Konsep Dasar Pendidikan
Fadilla Nur Hakiki, Ningsih Hidayati, Nurul Fazri Sitorus, Suhardi
FITK IAIDU Asahan Kisaran, Pendidikan Agama Islam
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendahuluan
Konsep berasal dari bahasa Inggris “concept” yang berarti “ide yang mendasari segala sesuatu objek”, dan “gagasan atau ide umum”. Kata tersebut juga berarti gambaran yang bersifat umum atau abstrak dari sesuatu. Dalam kamus Bahasa Indonesia, konsep diartikan dengan rancangan atau buram surat tersebut. Ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkrit, gambaran mental dari objek, proses ataupun yang ada diluar bahasa yang digunakan untuk memahami hal-hal lain. Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah tak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam. Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.(Armal Arif: 2002:16).
Dasar diartikan sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada tujuan yang ingin dicapai. Setiap negara mempunyai dasar pendidikannya sendiri, eksistensinya merupakan pencerminan filsafat hidup suatu bangsa. Berlandaskan kepada dasar tersebut, maka pendidikan suatu bangsa dirumuskan. Oleh karena itu, sistem pendidikan setiap bangsa selalu berbeda, karena setiap negara mempunyai falsafah hidup yang berbeda pula.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah pandangan hidup yang melandasi seluruh aktifitas pendidikan. Untuk menentukan dasar pendidikan diperlukan jasa filsafat pendidikan. Berdasarkan pertimbangan filosofis (metefisika dan aksiologi) diperoleh nilai-nilai yang memiliki kebenaran yang meyakinkan. Untuk menentukan dasar Pendidikan Islam, selain pertimbangan filosofis, juga tidak terlepasdari pertimbangan teologis.(Salmaniawati : 2011:106).
Ahmad D. Marimba, mengartikan pendidikan adalah bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku. Kepribadian utama adalah kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai kependidikan.(Anas salahuddin : 2011:20).
Selanjutnya kata Pendidikan, dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata didik yang mendapat awalan pe dan akhiran an. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:232), kata didik berarti memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Dengan demikian, pendidikan diartikan “Proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan”. Pengertian ini seakan menjelaskan bahwa pendidikan mengandung tiga unsur, yaitu adanya suatu proses, perbuatan dan cara mendidik. Sebagaimana pengajaran juga diartikan sebagai proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan serta segala hal yang berhubungan dengan mengajar”. Berdasarkan penjelasan itu, istilah pendidikan dan pengajaran, dalam bahasa Indonesia pada satu sisi terkadang selalui dimaknai sama.
Kata pendidikan selanjutnya sering digunakan untuk menerjemahkan kata education dalam bahasa Inggris, yang berasal dari kata “Educate” (mendidik) artinya memberi peningkatan (to elicit, to give rise to), dan mengembangkan (to evolve, to develop). (Mc. Leod, 1989). Sedangkan pengajaran digunakan untuk menerjemahkan kata teaching juga dalam bahasa Inggris. Jika pengertian secara semantik (kebahasaan) dari kata pendidikan, pengajaran (education atau teaching) sebagaimana disebutkan di atas diperhatikan secara seksama, nampak bahwa kata-kata tersebut lebih menunjukkan pada suatu kegiatan atau proses yang berhubungan dengan pembinaan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain.(Syafaruddin : 2012:26)
Ta’lim
Istilah ini telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan Pendidikan Islam. Menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah maupun al-Ta’dîb. Ridha, mengartikan al-Ta’lîm sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan tertentu. Pendapatnya didasarkan dengan merujuk pada ayat yang artinya: ”Sebagaimana Kami telah menyempurnakan ni’mat Kami (kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah 2:151).
Menurut Jalal, kata al-Ta’lîm merupakan proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-Hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya. Al-Ta’lîm menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. Al-Ta’lîm merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.(Salmaniawati : 2012:109)
Muhammad Naquib Al-Attas mengartikan kata ta’lim sebagai proses pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar. Menurutnya, jika istilah ta’lim disamakan dengan istilah tarbiyah, ta’lim mempunyai makna pengenalan tempat segala sesuatu, sehingga maknanya menjadi lebih universal daripada istilah tarbiyah, karena kata tarbiyah tidak meliputi segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksternal.(Anas Salahuddin : 2011:20).
