Penulis Oleh : Nurul Husna, Siti Qomariah Harahap, Suci Anggraini, Habiburrahman, Suhardi.
Pendidikan Agama Islam, FITK, IAIDU Asahan Kisaran
SUARA UTAMA, Pendidikan Islam pada dasarnya adalah suatu proses rancangan dari penanaman ilmu kedalam diri manusia. Dalam Islam, Allah Swt adalah sumber segala ilmu pengetahuan dan karenanya semua pengetahuan yang diketahui dan dimiliki manusia datangnya dari Allah Swt. Dari perspektif ini, maka Al-Attas mendefenisikan ilmu dari dua sisi. Pertama, sebagai sesuatu yang datangnya dari Allah Swt, sebagai sampainya makna atau bentuk sesuatu kedalam jiwa manusia atau pencari ilmu. Kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, didefinisikan sebagai sampainya jiwa manusia pada makna sesuatu atau objek pengetahuan. (Al Rasyidin, 2008: 45).
Konsep Pendidikan Islam
Gambar Dokumentasi Collab Host Ternama: Kak Presty dan Dedek Ina Siap Cuap Cuap di Milad Owner AR Learning Center. Foto: Mas Andre Hariyanto (SUARA UTAMA).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
BACA : Ratusan Sahabat PJS dan KSA Sukseskan Milad Mas Andre Hariyanto dan Sharing Santai
Hushul (kedatangan), dari sisi pencari ilmu, adalah suatu proses yang memerlukan mental atau jiwa aktif dan persiapan spiritual. Tanpa jiwa yang aktif, ilmu tidak akan dapat diraih. Demikian pula, tanpa pesiapan spiritual, ilmu tidak mungkin dapat dihampiri manusia. Sebab karakter Allah Swt sebagai al-Alim antara lain adalah Maha Ghaib dan Maha Suci. Karenanya, hanya jiwa yang memiliki kesiapan dan kesucian yang berpotensi menghampiri dan memahami ilmu. Sementara itu, dari sisi Allah sebagai sumber ilmu, hushûl adalah suatu keadaan dimana Allah Swt mencurahkan kasih sayang-Nya kepada manusia sebagai pencari ilmu. Karena itu, proses pencarian ilmu pada dasarnya adalah sebuah proses spiritual. (Wan Mohd Nor Wan Daud, 2003: 148).
Menurut Al-Ghazali tentang konsep pendidikan, di antara pemikirannya tentang pendidikan islam dapat di lihat dari tiga buku karangannya, yaitu Fatihat Alkitab, Ayuha Alwalad dan Ihya ‘Ulumaddin.(A.Heris Hermawan, 2009: 348).
Dari pendapat diatas, dapat kita lihat dari kehidupan sehari-hari Dalam Islam menggali ilmu,digunakan di dalam menjalani hidup sehari-hari melainkan untuk mengenal Allah. Dzat Tuhan tidak akan bisa dikenal, kecuali melalui ciptaan-Nya. Maka sebenarnya, usaha mengali ilmu pengetahuan adalah jalan atau pintu untuk mengenal Tuhan itu sendiri.
Penerapan Konsep
Dalam memahami apa sebenarnya filsafat, kita tidak cukup hanya mengetahui asal usul dan arti istilah yang di gunakan, tetapi juga harus memperhatikan konsep dan defenisi yang di berikan oleh para filsuf menurut pemahaman mereka masing-masing.Akan tetapi, perlu di katakana pula bahwa defenisi yang diberikan para filsuf tidak selalu sama. Bahkan, dapat dikatakan setiap filsuf memiliki konsep dan definisi sendiri-sendiri yang berbeda dengan filsuf lainnya. Secara terminologis (istilah), terdapat banyak definisi tentang pengertian filsafat. Beraganya defenisi filsafat menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih sudut pandang dalam memikirkan filsafat. Bahkan perbedaan sudut pandang ini di usahakan untuk dapat saling melengkapi. Karena, setiap sudut pandangan pasti memiliki kekurangan atau kelemahan. (Ali Maksum,2016:12).
