Tanah Rakyat Atau Tanah Negara

- Writer

Jumat, 21 Juni 2024 - 22:14 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Suara Utama – Membicarakan kehidupan petani, kita tak dapat lepas dari membicarakan kehidupan masyarakat petani yang telah berabad-abad dicengkram oleh sistem feodalisme (kerajaan). Feodalisme yang dimaksud adalah suatu cara berekonomi atau suatu ekonomi di mana raja, keluarganya dan para bangsawan serta penguasa daerah adalah tuan dan rakyat petani sebagai abdi. Jadi, dalam cara berekonomi feodalisme, alat produksi seperti tanah adalah milik raja dan para bangsawan. Bahkan, rakyat juga menjadi milik raja yang dapat dikerahkan tenaganya untuk kepentingan penguasa.

Alat produksi tanah, rakyat menggarapnya hanya mempunyai hak menggunakan, tidak berhak memiliki atau menguasai. Tanah adalah kepunyaan para raja dan bangsawan. Demikian pula, tenaga rakyat wajib diberikan bila raja menghendaki untuk keperluan membersihkan keraton, mencari rumput untuk kuda-kuda raja, melakukan penjagaan, mengangkut barang-barang dan sebagainya.

Dari tanah garapannya, petani wajib atau diharuskan menyerahkan separuh hasil buminya kepada raja sebagai upeti berupa buah-buahan, padi, barang-bahan mentah atau yang sudah jadi, dan bahan-bahan kayu gelondongan. Dan bila seorang raja takluk pada raja yang lainnya, maka raja itu harus mengirim upeti kepada raja pemenangnya dan ini dibebankan kepada petani sebagai suatu kewajiban.

ADVERTISEMENT

IMG 20240411 WA00381 Tanah Rakyat Atau Tanah Negara Suara Utama ID Mengabarkan Kebenaran | Website Resmi Suara Utama

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebagaimana telah diuraikan di atas, di samping itu rakyat atau petani harus bekerja untuk raja atau para penguasa daerah seperti bupati sebagai tanda baktinya kepada raja. Bagi petani, hal itu jelas menambah beban yang semakin memberatkan, apalagi ketika kaum kolonial (penjajah) memanfaatkan sistem feodalisme ini untuk memungut surplus hasil bumi petani. Beban ini, pertma, harus menyerahkan sebagian hasil produksinya dan, kedua, harus bekerja secara cuma-cuma kepada raja atau bangsawan, jelas membuat petani menjadi miskin karena sisa hasil produksi yang mereka pakai sendiri adalah hanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya secara (subsistensi). Tidak ada sisa surplus hasil produksi yang bisa dipakai untuk kepentingan kemakmuran dirinya. Semua surplus itu telah diserahkan pada para raja atau bangsawan.

Jelas, sistem feodal hanya memakmurkan dan bangsawan, sementara para petani diperas tenaganya dan sengsara. Sebab, dalam sistem feodal, aliran hasil bumi banyak ke atas (ke pihak raja), sedangkan aliran ke bawah (ke petani) sedikit sekali. Dengan mudah dapat ditemukan dalam masyarakat feodal adanya selubung budaya yang menganggap bakti pada raja sebagai bakti terhadap Tuhan. Pemerasan tenaga petani merupakan kewajiban suci kepada wakil Tuhan di dunia, yaitu raja.

Tidak hanya itu, para pegawai raja juga sering memanfaatkannya dengan kedok “untuk raja” dalam memeras dan menindas petani. Tidak jarang para bangsawan raja ini berbuat sewenang-wenang kepada petani dengan membebankan pungutan hasil produksi petani sebesar-besarnya sehingga petani lebih menderita lagi. Jadi, para petani disini mengalami pemerasan ganda.

Yang disebut kolonialisme atau penjajah adalah anak dari kapitalisme. Oleh karena itu, sebelum kita membicarakan kehidupan petani di masa kolonialisme, penting untuk membicarakan kapitalisme dahulu. Kapitalisme, juga sama seperti feodalisme, pada mulanya adalah suatu cara berekonomi. Tapi, berbeda dengan feodalisme di mana alat produksi dikuasai oleh raja, dan dalam kapitalisme alat produksi dikuasai oleh kapitalis atau pemilik modal (kapitalis). Ia di sini tidak harus bekerja mengabdi atau berbakti pada raja secara cuma-cuma. Ia bekerja pada pemilik modal sebagai buruh dengan upah uang.