Menurut Atabik Ali A. Muhdlor, kata ta’lim sepadan dengan kata darrasa, terambil dari ‘allama-yu’allimu, talîman, yang secara bahasa berarti mengajar atau mendidik. Menurut Ridhat, talîm adalah proses transmisi ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu. Argumentasinya didasarkan pada firman Allah yang artinya : “Dan Dia mengajarkan kepada Adam perbendaharaan ilmu pengetahuan (al- Asma’ kullahâ), kemudian memaklumkannya kepada para malaikat …” (Al Rasyidin : 2008:111).
Kalimat wa yu’allimu hum al-kitâb wa al-hikmah pada ayat di atas menjelaskan aktivitas kependidikan yang dilakukan Rasulullah Saw, yang tidak hanya terbatas pada mengajarkan tilawah al-Qur’an, tetapi juga mengupayakan proses pensucian al-jism dan al-ruh (tazkiyah), sehingga dengan kesucian diri itu manusia dapat memahami al- kitâb dan al-hikmah serta meraih pengetahuan- pengetahuan lain yang belum mereka ketahui.
Dari pengertian diatas, ta’lim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik, sebagai upaya untuk mengembangkan, mendorong dan mengajak manusia lebih maju dan kehidupan yang mulia, sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik yang berkaitan dengan akal, perasaan maupun perbuatan karena seseorang dilahirkan dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun, tetapi ia dibekali dengan berbagai potensi untuk mengembangkan keterampilannya tersebut agar dapat memahami ilmu serta memanfaatkannya dalam kehidupan.
Al-Asfahani menyebutkan bahwa Ta’lim adalah pemberitahuan yang dilakukan dengan berulang-ulang dan sering, sehingga berbekas pada diri mu’allim, disamping itu, ta’lim adalah menggugah untuk mempersepsikan makna dalam pikiran, karenanya, sebagaimana dikemukakan jalal, dalam konteks ta’lim, apa yang dilakukan Rasulullah bukan sekedar membuat umat islam bisa membaca apa yang tertulis, melainkan dapat membaca dengan renungan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab dan amanah.(M.Asymar A. Pulungan : 2022:251).
Tarbiyah
Kata tarbiyyah dengan berbagai kata yang serumpun dengannya disebut sebanyak lebih dari 872 kali (Al-Baqi, tt:362). Kata tersebut berasal dari akar kata rabb. Kata ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Ashfahani, pada mulanya berarti al-Tarbiyyah yaitu yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai pada tingkat yang sempurna (Al-Asfahani,tt, 198). Kata tersebut selanjutnya digunakan oleh al-Qur’an untuk berbagai hal. Yang setelah diteliti ternyata bahwa kata rabb sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an digunakan untuk menunjukkan objek yang bermacam-macam, yang dalam hal ini meliputi benda-benda yang bersifat fisik dan non fisik. Dengan demikian pendidikan meliputi pemeliharaan terhadap seluruh makhluk Tuhan.(Syafaruddin : 2012:27).
Menurut al-Yasu’iy, secara etimologis, tema tarbiyah mempunyai pengertian, yaitu : nasyat yang berarti pertumbuhan, berusia muda meningkat dewasa, taghdziyyah yang memberi makan dan mendewasakan, dan memperkembangkan, seperti yurby alshadaqah, yang berarti membuat berkembang harta yang telah disedekahkan sebagaimana ungkapan Q.S, al-Baqarah:276.
Secara umum, berdasarkan pendapat di atas, kata-kata rabb dengan berbagai derivasinya bermakna bertambah, tumbuh, menjadi besar, memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, dan memelihara. Berdasarkan pengertian ini, maka terma tarbiyah, yang seakar dengan kata rabb, bisa bermakna mengarahkan, menuntun, dan memelihara peserta didik agar mereka tumbuh menjadi manusia dewasa, bertambah ilmu pengetahuan dan keterampilannya, menjadi baik perilaku atau akhlaknya, sehingga mereka mampu menguasai suatu urusan untuk menunaikan tujuan, fungsi, dan tugas penciptaannya oleh Allah Swt.