Filsafat Pendidikan islam pada hakikatnya adalah konsep berpikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan ajaran agama islam tentang hakikat kemampuan manusia untuk dapat di bina dan di kembangkan serta di bimbing menjadi manusia yang muslim yang seluruh pribadinya di jiwai oleh ajaran islam. (M.Arifin, 1987:11).
Konsep Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi Mas Andre Hariyanto Suara Utama ID, happy Milad KE 30 Tahun
Sesulit apa pun upaya merumuskan pengertian pendidikan Islam, sebagai sebuah kajian ilmiah, hal ini kiranya mesti dilakukan juga. Dalam kaitan ini, penulis sepakat dengan Ali Khalil Abu al-‘Ainain dalam Falsafah al-Tarbiyyah al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karim yang menyebutkan bahwa untuk mengemukakan pengertian pendidikan Islam lebih baik dikemukakan terlebih dahulu lima watak atau karakter pendidikan Islam, yaitu (1) pendidikan Islam mencakup semua aspek kehidupan manusia, baik berupa aspek fisik, mental, akidah, akhlak, emosional, estetika, maupun sosial; (2) pendidikan Islam bermaksud meraih kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat secara seimbang dan sama; (3) pendidikan Islam bermaksud mengembangkan semua aktivitas manusia dalam interaksinya dengan orang lain, dengan menerapkan prinsip integritas dan keseimbangan; (4) pendidikan Islam dilaksanakan secara kontinu dan terus-menerus tanpa batas waktu, mulai dari proses pembentukan janin dalam rahim sang ibu hingga meninggal dunia; (5) pendidikan Islam melalui prinsip integriys, universal, dan keseimbangan bermaksud mencetak manusia yang memerhatikan nasib-nya di dunia dan akhirat. (Ali Khalid Abu al-Ainain, 1980:147).
BACA : Selamat ulang tahun Coach Andre
Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad dan tadris. Masing-masing istilah tersebut memiliki batasan dan lingkup pengertian tersendiri. Namun, kesemuanya mengacu pada makna yang sama jika disebut secara terpisah, sebab salah satu istilah tersebut sebenarnya mewakili istilah yang lain. Karena itu, beberapa buku pendidikan Islam menyebutkan semua istilah tersebut dan digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam. Pendidikan dalam wacana keislaman lebih populer dengan istilah tarbiyah, ta’lim, ta’dib, riyadhah, irsyad dan tadris. Masing-masing istilah tersebut memiliki batasan dan lingkup pengertian tersendiri. Namun, kesemuanya mengacu pada makna yang sama jika disebut secara terpisah, sebab salah satu istilah tersebut sebenarnya mewakili istilah yang lain. Karena itu, beberapa buku pendidikan Islam menyebutkan semua istilah tersebut dan digunakan secara bergantian dalam mewakili peristilahan pendidikan Islam.
Tarbiyah dalam leksikologi Al-Qur’an dan Sunnah tidak ditemukan istilah al-tarbiyah, namun ada beberapa istilah kunci yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayâni, nurabbi, yurbi, dan rabbani. Dalam kamus bahasa Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan, yaitu: Rabbâ, yurabbî, tarbiyah yang memiliki makna “tambah” (zâd) dan “berkembang” (nama). Pengertian ini juga didasarkan QS. Al-Rum: 39 yang artinya: “Dan sesuatu ribâ (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka ribâ itu tidak menambah pada sisi Allah”. Maksudnya, pendidikan (tarbiyah) merupakan proses menumbuhkan dan mengembang kan apa yang ada. (Afifuddin Harisah, 2018: 22).
