SUARA UTAMA, Asahan – DP. MUI adakan Mudzakarah, Narasumber H. Ahmad Qosim Marpaung, S.Ag,M.Si, Moderator Edi Sahputra Siagian, S.Ag, M.Pd.I, bertemakan Ummat Wasatho atau Moderat dalam Persfektif Agama dimana Allah subhana wata’ala menyatakan bahwa Ummat Washato bagi Ummat Nabi Muhammad SAW dan Potret masyarakat seimbang diantara ekstrim kanan dan kiri. di Aula MUI Kab.Asahan Prov. Sumatera Utara. Sabtu, (16/3/2024).
Foto Dokumentasi Suhardi : Muzakaroh Ramadhan Pertama DP.MUI Asahan,Ummat Washato 1445 H
Ummat Wasatho (Moderat) Asal kata Dalam bahasa Arab, moderat senantiasa diselaraskan dengan kata al-tawasuth (tengah), al-i’tidal (adil), dan semacamnya. Tinjauan Ummatan Wasathan untuk menggolongkan satu sikap atau perilaku keagamaan yang tidak mengedepankan pendekatan kekerasan dan kekasaran. Terutama menyangkut ihwal permasalahan, perdebatan, dan perbincangan diskursus keagamaan yang bersentuhan dengan wilayah teologis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Ahmad Qosim Marpaung,S.Ag,M.Si menyatakan “Sikap tawasuth (tengah) representasi pola kebaragaman yang di satu sisi tidak memiliki keberpihakan pada kelompok Islam kanan, dan di sisi lain juga tidak condong pada kelompok kiri. Ucap Wakil Ketua Umum MUI Kabupaten Asahan.
Penyebutan Wasathan dalam Alquran Surat al-Baqarah ayat 143″.
وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا
Artinya “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (Q.S. al-Baqarah [2]: 143)”
Lebih lanjut menurutnya “Mayoritas ulama berpendapat bahwa turunnya ayat 143 pada surah al-Baqarah di atas berawal dari penantian Rasulullah akan turunnya perintah untuk memindahkan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah”. Ujar Ahmad Qosim Marpaung,S.Ag,M.Si
Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, Tafsir al-Quran al-‘Adhim, juz 1, 458, menyatakan bahwa:
قال علي بن أبي طلحة عن ابن عباس: كان أول ما نُسخ من القرآن القبلة، وذلك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما هاجر إلى المدينة، وكان أكثر أهلها اليهود، فأمره الله أن يستقبل بيت المقدس، ففرحت اليهود، فاستقبلها رسول الله صلى الله عليه وسلم بضَعةَ َ عشَر ً شهرا
Ahmad Qosim Marpaung,S.Ag,M.Si menyebutkan bahwa “Peristiwa pemindahan kiblat shalat merupakan hukum pertama yang dinasakh dalam Al-Quran. Ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah, saat itu mayoritas penduduk Madinah masih beragama Yahudi. Allah SWT memerintahkan beliau untuk menghadap ke arah Baitul Maqdis untuk menarik simpati penduduk Madinah yang merasa senang dengan hal tersebut. Maka, pada masa awal di Madinah Rasulullah menghadap ke Baitul Maqdis selama beberapa puluh bulan. Setelah itu turunlah QS. al-Baqarah[2]: 144” Ucap Wakil Ketua Umum MUI Kabupaten Asahan.
Foto Dokumentasi Suhardi : Muzakaroh Ramadhan Pertama DP.MUI Asahan,Ummat Washato 1445 H
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. (QS. al-Baqarah [2]: 144). Kemudian ada seorang muslim berkata “kami ingin tahu tentang orang-orang muslim yang meninggal sebelum kiblat kita berubah dan bagaimana shalat kita ketika msih menghadap ke baitul maqdis?” lalu Allah swt menurunkan QS. al-Baqarah[2]: 143. Surat al Baqarah ayat 238, Surat al-Qalam. Sedangkan makna yang sama juga terdapat dalam Mu’jam al-Wasit yaitu “Adulan” dan “Khiyaran” sederhana dan terpilih.
Edi Sahputra Siagian, S.Ag, M.Pd.I menyatakan “kajian Washato atau moderat diambil dari Pendapat Ibnu ‘Asyur, al-Jazâ’iri, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Ath-Thabari, Wahbah az-Zuhayli, M. Quraish shihab”, Ujar Wakil Sekretaris Umum MUI Kabupaten Asahan.
Ibnu ‘Asyur mendefnisikan kata ”wasath” dengan dua makna. Pertama, defnisi menurut etimologi, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding. Kedua, defnisi menurut terminologi bahasa, makna wasath adalah nilai-nilai Islam yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan dalam hal tertentu. Adapun makna ”ummatan wasathan” pada surat al- Baqarah ayat 143 adalah umat yang adil dan terpilih. Maksudnya, umat Islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya.Allah swt.telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi ”ummatan wasathan”, umat yang adil yang menjadi saksi bagi seluruh manusia di hari kiamat nanti.
