ada empati yang mengalir, atau hati yang benar-benar saling terhubung.

Kebersamaan menyusut menjadi simbol, bukan substansi. Padahal, kebersamaan sejati tak diukur dari seberapa sering kita bertemu, melainkan seberapa dalam kita saling mengerti, terutama di saat sunyi dan sulit.

Mengapa Kebersamaan Kini Terasa Kosong?

1. Budaya Simbolik Mengalahkan Esensi

Dalam banyak tradisi sosial kita, tampilan luar sering dianggap cukup. Makan bersama atau foto bareng dianggap sudah mewakili kepedulian, padahal bisa jadi tidak ada percakapan yang berarti di baliknya.

2. Relasi yang Didorong Kepentingan

Kehadiran sebagian orang dalam lingkaran kebersamaan seringkali dipicu oleh kepentingan: koneksi, popularitas, atau manfaat lainnya. Kebersamaan menjadi alat untuk sesuatu yang lebih pragmatis.

3. Menghindari Ketidaknyamanan

Ketika seseorang tertimpa musibah atau berada dalam kesulitan, banyak yang justru menjauh. Bukan karena benci, tapi karena tak tahu harus bersikap bagaimana. Ketidaknyamanan membuat empati ditunda.

4. Arus Individualisme yang Kian Deras

Gaya hidup modern menuntut kecepatan, pencapaian, dan fokus pada diri sendiri. Dalam hiruk pikuk mengejar target, empati dan kepedulian perlahan menjadi nilai yang asing.

BACA JUGA :  Bagaimana Cara Untuk Melakukan penggantian Kartu Axis Yang Hilang

Langkah Kecil untuk Kebersamaan yang Tulus

1. Ajarkan Makna Sejati Sejak Dini

Anak-anak perlu dibimbing memahami bahwa kebersamaan bukan hanya ada saat senang, tapi juga saat luka. Bukan hanya soal tertawa bersama, tapi juga menangis bersama.

2. Hadir dengan Hati, Bukan Hanya Raga

Alih-alih hanya berkumpul, kita perlu membangun ruang dialog yang aman, tempat orang bisa didengar, dimengerti, dan tidak dihakimi.

3. Kehadiran Emosional Itu Bermakna

Satu kalimat seperti “aku di sini kalau kamu butuh” bisa jauh lebih berarti daripada ribuan kata basa-basi. Tak harus materi—cukup hati yang hadir.

4. Bangun Budaya Peduli di Lingkungan

Komunitas, organisasi, dan lembaga pendidikan harus aktif menumbuhkan empati. Jangan hanya memberi panggung pada yang bersinar, tapi juga pelukan pada yang terjatuh.

Penutup: Di Saat Sunyi, Siapa yang Masih Hadir?

Kebersamaan tak diuji di tengah tawa dan sorotan, melainkan di tengah sepi dan kepedihan. Bukan siapa yang datang saat pesta, tapi siapa yang tetap tinggal saat semua pergi.

Mungkin kita pernah dikelilingi banyak orang, namun tetap merasa sendiri. Itulah kebersamaan yang gagal menyentuh hati—karena ia hanya hidup di luar, tapi tak menyala di dalam.

Kini saatnya kita bertanya: apakah kita benar-benar bersama, atau hanya tampak bersama?

Referensi Pemikiran:

1. Fromm, Erich. The Art of Loving. Harper Perennial Modern Classics, 2006.
2. Bauman, Zygmunt. Liquid Modernity. Polity Press, 2000.
3. Noddings, Nel. Caring: A Feminine Approach to Ethics and Moral Education. University of California Press, 2013.
4. Merton, Thomas. No Man Is an Island. Harcourt, 1955.
5. Sennett, Richard. Together: The Rituals, Pleasures and Politics of Cooperation. Yale University Press, 2012.

Penulis : Yoni Wahyu Sampurna, S.Pd. Guru Bahasa Indonesia SMPN Satu Atap 1 Rawajitu Timur

Editor : Nafian Faiz

Berita Terkait

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  
Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”
Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza
Refleksi Hari Guru Nasional 2025
Festival Perahu Hias & Lomba Dayung Meriahkan HUT Mesuji ke-17: Warga Padati Sungai Mesuji!
Pelajar SMKN 1 Panca Jaya Alami Kecelakaan Tunggal, Kini Dirujuk ke RSUD Ragab Begawe Caram
Kasus Pelecehan di Dumai, DJ Sukabumi Resmi Mengadu ke Bareskrim Polri
Polres Tanjabbar Gelar Apel Pasukan Operasi Zebra 2025, Upaya Efektif Menurunkan Angka Kecelakaan
Berita ini 163 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 4 Desember 2025 - 19:29 WIB

Dakwah Dan Aktivitas Amar Ma’ruf Nahi Munkar  

Rabu, 3 Desember 2025 - 14:43 WIB

Friedrich Nietzsche dan Gema Abadi dari Kalimat “Tuhan Telah Mati”

Senin, 1 Desember 2025 - 14:21 WIB

Membedah Pemikiran Filsuf Baruch De Spinoza

Selasa, 25 November 2025 - 11:34 WIB

Refleksi Hari Guru Nasional 2025

Senin, 24 November 2025 - 20:58 WIB

Festival Perahu Hias & Lomba Dayung Meriahkan HUT Mesuji ke-17: Warga Padati Sungai Mesuji!

Jumat, 21 November 2025 - 15:51 WIB

Pelajar SMKN 1 Panca Jaya Alami Kecelakaan Tunggal, Kini Dirujuk ke RSUD Ragab Begawe Caram

Jumat, 21 November 2025 - 12:54 WIB

Kasus Pelecehan di Dumai, DJ Sukabumi Resmi Mengadu ke Bareskrim Polri

Senin, 17 November 2025 - 21:19 WIB

Polres Tanjabbar Gelar Apel Pasukan Operasi Zebra 2025, Upaya Efektif Menurunkan Angka Kecelakaan

Berita Terbaru