Shihab menyatakan bahwa kata rabb sebagaimana terdapat pada ayat kedua surah al-Fatihah, seakar dengan kata tarbiyah, yaitu mengarahkan sesuatu tahap demi tahap menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya. Berdasar hal itu, Shihab kemudian memberi arti rububiyah sebagai kependidikan atau pemeliharaan. Dalam arti ini, maka apapun bentuk perlakuan Tuhan (al-Rabb) kepada makhluk-Nya, harus diyakini bahwa yang demikian itu, sama sekali tidak terlepas dari sifat kepemeliharaan dan kependidikan-Nya. Karenanya, kata rabb dalam surah al-Fâtihah di atas dapat berarti Murabbi atau pendidik. Berdasar pengertian ini, sebagaimana dikemukakan al-Syaibany, maka arti ayat kedua surah al-Fatihah bermakna bahwa Allah Swt adalah Pendidik yang Maha Agung bagi seluruh alam semesta, bukan hanya mendidik manusia saja, tetapi Pendidik bagi makhluk seluruhnya. (Al Rasyidin : 2008:109).
Secara filosofis, proses Pendidikan Islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan- Nya, termasuk manusia. Dalam konteks yang luas, pengertian Pendidikan Islam yang dikandung dalam kata tarbiyah terdiri atas empat unsur pendekatan, yaitu memelihara dan menjaga fitrah anak didik menjelang dewasa (baligh), mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan, mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan, melaksanakan pendidikan secara bertahap.
Kata al-Tarbiyah menunjuk pada makna Pendidikan Islam yang dapat dipahami dengan merujuk pada firman Allah: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isrâ / 17: 24). (Salmaniawati : 2012:108).
Dalam leksikologi Al-Qur’an dan Sunnah tidak ditemukan istilah al-tarbiyah, namun ada beberapa istilah kunci yang seakar dengannya, yaitu al-rabb, rabbayani, nurabbi, yurbi, dan rabbani. Dalam kamus bahasa Arab, kata al-tarbiyah memiliki tiga akar kebahasaan, yaitu: Rabbâ, yurabbi, tarbiyah yang memiliki makna “tambah” (zad) dan “berkembang” (nama). Pengertian ini juga didasarkan QS. Al-Rum: 39 yang artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.” Maksudnya, pendidikan (tarbiyah) merupakan proses menumbuhkan dan mengembangkan apa yang adapada diri peserta didik, baik secara fisik, psikis, sosial maupun spiritual. Rabba, yurabbi, tarbiyah memiliki makna tumbuh (nasya ‘a) dan menjadi besar atau dewasa (tara’ra’a). Artinya, pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untuk menumbuhkan dan mendewasakan peserta didik baik secara fisik, psikis, sosial maupun spiritual. Rabba, yurabbi, tarbiyah memiliki makna memperbaiki (ashlaha), menguasai urusan, memelihara dan merawat, memperindah, memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki. mengatur dan menjaga kelestarian maupun eksistensinya (Al-Bastani, 1975: 243-244). Ini memberi makna bahwa pendidikan (tarbiyah) merupakan usaha untuk memelihara, mengasuh, merawat, memperbaiki dan mengatur kehidupan peserta didik, agar ia dapat survive lebih baik dalam kehidupannya.(Afifuddin Harish : 2018:22).
Terminologi tarbiyah merupakan salah satu bentuk translitasi untuk menjelaskan istilah pendidikan. Istilah ini telah menjadi istilah baku dan populer dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Dalam pembahasan ini, akan dicari asal-usul kata tarbiyah dalam lingkup kebahasaan. Penelusuran genetika bahasa tersebut, diharapkan dapat mengetahui makna kata tarbiyah dalam ayat-ayat al-Qur’an.(Nurul Hikma : 2018:315)
Ta`dib
Istilah ta’dib, menurut kamus bahasa Arab, al-Mu’jam al-Wasit biasa diterjemahkan dengan pelatihan atau pembiasaan dan memiliki kata dan makna dasar sebagai berikut; Ta’dib, berasal dari kata dasar “adaba-ya’dubu” yang berarti melatih, untuk berperilaku yang baik dan sopan santun. Ta’dib, berasal dari kata “adaba-yu’dibu” yang berarti mengadakan pesta atau perjamuan dengan berbuat dan berperilaku sopan. Kata “addabu” sebagai bentuk kata kerja ta’dib mengandung pengertian mendidik, melatih, memperbaiki, mendisiplin, dan member tindakan.(Zainal Arif Zulfitria : 2021:23)