Perspektif  kapitalisme, bukan raja yang menguasai alat produksi, tapi pemilik modal yang memilikinya secara pribadi. Di sini ada kebebasan kepemilikan pribadi alat produksi oleh setiap orang, sedangkan yang tidak memiliki alat produksi menjadi buruh atau pekerja kepada pemilik modal. Kaum kapitalis mempekerjakan buruh dalam memakai alat produksinya bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan untuk mengembangkan modalnya sehingga ia menjadi lebih kaya dan, dengan itu, lebih berkuasa.

Kapitalisme, sebagai cara berekonomi, muncul pertama kal di Eropa Barat pada abad XVI-XVII, bersamaan dengan meluapnya tuntutan akan kebebasan dan persamaan yang meledak pada masa Revolusi Prancis XVII di mana kekuasaan raja dan ratu digulingkan oleh kaum liberal. Bukan hanya reaksi kaum kapitalis terhadap kaum feodal yang meruntuhkan sistem feodal itu, tapi Revolusi Industri dan komersial pada abad XVI-XVII telah memacu proses produksi sedemikian rupa sehingga mematahkan rintangan-rintangan yang berasal dari feodalisme.

Pada titik ini ekspansi wilayah oleh kaum kapitalisme memainkan peranan penting. Di sini mulai terjadi penguasaan tanah-tanah jajahan. Ketika kepentingan bangsa-bangsa kapitalisme utama mulai berkembang, mulailah dijalankan sistem kolonial, yaitu penaklukan dan penguasaan rakyat bersama sumber daya ekonomi tanah jajahan menjadi bagian dari tujuan kekuasaan mereka.

BACA JUGA :  Pandis Kecamatan Bogobaida Kab Paniai, Gelar Sukses Pelantikan PPL 7 Desa

Data Konsorsium Pembaharuan Agraria sepanjang tahun 2020, terjadi letusan konflik agrarian di semua sektor yang dipantau KPA. Konflik akibat perkebunan sebanyak 122 letusan konflik, kehutanan (41), pembangunan infrastruktur (30), property (20), tambang (12) fasilitas militer (11) pesisir dan pulau-pulau kecil (3), dan agrobisnis (2).

Mafaat dan mudarat bagi umat manusia itulah yang semestinya menjadi pertimbangan utama pemimpin dalam pengambilan keputusan di aspek atau bidang kehidupan apa pun. Rujukan utama bernegara dan berpemerintahan adalah Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam hal pengelolaan suber daya alam, pasal 33 UUD telah mengamanahkan dengan sangat jelas, siapa penguasa atau pemiliknya dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk apa kekayaan alam yang dimiliki oleh negara tersebut.

Semua kebijakan yang diambil oleh pemerintah sebagai pengembang amanah negara tidak boleh bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945. Berdasarkan landasan konstitusi tersebut, dalam hal pemanfaatan sumber daya alam, kesejahteraan rakyat yang berkesenabungan didahulukan daripada kepentingan lain walaupun dalilhnya peningkatan pendapatan perolehan devisa negara atau daerah.

Landasan konstitusi di atas sesuai dengan asas (kaidah) yang dituntunkan dalam Alquran, Hadis Nabi, dan kesepakatan para ahli fiqih terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam. Para ahli fiqih telah sepakat dalam pembuatan kebijkan (hukum) pemanfaatan sumber daya alam dengan tujuan kemaslahatan harus berdasarkan pada tiga asas (kaidah) utama, Pertama, kepentingan masyarakat luas dan bangsa harus didahulukan daripada kepentingan pribadi maupun golongan. Kedua, menghindari atau menghilangkan penderitaan harus didahulukan daripada memperoleh keuntungan. Ketiga, kehilangan atau kerugian yang lebih besar tidak dapat digunakan untuk menghilangkan kerugian yang lebih kecil.

Konflik atau kasus pemanfaatan sumber daya alam, seperti konflik agrarian (perkebunan) sebagaimana yang dihadapi masyarakat selama ini juga konflik pemanfaatan air, semestinya dapat diminimalisir apabila para pemimpin atau penguasa pusat dan daerah amanah terhadap konstitusi negara dan paham serta merujuk asas legal pemanfaatan sumber daya alam. Sayangnya penyelesaian atas konflik-konflik agrarian nampak sering tidak berpihak pada rakyat yang hanya dengan dalih kepentingan umum atau bangsa.

