SUARA UTAMA. Sekecil apapun tindakan/perbuatan kita akan berakibat makro terhadap kondisi orang (masyarakat) sekitar kita.
Ramadhan adalah ibadah yang diwajibkan untuk semua mukmin. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa)
Kata “alaikum” (untuk kalian semua) adalah terdiri dari saya, kamu dan kita. Dari ayat ini faktor individu (person/saya) dengan sasaran internal psikologis individu, kamu sebagai sasaran obyek “dakwa kepedulian” terhadap orang yang paling dekat (muqorrobin kita; keluarga, teman dekat) dan kita adalah orang (obyek) yang terjangkau dengan kita, yang kita kenal atau tidak dengan sasaran psikologis sosial atau yang kita kenal dengan sosiologi masyarakat.
Tujuan utama Ramadhan adalah ketaqwaan (agar kamu bertakwa). Betaqwa adalah kata kerja yang menyerukan dan mengharuskan melakukuakan perbuatan “taqwa”. Menurut Ali bin abi Thalib Radiallahuanhu memberikan definisi taqwa yang lebih rinci, Beliau berkata : التقوى هي الخوف من الجليل و العمل بالتنزيل والرضا بالقليل و الإستعداد ليوم الرحيل (Taqwa adalah takut kepada Allah, beramal sesuai yang diturunkan (Al-Qur’an dan As-sunnah), menerima dengan yang sedikit dan selalu senantiasa bersiap-siap menempuh untuk hari perjalanan menghadap Allah}. Dari pendapat Sayyidian Ali RA, tersebut ada 2 perlakuan taqwa yaitu pertama beramal sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah dan kedua adalah perlakuan persiapan untuk menjemput ajal.
Dalam kegiatan perilaku ibadah Ramadan yang kita lakukan sehari hari ada banyak kegiatan ketaqwaan yang secara tidak terasa kita lakukan dan juga kita indakan (tidak kita pedulikan). Kita melakukan berbuka puasa dengan kecukupan disisi lain kita tidak tahu (dan mungkin tidak mau tahu) bahwa saudara kita, tetangga kita yang juga sedang berpuasa belum bisa berbuka atau dengan berbuka nasi dan garam saja. Kita melakukan taroweh dengan khusu beramai ramai di musholla dan masjid, tapi ada saudara, teman kita yang tidak bisa melakukan taroweh karena tidak punya pakaian yang pantas untuk di bawah sholat berjamaah. Ini seakan arti kesholehan kita “ambigu” terhadap “ketolehan” orang lain.
Dalam dunia pendidikan, perilaku tidak taqwa seringkali dilakukan dan ini berakibat sangat fantastis terhadap sosiologi masyarakat. Contoh tidak pedulinya pimpinan struktural terhadap kinerja dosen maupun pegawai tendik yang mungkin sering bolos kerja, mengapa mereka bolos, sebab apa dan seterusnya…. akan berakibat pada daya serap ilmu mahasiswa yang berkurang, akan ada penurunan kwalitas dan kuantitas mahasiswa dan seterusnya. Karena faktor “bolos” ini akan berakibat negatif lainnya dan pada ujungnya menurunnya akreditasi, karena faktor akreditasi menurun berakibat peningkatan kesejahteraan pegawai menurun, karena kesejahteraan menurun, keluarga pegawai kesejahteraannya menurun dan secara luas berakibat masyarakat yang terlibat di dalamnya tempat dunia pendidikan tersebut juga akan menurun. Ini seperti terlihat sepela… seorang dosen atau pegawai yang membolos dan dilakukan secara individu, mengakibatkan kefatalan penurunan kesejahteraan masyarakat secara luas.
Dalam ramadhan ada contoh tauladan yang dapat diambil hikmahnya secara sosiologis
- Puasa dengan waktu yang ditentukan (sahur pada waktu sebelum imsak, berbuka pada waktu maghrib); mempunyai makna kita diwajibkan untuk selalu taat waktu, tepat waktu dan konsisten pada waktu.
- Kita disunahkan Jamaah Tarowih; mempunyai makna kita disunahkan melakukan sesuatu (yang tidak harus/sunah) secara bersama-sama dan gotong royong, seperti memberi takjil gratis, santunan sosial dan sebagainya.
- Kita diberikankan “iming-iming” lailatul qodar di dalam Ramadan, agar supaya kita dapat memotivasi diri sendiri dan orang lain untuk lebih melakukan “ketaqwaan” untuk mendapatkan yang lebh dari yang diwajibkan dan dibutuhkan tapi yang dunahkan atau yang diinginkan.
- Kita diwajibkan zakat fitra (zakat individu) yang dalam pelaksanaannya zakat ini harus diberikan pada orang lain (mustahiq/yang berhak); merupakan cerminan bahwa kita harus membersihkan diri sendiri terlebih dahulu sebelum terlibat dalam memimpin masyarakat, dalam bahasa UNDARnya melakukan pengabdian kepada mayarakat harus dengan taat, tekun, jujur, sabar dan ikhlas.
Wallahu alam bishowab