Kata ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata addaba yang berarti mendidik atau memberi adab, dan ada yang memahami arti kata tersebut sebagai proses atau cara Tuhan mengajari para Nabi-nya. Naquib al-Attas mengatakan bahwa adab telah banyak terlihat dalam sunnah Nabi, dan secara konseptual ia terlebur bersama ilmu dan amal. Karenanya, istilah ta’dib dalam pendidikan Islam digunakan untuk menjelaskan proses penanaman adab kepada manusia.(Nurul Hikma : 2018:319-320)
Al-Attas menjelaskan bahwa Ta’dîb berasal dari masdar kata kerja “Addaba” yang dibentuk menjadi kata Adabun, berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat. Pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkat dan derajat tingkatan dan dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual, maupun rohaniah seseorang. Definisi ini berbau filsafat, sehingga intinya adalah pendidikan menurut Islam sebagai usaha agar orang mengenali dan mengakui “tempat” Tuhan dalam kehidupan.(Salmaniawati : 2012:110-111)
Menurut Shalaby, terma ta’dîb sudah digunakan pada masa Islam klasik, terutama untuk pendidikan yang diselenggarakan di kalangan istana para khalifah. Pada masa itu, sebutan yang digunakan untuk memanggil guru adalah muaddib. Shalaby, dengan mengutip al-Jahiz, menyatakan bahwa terma muaddib berasal dari kata adab, dan adab itu bisa berarti budi pekerti atau meriwayatkan. Guru para putera khalifah disebut muaddib dikarenakan mereka bertugas mendidikkan budi pekerti dan meriwayatkan kecerdasan orang-orang terdahulu kepada mereka. Dalam melaksanakan tugas edukatifnya, para muaddib tinggal bersama peserta didiknya. Hal itu dimaksudkan agar mereka tidak hanya sekedar mengajar, tetapi juga dapat mendidik jasmani dan ruhani peserta didik. Ibn Qutaibah, sebagaimana dikutip Shalaby, menukilkan pesan yang disampaikan Abdul Malik bin Marwan kepada muaddib puteranya:
Ajarkanlah kepada mereka berkata benar, disamping mengajarkan al-Qur’an. Jauhkanlah mereka dari orang-orang jahat, karena orang-orang jahat itu tidak mengindahkan perintah Tuhan dan tidak berlaku sopan. Dan jauhkan pula dari khadam dan pelayan-pelayan, karena pergaulan dengan khadam dan pelayan- pelayan itu dapat merusakkan moralnya. Lunakkanlah perasaan mereka agar keras pundaknya. Berilah mereka makan daging, agar mereka berbadan kuat. Ajarkanlah syair kepada mereka, agar mereka mulia dan berani. Suruhlah mereka bersugi dengan melintang, dan meminum air dengan dihirup pelan-pelan, jangan diminumnya saja dengan tidak senonoh. Dan bila kamu memerlukan menegurnya, maka hendaklah dengan tertutup, jangan sampai diketahui oleh pelayan-pelayan dan tamu-tamu, agar dia tidak dipandang rendah oleh mereka.
Berdasarkan kutipan di atas, tampak bahwa terma ta’dîb tidak hanya menekankan aspek pemberian ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentukan watak, sikap, dan kepribadian peserta didik. Karenanya, tugas seorang muaddib bukan hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga melatih dan membimbing peserta didik agar mereka hidup dengan adab, baik secara jasmani maupun ruhani. (Al Rasyidin : 2008:113-114)
Kesimpulan
Konsep dasar pendidikan islam ialah suatu proses pengajaran,pengarahan dan pendidikan seorang dewasa muslim secara sadar untuk membimbing pertumbuhan secara sadar untuk membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah anak didik melalui metode ajaran islam, dengan bersumber pada Al-Quran. As sunah dan ijtihad ulama demi tercapainya kebutuhan duniawi dan ukhrawi. Jasmani dan rohani, spiritual dan intelektual. Serta terwujudnya tujuan sebagai khalifah dimuka bumi.
Pendidikan islam yang sejalan dengan konsep pendidikan menurut al-qur`an terangkum dalam tiga konsep yaitu pendidikan tarbiyah,ta`lim, dan ta`dib. Pendidikan dalam konsep tarbiyah lebih menerangkan pada manusia bahwa Allah memberikan pendidikan melalui utusan-Nya yaitu Rasulullah Saw dan selanjutnya Rasul menyampaikan pada para ulama. Kemudian para ulama menyampaikan pada manusia. Sedangkan pendidikan dalam ta`lim merupakan proses transfer ilmu pengetahuan untuk meningkatkan intelektualitas peserta didik. Kemudian ta’dib merupakan proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan akhlak peserta didik.