Oleh : Nasywa Adzkia, Aktifis Muslimah
SUARA UTAMA ID – Rencana pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur ternyata bukanlah isapan jempol belaka. Bahkan pemerintah sudah mengumumkan nama Ibu Kota Negara yang baru dengan nama Nusantara. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengungkapkan, ibu kota baru di Kalimantan Timur akan diberi nama “Nusantara”.
BACA JUGA :Tolok Ukur Kebahagiaan dalam Kondisi Kaya Maupun Miskin
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia resmi akan berpindah dari DKI Jakarta ke Nusantara, Kalimantan Timur. Hal ini ditandai dengan disetujuinya Rancangan Undang-Undang (RUU IKN menjadi UU oleh DPR RI pada Sidang Paripurna DPR RI, 18 Januari 2022 lalu. Seluruh kegiatan pemerintah pusat akan dialihkan ke ibukota baru pada tahun 2024 mendatang (cnbcindonesia.com).
Menimbulkan Pro dan Kontra
Meski pemerintah begitu optimis dengan pemindahan ibukota baru ini ke Kal-tim, namun proyek pemindahan ibu kota ini masih menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Pemindahan ibukota baru ini dinilai terburu-buru dan akan menambah beban keuangan negara. Bagaimana tidak, di tengah kondisi pandemi yang masih belum pulih pemerintah justru berambisi untuk memindahkan ibukota yang notabene tentu akan menambah anggaran negara. Padahal masyarakat pun masih berjuang untuk pulih dari kesulitan ekonomi akibat pandemi.
BACA JUGA : Mahal, Minyak Goreng Mendadak Membanjiri Pasaran
Alasan pemindahan IKN pun menuai banyak kritik. Salah satu alasannya adalah untuk melakukan pemerataan ekonomi. Karena dinilai selama ini pembangunan ekonomi Indonesia hanya terpusat di Pulau Jawa. Mengutip dari money.kompas.com data Badan Pusat Statistik tahun 2018 menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi di Pulau Jawa menyumbang 58,48 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Adapun wilayah timur Indonesia, yang mencakup Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua dengan mencapai 64 persen dari total luas Indonesia, hanya menyumbang 16,8 persen PDB. Situasi tersebut relatif tidak jauh berubah sejak 2010. Memindahkan Ibu Kota untuk melakukan pemerataan ekonomi dinilai kurang tepat. Karena tentunya pemerintah harus membangun Kembali pusat industri di Ibu Kota yang baru dan ini tentu perlu pengkajian yang serius. Jika pemerintah berniat serius untuk pemerataan ekonomi, mengapa tidak memaksimalkan daerah dan memberi suntikan dana untukPemindahan Ibu Kota Negara k meningkatkan ekonomi daerah khususnya di Pulau Kalimantan. Jangan sampai pemindahan IKN ini terkesan bahwa pemerataan ekonomi hanya dapat dilakukan jika ada intervensi dari pusat.
IKN yang baru harus memiliki basis ekonomi dan industri yang kuat. Sementara Kalimantan Timur yang akan dijadikan IKN ini bisa dibilang benar-benar pembangunannya dimulai dari 0. Tentu akan memerlukan waktu dan dana yang tidak sedikit. Bukankah demikian justru hanya akan menambah beban negara. Presiden Joko Widodo mengungkap, proyek pemindahan ibu kota negara baru bakal menelan anggaran hingga Rp 501 triliun. Hal itu disampaikan Jokowi saat menghadiri Indonesia–PEA (Persatuan Emirat Arab) Investment Forum yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), Kamis (4/11/2021).
(Kompas.com).
Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur
Di tengah carut marutnya kondisi ekonomi Indonesia saat ini, seharusnya pemerintah fokus pada pembenahan bukan lantas menambah beban negara untuk membangun IKN yang baru. Masih banyak masalah yang lebih harus segera diselesaikan. Misalnya hutang negara yang semakin bertambah, pengangguran, kemiskinan dan pandemi yang belum usai.
Berkaca pada Sistem Islam
Sungguh kondisi miris ini tak akan pernah terjadi seandainya paradigma yang digunakan negara adalah paradigma kepemimpinan Islam. Karena Islam menjadikan fungsi kepemimpinan negara sebagai pengurus sekaligus pelindung bagi rakyat, tanah air, dan kedaulatannya. Dan ini niscaya, karena dengan penerapan sistem ekonomi Islam, negara akan memiliki modal cukup untuk membangun tanpa harus tergantung kepada permodalan dan bantuan tenaga asing. Dalam sistem ekonomi Islam, pengaturan soal kepemilikan kekayaan memang menjadi hal yang mendasar. Islam menetapkan, seluruh sumber daya alam yang depositnya melimpah adalah milik rakyat. Demikian pula sumber-sumber kekayaan berupa air, energi dan hutan. Sehingga tak diperkenankan pihak manapun menguasainya, sekalipun atas izin negara. Bahkan negara diharamkan membuka celah ketergantungan pada asing, dengan alasan apapun.
Dan amanah kepemimpinan ini akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Manakala mereka lalai atau khianat, maka mereka diancam dengan hukuman yang berat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)