Dari hari ke hari, intensitas fenomena konflik agraria Nampak semakin tinggi seiring makin tingginya tekanan kebutuhan akan lahan untuk berbagai macam pemanfaatan. Sementara itu, kebijakan dalam pemenuhan kebutuhan akan lahan sangat jarang mempertimbangkan aspek manfaat mudarat bagi kepentingan rakyat banyak. Seringkali, pembangunan meninggalkan permasalahan dan penderitaan rakyat. Pada hal jika kebijakan yang diambil berpijak dalam konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) mestinya hal itu tidak terjadi, paling tidak bisa diminimalisasi.

Paradigma pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan tiga aspek, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan hidup. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Keberhasilan pembangunan bidang ekonomi harus berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan sosial dan ramah lingkungan. Demikian juga, keberhasilan pembangunan bidang sosial harus dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan ramah lingkungan serta sebaliknya. Jadi, kalau pembangunan bidang ekonomi yang telah dilaksanakan saat ini banyak menyisahkan permasalahan sosial dan lingkungan serta mengakibatkan penderitaan rakyat, maka hal itu bertentangan, baik dengan amanah Allah Swt. Maupun konstitusi negara.

Dinamika ini dibuat dalam situasi di mana banyak orang Indonesia sudah terbiasa dan dibiasakan memenuhi kebutuhan hidupnya melalui transaksi jual belih. Semua cenderung menganggap transaksi jual belih itu normal dan alamiah. Lebih dari itu, untuk berhasil memenuhi kepentingan memperoleh pendapatan atau keuntungan, cara jual belih merupakan sesuatu yang sudah lazim ditempuh.

Indonesia bukan hanya menganut politik pintu terbuka terhadap pengaruh pasar internasional. Lebih dari itu, Indonesia menganut politik rumah terbuka, yakni semua bisa dimasuki pengaruh kekuatan pasar internasional. Sekarang ini kita tidak memiliki rujukan yang otoritatif mengenai batas apa-apa yang boleh atau tidak boleh diperjual-belikan bukanlah demikian?. Berbeda dengan mereka yang menganggap pasar sebagai kesempatan, di sini hendak menunjukkan sisi pasar yang dianggap biasa, normal, alamiah bahkan sudah seharusnya, sekaligus juga mengenai cara bagaimana perusahaan-perusahaan raksasa memperoleh modal untuk memproduksi komoditas atau barang-barang dagangannya.

Hal ini jarang sekali dibicarakan dan dipikirkan sungguh-sungguh, terutama dalam hubungannya dengan masa depan tanah, hutan air rakyat kita.

Masri Anwar, Pegiat Lingkungan Hidup

Berita Terkait

Inkubasi Bisnis Wiji Unggul 2024 Ditutup dengan Sukses: UMKM Tangguh dan Adaptif
Realitas Semu Program Sinetron Televisi
Miris, Masyarakat Kecewa Bayar Air PDAM Terdouble
Dampak kenaikan UMK 2025 dan Ancaman PHK
Rapat Forum Kader Pemuda Bela Negara Bahas Rencana Kerja Tahun 2025
Pembangunan gapura di wilayah RW-09 Suspected manipulatif
Sejarah Jembatan Ampera
Gus Miftah Tuai Kritik: Pernyataannya Disebut Mengikis Nilai Moral
Berita ini 97 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 12 Desember 2024 - 11:01 WIB

Inkubasi Bisnis Wiji Unggul 2024 Ditutup dengan Sukses: UMKM Tangguh dan Adaptif

Rabu, 11 Desember 2024 - 17:24 WIB

Realitas Semu Program Sinetron Televisi

Selasa, 10 Desember 2024 - 11:23 WIB

Miris, Masyarakat Kecewa Bayar Air PDAM Terdouble

Senin, 9 Desember 2024 - 16:25 WIB

Dampak kenaikan UMK 2025 dan Ancaman PHK

Minggu, 8 Desember 2024 - 08:09 WIB

Rapat Forum Kader Pemuda Bela Negara Bahas Rencana Kerja Tahun 2025

Sabtu, 7 Desember 2024 - 13:25 WIB

Pembangunan gapura di wilayah RW-09 Suspected manipulatif

Jumat, 6 Desember 2024 - 21:10 WIB

Sejarah Jembatan Ampera

Kamis, 5 Desember 2024 - 20:12 WIB

Gus Miftah Tuai Kritik: Pernyataannya Disebut Mengikis Nilai Moral

Berita Terbaru

Ilustrasi : Menonton program siaran televisi (Sumber : Freepik)

Artikel

Realitas Semu Program Sinetron Televisi

Rabu, 11 Des 2024 - 17:24 WIB