Mulai dari mana studi filsafat dilakukan? Studi filsafat pendidikan mulai dari meragukan terhadap sesuatu yang terjadi dalam pendidikan atau sesuatu konsep pendidikan. Titik awal dalam studi filsafat antara lain dapat dimulai dari apa yang diamati (asst est pericipi, atau apa yang nyata adalah yang dapat diamati), dari apa yang dipikirkan (cogito ergo sum, atau saya ada karena saya berpikir) dari pengalaman mistik alanikika pratyaksa atau persepsi/pengalaman luar biasa yang penuh misteri atau rahasia) dari sesuatu yang diajarkan atau yang diturunkan. Studi dengan titik tolak demikian itu merupakan studi radikal. Karena berusaha dan menyelidiki dan mempertanyakan asumsi-asumsi atau kebenaran-kebenaran yang telah atau sedang berlaku, dan tertuju kepada menemukan tentang hal-hal yang hakiki atau sampai kepada akar-akarnya.(Pupu Saeful Rahmat,2021 : 146).
Konsep Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi Suhardi, Nurul Husna, Siti Qomariah,Suci Anggraini, Habiburrahman Konsep Pendidikan Islam
Menurut Jalal, kata al-Ta’lîm merupakan proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-Hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Al-Ta’lîm menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. Al-Ta’lîm merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan. (Salmaniawati, 2012:109).
Menurut Shalaby, terma ta’dîb sudah digunakan pada masa Islam klasik, terutama untuk pendidikan yang diselenggarakan di kalangan istana para khalifah. Pada masa itu, sebutan yang digunakan untuk memanggil guru adalah muaddib. Shalaby, dengan mengutip al-Jahiz, menyatakan bahwa terma muaddib berasal dari kata adab, dan adab itu bisa berarti budi pekerti atau meriwayatkan. Guru para putera khalifah disebut muaddib dikarenakan mereka bertugas mendidikkan budi pekerti dan meriwayatkan kecerdasan orang-orang terdahulu kepada mereka.
Dalam melaksanakan tugas edukatifnya, para muaddib tinggal bersama peserta didiknya. Hal itu dimaksudkan agar mereka tidak hanya sekedar mengajar, tetapi juga dapat mendidik jasmani dan ruhani peserta didik. Ibn Qutaibah, sebagaimana dikutip Shalaby, menukilkan pesan yang disampaikan Abdul Malik bin Marwan kepada muaddib puteranya: Ajarkanlah kepada mereka berkata benar, disamping mengajarkan al-Qur’an. Jauhkanlah mereka dari orang-orang jahat, karena orang-orang jahat itu tidak mengindahkan perintah Tuhan dan tidak berlaku sopan. Dan jauhkan pula dari khadam dan pelayan-pelayan, karena pergaulan dengan khadam dan pelayan- pelayan itu dapat merusakkan moralnya. Lunakkanlah perasaan mereka agar keras pundaknya. Berilah mereka makan daging, agar mereka berbadan kuat. Ajarkanlah syair kepada mereka, agar mereka mulia dan berani. Suruhlah mereka bersugi dengan melintang, dan meminum air dengan dihirup pelan-pelan, jangan diminumnya saja dengan tidak senonoh. Dan bila kamu memerlukan menegurnya, maka hendaklah dengan tertutup, jangan sampai diketahui oleh pelayan-pelayan dan tamu-tamu, agar dia tidak dipandang rendah oleh mereka. Berdasarkan kutipan di atas, tampak bahwa terma ta’dîb tidak hanya menekankan aspek pemberian ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan watak, sikap, dan kepribadian peserta didik. Karenanya, tugas seorang muaddib bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga melatih dan membimbing peserta didik agar mereka hidup dengan adab, baik secara jasmani maupun ruhani. (Al Rasyidin, 2008:113-114).
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, umumnya mereka memperdebatkan dua wacana Filsafat Pendidikan Islam. Pertama, Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat tentang pendidikan Islam. Kedua, Filsafat Pendidikan Islam adalah filsafat pendidikan dalam perspektif Islam. Dari kedua wacana ini, penulis cenderung berpendapat bahwa Filsafat Pendidikan Islam dapat diartikan sebagai filsafat tentang pendidikan Islam, dan dapat juga diartikan sebagai filsafat pendidikan menurut Islam. Yang jelas, dari kedua pengertian ini, Filsafat Pendidikan Islam bagaimanapun juga adalah filsafat. Oleh karena itu, Filsafat Pendidikan Islam tidak berbeda dengan Filsafat Islam pada umumnya. Filsafat Pendidikan Islam merupakan kajian filosofis mengenai berbagai masalah pendidikan yang berlandaskan ajaran Islam. Kajian filosofis digunakan dalam Filsafat Pendidikan Islam, dalam arti bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan pemikiran secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti atau hakikat mengenai pendidikan Islam. Filsafat Pendidikan Islam dengan demikian senantiasa mengkaji filsafat pendidikan yang berlandaskan-atau setidak-tidaknya dijiwaiajaran Islam. (Toto Suharto, 2014:28).
