Penulis Oleh : Dr. H. Alpun Khoir Nasution, S.Ag,MH
(Suatu Studi Analitis Komparatif) Terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam)
SUARA UTAMA, Muzakaroh DP.MUI Asahan tentang Pencatatan Perkawinan Dalam Hukum Islam Indonesia (Suatu Studi Komparatif Analitis Komparatif) Terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam) di Aula MUI Kab.Asahan.
Dalam kehidupan di dunia ini, Allah SWT menciptakan makhluk-makhluk-Nya berpasang-pasangan agar hidup berdampingan, saling mencintai dan berkasih sayang untuk meneruskan keturunan. Manusia sebagai makhluk sosial yang beradab, menjadikan mana hidup berdampingan ini sebagai suami dan isteri dalam suatu perkawinan yang kemudian diikat oleh hukum guna menjadi sah dan disertai dengan tanggung jawab. Seorang pria dan seorang wanita yang memasuki kehidupan suami dan isteri, berarti telah memasuki gerbang baru dalam kehidupannya untuk membentuk sebuah rumah tangga sakidah, mawaddah dan wa rahmah
Manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dan melestarikan keturunannya. Ini diwujudkan dengan pernikahan. Pernikahan yang menjadi anjuran Allah dan RasulNya ini merupakan akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
BACA : Redaksi Suara Utama Kembali Buka Kesempatan Bergabung Menjadi Jurnalis
Perkawinan pada dasarnya merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan. Berkenaan dengan perkawinan, akan timbul hubungan antara suami isteri dan kemudian dengan lahirnya anak-anak akan menimbulkan hubungan hukum antara orangtua dengan anak-anak mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan dan menimbulkan hubungan hukum antar mereka dengan harta kekayaan tersebut. Dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Negara Indonesia sebagai suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) mengatur pada tatanan bahwa perkawinan pada hakikatnya mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting.
Ikatan lahir berarti bahwa para pihak yang bersangkutan karena perkawinan, secara formil merupakan suami isteri, baik bagi mereka dalam hubungannya satu sama lain maupun bagi mereka dalam hubungannya dengan masyarakat luas. Ikatan batin dalam perkawinan berarti bahwa dalam batin suami isteri yang bersangkutan terkandung niat yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan dalam berkeluarga.
Berbicara pada aturan tata-tertib perkawinan, maka pada hakikatnya juga sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama. Aturan tata tertib itu terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di dalam suatu negara. Di Indonesia aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja menyangkut warga negara asing karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia.
Suatu perkawinan yang sah pada dasarnya merupakan sarana untuk mencapai cita-cita membina rumah tangga yang bahagia, dimana suami-isteri serta anak-anak dapat hidup secara tentram dan bahagia. Selain itu perkawinan bukan saja merupakan kepentingan dari orang yang melangsungkannya, tetapi juga merupakan kepentingan keluarga dan masyarakat. Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan dikatakan sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berdasarkan ketentuan pasal ini, maka perkawinan benar-benar diakui sah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agamanya dan kepercayaannya.
Selanjutnya pada Pasal 2 ayat (2) kemudian disebutkan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Itu artinya perkawinan yang sah apabila telah tercatat sesuai dengan peraturan perundangan. Perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan beragama Islam wajib dicatat dalam Akta Perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala KUA Kecamatan.
Pencatatan perkawinan merupakan salah satu asas dalam Undang-Undang Perkawinan yang ditentukan secara umum dalam Pasal 2.. Khusus bagi yang beragama Islam Pencatatan Perkawinan diatur dalam Bab II Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sedangkan mengenai Pencatatan Perkawinan yang dibuktikan dengan Akta Nikah diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, selanjutnya lebih rinci lagi diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 5 sampai dengan Pasal 7. Ketiga butir Pasal ini membicarakan keharusan untuk melakukan pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah guna terciptanya ketertiban dan kekuatan hukum.
BACA : Membaca Alquran Serasa Hati Bernyanyi, Ini Dia 5 Prinsip untuk Kehidupan Kita
Bila meniliknya pada Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum, maka pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta nikah pada hakikatnya telah dijelaskan dalam al-Qur’an pada surat al-Baqarah ayat 282,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئاً فَإن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهاً أَوْ ضَعِيفاً أَوْ لاَ يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلاَ يَأْبَ الشُّهَدَاء إِذَا مَا دُعُواْ وَلاَ تَسْأَمُوْاْ أَن تَكْتُبُوْهُ صَغِيراً أَو كَبِيراً إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللّهِ وَأَقْومُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلاَّ تَرْتَابُواْ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلاَّ تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوْاْ إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلاَ يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلاَ شَهِيدٌ وَإِن تَفْعَلُواْ فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّهُ وَاللّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
yang artinya :”Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditetapkan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia mengurangi sedikitpun daripada permuamalahannya (utangnya). Maka jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah wakilnya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki, boleh seorang laki-laki dan dua orang wanita dari saksi-saksi yang kamu ridhoi, supaya jika yang seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Dan janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis muamalah (utang) itu lebih baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu lebih adil disisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguanmu. Tulis muamalah itu, kecuali perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksianlah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi menyulitkan dan mempersulit. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah mengajarimu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Redaksi ayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa pencatatan didahului daripada kesaksian, yang dalam perkawinan menjadi salah satu rukun perkawinan. Dalam kaitannya dengan praktek pemerintah yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan dibuktikan dengan akta nikah adalah bersumber dari Ijtihad yang telah dilakukan oleh para ahli hukum Islam dengan tetap berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadis Nabi. Salah satu metode Ijtihad yang digunakan adalah metode Istilah dan Mashlahah Mursalah. Hal ini karena perintah adanya pencatatan perkawinan dan aktanya, kandungan masahatnya sejalan dengan tindakan syara’ yang ingin mewujudkan kemaslahatan bagi manusia, atau dengan memperhatikan ayat tersebut di atas, dapat dilakukan analogi (qiyas), karena adanya kesamaan illat (kuasa efektif), yaitu dampat negatif yang ditimbulkan.
Dengan analisis sementara ini, penulis melihat bahwa pencatatan perkawinan merupakan ketentuan yang perlu diterima dan dilaksanakan oleh semua pihak, karena pencatatan perkawinan dan akta nikahnya memiliki landasan metodelogis yang kuat, yaitu qiyas atau maslahat marsalah yang dapat dijadikan sebagai dasar guna terciptanya perlindungan dan kekuatan hukum.