SUARA UTAMA, JAYAPURA – Kita tidak bisa hanya mengandalkan atau mengharapakan hutan hujan tropis yang sudah tersedia secara alami di Papua, sebagai habitat pepohonan terbesar di dunia. Kenyataan ini, hanyalah untuk membuang energi kita yang ada untuk bekerja mengolah hutan dan menanam bibit pohon.

Demi menjaga paruh-paruh dunia, kita diwajibkan untuk menanam bibit pohon di pekarangan rumah, sekolah, kantor, hingga sepanjang jalan. Ini menjadi tanggung jawab setiap individu, keluarga, komunitas bahkan pemerintah. Setidaknya masing-masing orang mampu menanam satu bibit pohon, agar pohon-pohon tersebut tumbuh berkembang biak.
BACA JUGA : Demonstran dihadang paksa oleh Kepolisian didepan Gapura Uncen Papua
Di sisi lain supaya pohon-pohon itu terpelihara, terjaga dan terawat secara baik. Agar kedepannya, pohon dan hutan yang semakin hari semakin hilang dalam kepunahannya ini, terus terpelihara dan terlestari dengan baik.

Aktivitas inilah yang dilakukan dalam kesehariannya oleh Yesaya Giyai tanpa mengenal lelah. Pria asal kampung Onago, Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua ini meluangkan waktu untuk bersahabat bersama pohon-pohon di tempat ia tinggal.

Dia mengatakan tangan dan kaki harus difungsikan semaksimal mungkin untuk bekerja menanam dan memelihara hutan serta pohon, agar kelak pohon-pohon ini terus dipelihara dan dilestarikan oleh generasi sekarang ke generasi yang akan datang.
Awal mula Oker bibit pohon
Bekerja untuk menanam bibit pohon bukanlah pekerjaan yang sulit dan melelahkan bagi pria yang kini sudah menginjak usia 56 tahun itu. Baginya, rentan usia bukanlah masalah untuk membatasi dirinya agar bekerja.
BACA JUGA : USBN SMAN 4 Paniai Barat Dinyatakan Lulus 100 Persen, Wakasek: Kamu Harus Kuliah Baik
Dia pun memiliki prinsip kerja. “Kerja bukanlah soal umur tapi etos kerja kita. Bagimana supaya kita sebagai manusia dapat memaksimalkan tenaga dan potensi yang kita miliki untuk bekerja menanam dan mengelolah sumber daya alam yang kita miliki.” Itulah prinsip kerja bagi dirinya yang terus dipertahankannya sampai saat ini. Lapor wartawan wilayah Papua kepada redaksi Suara Utama ID, Senin (16/05/2022).
Pekerjaanya terkesan bervariasi. Mulai dari penanam bibit pohon hingga sebagai kepala pengkokeran di lingkungan pemerintahan Deiyai. Dia mulai merintis usaha Oker bibit tanaman kopi, cemara, dan cepressus atau dalam bahasa latin cepressus phyllocladus sejak tahun 1994/1995.
“Terhitung sudah 29 tahun sejak tahun 1994/1995 dibuka. Saya membuka usaha oker tanaman hanya tiga bibit pohon yaitu bibit pohon cemara, kopi, dan cepressus phyllocladus.”
Kelola biji pohon hingga hasilkan ratusan ribu perhari
Sebelum memulai mengoker bibit pohon baik Cemara, Kopi, maupun Cepressus, dirinya sudah menanam induk dari ketiga bibit pohon tersebut.
“Rencana besar ini sudah saya pikir dan rencanakan sejak masih muda, saat itulah saya mulai menanam pohon. Dan akhirnya, rencana besar itu pun terwujud ketika saya mengambil tanaman dari ketiga biji pohon dari masing-masing induknya yang sudah ada.”
Giyai pun bersyukur atas hasil yang dicapainya. Sampai saat ini, hasil kerja kerasnya dalam menanam bibit pohon sudah cukup membuahkan hasil yang maksimal dan ada pula ribuan bibit pohon yang siap dijual.
“Saya sangat bersyukur untuk saat ini, dengan proses yang tidak muda, ribuan bibit pohon sudah tersedia untuk dijual. Masing-masing diantaranya; lima ribu bibit pohon cemara, lima ribu bibit pohon cepressus dan serib bibit pohon kopi.”
Untuk mengembangkan usahanya, Giyai sudah merekrut beberapa karyawan putra asli Deiyai, khususnya dari kampung Onago untuk membantu dirinya bekerja menanam bibit pohon.
Sejauh ini, Giyai sudah memperkerjakan beberapa anak muda khususnya dari Onago untuk bekerja.
“Saya menggaji mereka perhari dan perbulan. Rata-rata 200 untuk per/hari dan 500 untuk per/bulan.
Pria kelahiran Onago, 06 April 1966 ini juga menjelaskan, bahwa sejauh ini ada beberapa kabupaten yang sudah menjadi langganan tetapnya.
“Iya, sejauh ini selain masyarakat kabupaten deiyai, ada juga beberapa warga dari kabupaten lain yang datang untuk membelinya seperti Paniai dan Dogiyai.
Satu bibit pohon dijual dengan harga Rp10.000.00,- (sepuluh ribu rupiah). Sekali dibeli 10 hingga 500 bibit pohon dari masing-masing bibit pohon yang tersedia.
Namun, Giyai lebih optimis untuk menjualnya di hari-hari tertentu seperti hari-hari besar dan sekali saat mendatangi pasar sentral di Waghete dengan harga satu bibit pohon Rp10.000.00,- (sepuluh ribu rupiah). Dan keuntungan yang didapatkannya setelah berhasil menjualnya rata-rata mencapai 100.000.00,- (seratus ribu rupiah) hingga 500.000.00,- (lima ratus ribu rupiah) dari 10 sampai 500 bibit pohon yang terjual.
Uang yang didapat dari hasil penjualan bibit pohon, selain melengkapi bahan-bahan keperluan bibit pohon, Giyai juga membayar upah para karyawan dan membantu memenuhi keperluan keluarganya seperti melengkapi kebutuhan istri, menyekolahkan anak-anaknya.
“Saya bersyukur, karena kakak yang lebih tua sudah wisuda beberapa tahun lalu.”
Harapan Yesaya Giyai
Pria dengan enam anak ini terus melakukan kampanye untuk menjaga pohon dan hutan yang ada. Dirinya mengharapkan agar pemerintah kabupaten Deiyai harus membantu masyarakat menanam bibit pohon entah di halaman kantor, sekolah, gerejah, rumah, balai kampung dan di jalan sekalipun.
“Pemerintah harus buka mata untuk datang kunjungi dan membeli bibit pohon, dan kopi yang ada.”
Menurut Giyai, selama ini, selain kopi Mowanemani dan kopi lainnya yang dimiliki anak asli Papua, kebanyakan masyarakat Papua lebih khususnya di Deiyai terlalu menghabiskan uang hanya untuk membeli kopi olahan dari luar daerah.
“Pemerintah Deiyai harus mengambil contoh dari kabupaten lain khususnya Dogiyai. Pabrik kopi Dogiyai sudah maju dengan kualitas pengelolahan kopi Mowanemani yang cukup andal dan memadai serta tersebar luas hingga kanca nasional. Dan kebanyakan masyarakat Dogiyai, sudah mulai terlihat mengutamakan untuk membeli kopi Moanemani ketimbang lainnya.