Model
1.Filsafat spekulatif
Filsafat spekulatif merenungkan secara rasional spekulatif seluruh persoalan manusia dalam hubungannya dengan segala yang ada di jagat raya ini. Filsafat berusaha untuk menjawab seluruh pertanyaan yang berkaitan dengan manusia: eksistensinya, fitrahnya di alam semesta ini, dan hubungannya dengan kekuatan-kekuatan supernatural. Filsafat spekulatif memiliki rasa kebebasan untuk membicarakan apa saja yang ia sukai. Mereka berasumsi bahwa manusia memiliki kekuatan intelektual yang sangat tinggi, sehingga Aristoteles sendiri mengemukakan bahwa manusia merupakan: animal rationale. Dengan penalaran intelektualnya mereka berusaha membangun suatu pemikiran tentang manusia dan masyarakat.Eksistensi Plato persoalan manusia sebagai yang dalam pelopor berkaitan alam filsafat ini. Dengan la idealisme berbicara manusia,klasik masyarakat,tentang membahas susunan dan masyarakat, politik (pemerintahan), nilai/moral, pengetahuan dan kebenaran, dan juga sampai pembicaraan kekuatan supernatural Aristoteles sebagai pelopor realismeklasik membicarakan politik bilologi, fisika, nilai abadi, badan, dan jiwa. John Dewey membangun filsafat pragmatisme, berbicara tentang manusia, jagat raya yang bersifat fisik dan natural, berbicara tentang pengetahuan empiris dan teruji oleh pengalaman, dan juga berbicara tentang nilai.
- Filsafat Preskriptif
Filsafat preskriptif berusaha untuk menghasilkan suatu ukuran (standard) penilaian tentang nilai-nilai, Penilaian tentang perbuatan manusia, dan penilaian tentang seni. Filsafat preskriptif menguji apa yang disebut baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan jelek. la menyatakan bahwa nilai dari suatu benda pada dasarnya inheren dalam dirinya, atau hanya merupakan suatu gambaran dari pikiran manusia. Bagi ahli psikologi eksperimental eanekaragaman perbuatan manusia secara moral bukan baik dan juga bukan jahat, melainkan merupakan suatu bentuk sederhana dari tingkah laku yang dipelajar secara empiris. Bagi pendidik dan ahli filsafat preskriptif, menilai suatu perilaku ada yang bermanfaat dan ada yang tidak bermanfaat Ahli filsafat preskriptif berusaha menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip perbuatan yang bermanfaat, dan mengapa harus demikian. Jadi, filsafat preskriptif, memberi resep tentang perbuatan atau perilaku manusia yang bermanfaat.
- Filsafat Analitik
Model analitik terbagi dua golongan, yaitu analitik linguistik dan analitik positivistik logis. Model analitik linguistik mengandung arti bahwa filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna istilah. Para filosof memakai metode analitik linguistik untuk menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa. Beberapa filsuf mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa merupakan tugas pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi filsafat. Para filsuf analitik seperti G.E. Moore, Bertrand Russell, G. Ryle, dan yang lainnya berpendapat bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan kekaburan-kekaburan dengan cara menjelaskan arti istilah atau ungkapan yang dipakai dalam ilmu pengetahuan dan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka berpendirian bahwa bahasa merupakan laboratorium para filsuf, yaitu tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide. Menurut Wittgenstein tanpa penggunaan logika bahasa, pernyataan-pernyataan akan tidak bermakna. (Alfabeta,2012:21).
