Kanisius Jehabut, S.H., M.H ramai dibincangkan Menjadi “Jembatan” Kokoh dalam Politik Manggarai Barat (Mabar) NTT.
Istilah Jembatan sudah akrab di telinga masyarakat Indonesia. Istilah Jembatan sendiri dimaknai sebagai Titian atau Penghubung. Presiden Pertama kita, Ir. Soekarno juga pernah menggunakan kata Jembatan sebagai analogi dalam pidatonya yang viral. “Kemerdekaan adalah Jembatan Emas.” Demikian ungkapan Ir. Soekarno. Ungkapan Soekarno ini kemudian dimaknai sebagai pengharapan sekaligus pemberitahuan kepada masyarakat Indonesia bahwa Kemerdekan merupakan jalan menuju kemakmuran bangsa atas kebebasan dari praktik feodalisme dan kolonialisme bangsa barat.
Bukan hanya Ir. Soekarno, kata “Jembatan” ternyata sudah dipakai sejak zaman dulu sebagai sebuah falsafah. Orang Manggarai, Flores Nusa Tenggara Timur sudah menggunakan istilah “Jembatan” untuk memaknai sebuah tugas, tanggung jawab dan juga anugrah. “Letang Temba“ adalah sebuah peribahasa yang ingin mengungkapkan tugas, tanggung jawab dan anugrah yang diberikan kepada seseorang. “Letang Temba” artinya Jembatan untuk menghubungkan sesuatu yang terpisah atau menghantar suatu pesan. Orang Manggarai, Flores kerap kali menunjuk orang yang mumpuni untuk menjadi “Letang Temba” dalam sebuah ritus adat atau dalam hal lain misalnya mengurus masalah. Menjadi “Letang Temba” adalah tugas yang sangat mulia, karena selain menyampaikan pesan Ia juga menjadi orang pertama yang akan mengetahui jawaban dari pesan yang disampaikan. Maka, orang yang ditunjuk menjadi “Letang Temba” adalah orang yang jujur, punya kecakapan dalam berkomunikasi yang baik juga mampu memahami secara baik apa yang menjadi tugasnya. Oleh karena itu, sebelum kita menunjukan orang yang menjadi “Letang Temba,” kita mesti mengetahui terlebih dahulu, apakah dia sudah memenuhi kriteria seperti yang telah disebutkan di atas atau tidak.
Baca Juga: https://suarautama.id/ratusan-warga-antar-kanis-jehabut-ke-partai-gerindra/
Kanis Jehabut “Jembatan” Kokoh
Kanis Jehabut punya pengalaman yang cukup dalam menjembatani kedua belah pihak yang sedang bertikai. Bisa dibuktikan dengan gelar yang ia peroleh. Juga pengakuan dari keluarga NTT di Papua. Kanis, bagi mereka adalah sosok “Ayah” yang hadir di tengah mereka. Sikap Kanis yang ramah, suka mendengarkan, jujur dan tidak sombong membuat orang NTT di Papua menyukainya. Tidak jarang, Kanis tampil menjadi “Letang Temba” juga menjadi The Leader dalam keluarga NTT di Papua. Warga NTT di Papua kepada penulis memberikan testimoni bagaimana Kanis Jehabut menjadi The Leader. Sikapnya yang rendah hati dan menjujung tinggi etika budaya manggarai menjadi alasan penulis menyebut Kanis Jehabut sebagai Jembatan Kokoh Politik Mabar. Penulis menyakini, sosok Kanis mampu mewujudkan Mabar yang sejahtera. Kanis sebagai “Letang Temba” tak akan rapuh memperjuangkan cita cita masyarakat Mabar meski situasi politik Mabar yang selalu terkungkung oleh Kapitalisme. Sikap Kanis yang jujur, mampu mewujudkan politik Mabar yang bersih tanpa kecurangan, money politik dan kerasnya pertarungan para Makhiavelis. Kehadiran Kanis Jehabut dalam Panggung politik Mabar dilihat penulis mampu meresonasikan nilai nilai ideal dan progresif dalam kontestasi yang demokratik.
Sosok Kanis Jehabut Mewarnai Politik Mabar
Tentu saja, dengan melihat rekam jejaknya, Kanis bisa memastikan politik di Mabar diwarnai dengan nilai demokrasi yang betul betul demokratik.
Berbicara Politik Mabar, kerapkali orang menautkannya dengan kepentingan asing. Penyematan Kota Super Premium agaknya menjadi salah satu alasan mengapa politik di Mabar agak “panas” dibandingkan dengan daerah lain. Dalam pengamatan penulis, pilkada Mabar selalu diwarnai aksi demonstrasi dari pihak yang kalah kemudian menolak hasil pemilu hingga gugat ke MK. Pengamatan penulis tidak sampai kepada apakah Pilkada Mabar terindikasi kecurangan atau tidak. Namun, melihat pristiwa demonstrasi yang sering terjadi, penulis mengambil kesimpulan bahwa Pilkada Mabar adalah situasi riil perang para Makhiavelis.
Istilah Makhiavelis tidak begitu saja muncul. Makhiavelis adalah sematan bagi oknum yang mengasosiasikan politik ala Nicollo Machiavelli. Bagi Machiavelli, politik adalah alat untuk mencapai kekuasaan, sehingga dengan demikian setiap orang boleh menggunakan cara apapun untuk meraih atau pun mempertahankan kekuasan. Tentu saja cara cara yang dilakukan tidak bisa menghindari etika politik kaum populis sayap kanan (right – wing populism) seperti yang disebutkan Chantal Mouffe dalam bukunya yang berjudul Populisme Kiri (For a Left Populism).
Kembali ke Kanis Jehabut, dalam beberapa diskusi bersama penulis, Kanis Jehabut kerapkali menyodorkan politik gagasan yang kental dibaluti budaya manggarai. Bagi Kanis, politik adalah salah satu sarana untuk mewujudkan kesejateraan. Hal itu dikatakannya juga di depan ratusan warga Mabar di Mbrata saat melaksanakan acara Penyerahan Berkas kepada partai Gerindra Mabar yang didampingi oleh para tokoh adat, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda. Kanis begitu merindukan demokrasi Mabar yang sehat. Sehingga dengan begitu, pemimpin – pemimpin yang dilahirkan adalah pemimpin yang bisa mewujudkan aspirasi rakyat.
Sosok Kanis Jehabut juga dinilai sebagai Power (kekuatan) baru dalam mimpi masyarakat mewujudkan Mabar yang sejatera. Kehadiran Kanis Jehabut dalam Panggung politik Mabar dilihat penulis mampu meresonasikan nilai nilai ideal dan progresif dalam kontestasi yang demokratik.
Apakah Kanis Jehabut menjadi Jembatan aspirasi rakyat Mabar periode berikut? Pertanyaan ini ingin menggedor jawaban Analisis – Reflektif dari masyarakat Mabar. Tentu saja, penulis telah membantu masyarakat untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut. Penulis berharap, apa yang dicita citakan oleh Kanis Jehabut sebagai Jembatan baru dan kokoh dalam politik Mabar akan menjadi cita cita kita bersama untuk mewujudkan Mabar yang sejahtera.(BP)*
Penulis adalah Pengamat Politik Manggarai Barat.