Pendapat al-Jazâ’iri dalam tafsirnya, beliau menafsirkan kata ”ummatan wasathan” dalam Al-Qur’an sebagai umat pilihan yang adil, terbaik dan umat yang memiliki misi yaitu meluruskan. Menurut al-Jazairiy karena umat Islam sebagai umat pilihan dan lurus bermakna juga sebagaimana kami memberikan petunjuk kepadamu dengan menetapka seutama-utama qiblat yaitu ka’bah yaitu qiblat nya nabi Ibrahim, oleh karenanya maka kami jadikan juga kalian sebaik-baik umat dan umat yang senantiasa selalu meluruskan, maka kami memberikan kelayakan kepada kamu sebagai saksi atas perbuatan manusia yakni umat lainnya pada hari.
Foto Dokumentasi Suhardi : Muzakaroh Ramadhan Pertama DP.MUI Asahan,,Ummat Washato 1445 H
Makna ummatan wasatan dari ragam penafsiran Pendapat Ahmad Musthafa al-Maraghi dalam karya tafsirnya al-Maraghi juz 2: 93 menjelaskan bahwa ummatan wasaṭha merupakan sikap umat Islam yang berada di tengah-tengah atau sebagai penengah di antara dua kubu. Pertama, orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin. Kedua, orang-orang yang membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan rohaniah, sehingga meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawiyah, termasuk kebutuhan jasmani mereka. Di antara mereka adalah kaum Nasrani dan Sabi’in. Pendapat al-Maraghi tersebut tidak jauh berbeda dengan pendapat ath-Thabari yang memahami kata al-wasaṭ dengan keadilan atau proporsional. Dan kata ini pun semakna dengan kata al-khiyār yang disebut sebelumnya. Sebab hanya orang-orang adil (bersikap seimbang) yang disebut orang-orang terpilih di antara manusia.
Pendapat ath-Thabari mengemukakan empat belas riwayat yang menjelaskan mengenai makna al-wasaṭ. Tiga belas riwayat sama-sama mengartikannya dengan keadilan. Berikut salah satu riwayatnya sebagimana dalam Tafsir al-Maraghi,
عن أبي صالح، عن أبي سعيد، عن النبي صلى الله عليه وسلام في قوله: (وكذالك جعلناكم أمة وسطا) قال: عدول
BACA : 48 Tahun MUI Berkhidmad: Menuju Islam Wasathiyah dalam Bingkai Keberagaman
Pengertian kedua mufassir tersebut dapat dipahami bahwa konsep ummatan wasaṭha merupakan masyarakat yang seimbang, yang berdiri di tengah tengah antara dua kelompok ekstrem, yaitu kecenderungan berlebihan kepada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmani seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, dan kecenderungan membelenggu diri secara total dari hal-hal yang bersifat duniawi seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani.
Pendapat Wahbah az-Zuhayli menjelaskan bahwa wasath merupakan sesuatu yang berada ditengah-tengah atau intisari sesuatu, kemudian makna tersebut digunakan juga untuk sifat atau perbuatan yang terpuji. Karena semua sifat yang terpuji adalah selalu bermuara pada sikap pertengahan, seperti contoh, keberanian merupakan sikap pertengahan dari sifat pengecut dan nekad. Tetapi ia juga menambahkan bahwa disebut juga sebagai al-khiyar (terbaik) karena ia mampu memadukan antara ilmu (teori) dan amal (praktek).
Foto Dokumentasi Suhardi : Muzakaroh Ramadhan Pertama DP.MUI Asahan,Ummat Washato 1445 H
Pendapat M. Quraish shihab dalam tafsirnya al-Misbah juz 2, 98. Beliau menambahkan bahwa konsep ummatan wasatha. Selain kalimat ummatan wasatha, Al-Qur‟an juga menyebutkan sebuah istilah untuk sebuah kelompok masyarakat yang memiliki makna kurang lebih sama yaitu; ummatan muqtashidah. Kalimat tersebut terdapat dalam QS. al-Ma’idah [5]: 66 sebagai berikut
وَلَوْ اَنَّهُمْ اَقَامُوا التَّوْرٰىةَ وَالْاِنْجِيْلَ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِمْ مِّنْ رَّبِّهِمْ لَاَكَلُوْا مِنْ فَوْقِهِمْ وَمِنْ تَحْتِ اَرْجُلِهِمْۗ مِنْهُمْ اُمَّةٌ مُّقْتَصِدَةٌ ۗ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ سَاۤءَ مَا يَعْمَلُوْنَ
ࣖ
Artinya : Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan (Al-Qur’an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada sekelompok yang jujur dan taat. Dan banyak di antara mereka sangat buruk apa yang mereka kerjakan. (Q.S. al-Maidah [5]: 66).
BACA : Dialog Interaktif Fatwa MUI Tentang Produk Israel
Penutup Pertama, Allah swt. menyebut umat Nabi Muhammad saw. sebagai Ummatan Wasatha karena konsep keseimbangan mereka dalam beragama, tidak cenderung kepihak kanan seperti orang-orang Yahudi maupun pihak kiri sebagaimana umat Nasrani. Kedua, Ummatan Wasatha adalah potret masyarakat yang seimbang, masyarakat ideal yang berada di tengah-tengah dua kutub ekstrem, yaitu kecenderungan berlebihan kepada kepentingan dunia (kebutuhan jasmani) dan kecenderungan berlebihan membelenggu diri secara total dari hal-hal yang bersifat duniawi. Wallahu A’lam.