Nilai-nilai Aswaja bagi madrasah di Indonesia merupakan suatu perangkat kepercayaan yang dijadikan sebagai dasar bertindak, dan sebagai perangkat yang diperlukan bagi seorang individu untuk hidup dalam hubungannya dengan struktur sosial. Nilai-nilai itu disosialisasikan, ditanamkan kepada seluruh murid melalui sebuah proses pendidikan baik berupa kurikulum formal maupun kurikulum tidak formal yang disebut sebagai kurikulum tersembunyi (hidden curricullum). Kurikulum formal berupa bidang studi agama Islam (Al-Qur’an, Hadis, fikih, akidah, akhlak, dan sejarah kebudayaan Islam), sedangkan kurikulum tidak formal atau kurikulum tersembunyi dapat berupa: tradisi, model tindakan, atau nilainilai luhur yang berpengaruh terhadap kehidupan murid madrasah.(Mahfud junaedi, 2017 : 226).
BACA : Kebijakan Dalam Pendidikan Islam
Pola Penerapan
Menurut Dr. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, upaya ini untuk melebur semangat kedaerahan mereka ke dalam semangat yang lebih universal. Di samping itu, mar santri juga dapat belajar kehidupan bermasyarakat yang lebih luas, berskala nasional, bahkan internasional bersama para santri manca negara. (Zarkasyi, 2005:125).
Dalam perspektif teori idelogi pendidikan William F. O’neil (1981), madrasah yang sedemikian rupa, dapat dikategorikan sebagai lembaga pendidikan dengan ideologiconservatif, yaitu konservativme religius. Menurut O’neil, ada tradisi penting konservativme yang ada secara religius yang terpisah dari orientasi sekuler, Kaum konservativeligius bersedia untuk menerima baik iman maupun penalaran, namun ia menyingkir jauhjauh dari berbagai ekses yang timbul dari keduanya, Seorang konservativ religius mengenali perlunya menyesuaikan pesan-pesan bersejarah yang dipercayainya (wahyu agamanya) dengan keadaan-keadaan sekarang, dan ia menerima adanya kebutuhan untuk membuat tafsiran teologis yang tidak merusak semangat dasar kesaksian imannya. Bagi kaum konservati menurut O’neil, tujuan utama atau sasar-an pendidikan adalah sebagai pelestarian dan penerusan pola-pola kemapanan sosial serta tradisi-tradisi.(Mahfud junaedi, 2017 : 226).
Namun, penerapan pola pendidikan ini, menurut Syukri Zarkasyi, tidak berarti menafikan unsur daerah. Karena unsur ke-daerahan telah diakomodir dalam kegiatan daerah yang disebut “konsulat”, yang ketentuan organisasi dan kegiatannya telah diatur, khususnya untuk diarahkan menolaknya menjadi sumber fanatisme kedaerahan. (Noor Amirudin, 2018:184).
Meletakkan pola dasar pendidikan Islam berarti harus meletakkan nilai-nilai dasar agama yang memberikan ruang lingkup berkembangnya proses kependidikan Islam dalam rangka mencapai tujuan. Untuk tujuan itu, harus memahami falsafah pendidikan Islam, karena ia menjadi dasarnya dan sekaligus mengarahkan tujuan. Oleh karena menyangkut permasalahan falsafah maka dalam pola dasar pendidikan Islam itu mengandung pandangan Islam tentang prinsip-prinsip kehidupan alam raya, prinsip-prinsip kehidupan manusia sebagai pribadi, dan prinsip-prinsip kehidupannya sebagai makhluk sosial. Ketiga prinsip tersebut akan melibatkan pembahasan secara mendalam menurut istilah teknis filosofis berturut-turut sebagai berikut : Ontologi: yang membahas tentang asal-usul kejadian alam nyata dan dibalik alam nyata; Epistemologi: yang membahas tentang kemungkinan manusia mengetahui gejala alam; Aksiologi; yang membahas tentang sistem nilai-nilai dan teori nilai atau yang disebut etika. (M Arifin, 1994 : 37).
Konsep Pendidikan Islam
Foto Dokumentasi Mas Andre Hariyanto Milad YPPN AR Learning Center RSU
Ibnu Khaldun menyusun teori fitrah yang dapat menyelaraskan potensialitas dan aktualitas di dalam perkembangan manusia. Adapun teori fitrah menurut Ibnu Khaldun adalah manusia lahir membawa bakat-bakat (potensi dasar). Manusia secara fitrah adalah baik interaktif dan beragidah tauhid, la juga menentang belajar verbal yang sangat merugikan anak. Untuk itu ia merumuskan teori malakah dan tadrij yang dapat mengikis verbal serta menghasilkan situasi belajar mengajar yang kondusif. Dengan konsep al-mulayanah (kelembutan) Ibnu Khaldun berusaha untuk merespon pola pendidikan keras dan penerapan al-uqubah (hukuman) yang tidak proporsional dalam praktek pendidikan pada waktu itu.(Lilis Romdon Nurhasanah, Redmon Windu Gumati, 2021 : 360).
Akhirnya bagaimanakah cara menemukan hal yang hakiki atau yang sebenarnya? Studi filsafat pendidikan dilakukan dengan melalui pengkajian rasional yang mendalam dalam mempelajari pendidikan dengan mempergunakan segenap pengalaman kemanusiaannya, baik berupa pengalaman pendirian, pengalaman instuitif, maupun pengalaman kejiwaan atau kerohanian lainnya. Studi filsafat pendidikan dalam mempergunakan segenap pengalaman kemanusiaannya itu berlang sunglah penerapan cara-cara pandangan-pandangan, dan prinsip-prinsip filsafat yang dianutnya di dalam menerangkan hal ikhwal tentang pendidikan. Oleh karena itu filsafat pendidikan adalah studi penerapan pola fikir filsafat dalam menjawab masalah-masalah atau pertanyaan-pertanyaan pendidikan.(Pupu Saeful Rahmat, 2021 : 146).
Kesimpulan
Filsafat pendidikan Islam adalah konsep berfikir tentang kependidikan yang bersumber atau berlandaskan pada ajaran Islam tentang kemampuan manusia untuk dapat dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Kajian filosofis yang digunakan filsafat pendidikan Islam mengandung arti bahwa filsafat pendidikan Islam itu merupakan pemikiran yang mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti hakikat pendidikan Islam. Filsafat pendidikan Islam berdasarkan wahyu, tidak semata berpijak humanistik, tidak mengenal kebenaran terbatas, tapi universal. Berusaha mengembangkan pandangan yang integral dan mengintergralkan pandangan antara dunia dan akhirat sekaligus. Filsafat pendidikan Islam mengembangkan semua aspek kepribadian, mulai akal, intuisi, akal budi dan inderawi.
Filsafat Pendidikan Islam adalah suatu alat yang digunakan untuk berfikir secara mendalam dan mendasar dalam rangka menentukan arah visi, misi, kurikulum metode belajar hingga evaluasi yang akan digunakan dalam pelaksaan pendidikan islam. Agar terciptanya pendidikan islam yang ideal dan holistik.
Menurut Al-Attas Konsep Pendidikan Islam lebih cenderung menggunakan istilah Ta’dib, karena dengan memilih istilah Ta’dib al-Attas menganalisisis dari sisi kandungan yang disesuaikan dengan pesan-pesan moral. Sedangkan Menurut Al-Gazali konsep pendidikan banyak berorientasi pada penekanan bathiniyah (Aspek Afektif) dari pada pengetahuan indrawi belaka, Imam Al-Ghazali memandang pendidikan sebagai sarana atau media uuntuk mendekatkan diri kepada sang pencipta dan mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat kelak yang lebih utama. Menurut Ibnu Khuldun konsep pendidikan yaitu mencakup guru dan murid, tentang ilmu pengetahuan yang terdiri dari ilmulsan, ilmu naqli dan Aqli tentang kurikulum dan metode.