Antara Filsafat, Manusia Dan Pendidikan
Siti Nurhidayah dan Suhardi
FITK IAIDU Asahan Kisaran, Manajemen Pendidikan Islam
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendahuluan
Filsafat sebagai wacana pengetahuan untuk membangun paradigma pengetahuan yang kuat, tak terbantahkan, dan pasti. Filsafat sebagai ilmu yang menyelidiki sebab-sebab pertama atau prinsip-prinsip tertinggi dari segala sesuatu yang dijangkau oleh akar akal manusia. Manusia adalah makhluk sosial. Lahir ke dunia ini untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang membutuhkan bantuan orang lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Membutuhkan orang lain untuk menyelesaikan masalah dan melakukan aktivitas sehari-hari. Perkembangan proses pendidikan memerlukan cara berpikir yang mendorong dan baik. Manusia memiliki akal dan jiwa untuk memecahkan masalah dalam perkembangan proses pendidikan, yaitu proses mendidik manusia dalam kebodohan. Dari ketidaktahuan menjadi tahu, dan manusia membutuhkan filsafat dalam proses pendidikan.
Peran filsafat pada pendidikan diharapkan dapat memberikan kerangka acuan atau pembentukann sistem, teori pelaksanaan pendidikan untuk mewujudkan cita cita pendidikan yang diharapkan oleh suatu masyarakat atau bangsa. Bagaimanapun, filsafat bagi pendidikan merupakan teori umum sehingga dapat menjadi pilar bagi bangunan dunia pendidikan yang berusaha memperdayakan setiap pribadi warga negara untuk mengisi format kebudayaan bangsa yang diinginkan untuk diwariskan. Dalam hal ini, manusia membutuhkan filsafat dalam proses pendidikan. Orang harus bisa berfilsafat dalam dunia pendidikan. Mampu melaksanakan proses pendidikan dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih. Agar proses pendidikan berjalan dengan baik, mampu berfilsafat untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam proses pendidikan.
Ontologi
Ontologi sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan poto-filsafat atau filsafat yang pertama, atau filsafat ketuhanan yang bahasannya adalah hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, realita, prima atau tuhan dengan segala sesuatu yang ada di bumi dengan tenaga tenaga yang dilangit, wahyu, akhirat, dosa, neraka, pahala dan surga. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 126-127).
Metafisika berasal dari bahasa Yunani Kuno terdiri dari dua kata, “meta” dan fisika”. Meta berarti sesudah di belakang, atau melampaui, dan fisika berarti alam nyata. Metafisika merupakan cabang yang mempersoalkan tentang hakikat yang tersimpul belakang fenomena. Metafisiska mempengaruhi penagalaman objeknnya luar yang dapat ditangkap pancaindra. (Usiono, 2009: 56-57). Ontologi diartikan tentang bagaimana mencari hakikat kebenaran dan kenyataan dalam keilmuan mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari. (Kamarudin Hasan, 2019, 2 (1): 59).
Ontologi berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya: hakikat di nyata Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam sangat kita. Bagaimana realita ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu bersifat kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk satu unsur (monisme), unsur (dualisme), ataukah terdiri dari unsur banyak (pluralisme). (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 83).
Persoalan ontologi menjadi pembahasan utama baik filsafat modern. Ontologi adalah dari cabang filsafat yang membahas realitas. Realitas kenyataan selanjutnya menjurus pada kebenaran. Bedanya, realitas dalam melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya hakikat realita apakah realitas tampak realita materi saja; adakah sesuatu balik realita itu; apakah realita ini terdiri dari untuk unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak (pluralisme). Menurut Bramel, interpretasi tentang suatu realita dapat bervariasi. Mengenai bentuk meja misalnya, pasti setiap orang berbeda beda pendapat. Tetapi jika ditanyakan bahan bahan, pastilah meja itu substansinya adalah kualitas materi. Inilah yang dimaksud meja realita yang konkret. Jadi, realitas yang dibahas ontologi ini dipergunakan untuk membedakan yang tampak saja atau nyata. Sebagai contoh, sebuah tongkat yang lurus, menurut perasaan masih lurus diceburkan ke air, menurut penglihatan tongkat itu bengkok dan setelah diangkat ternyata tongkatnya itu lurus. Plato mengatakan, jika berada dalam dunia kita lihat dan kita hayati dengan pancaindra kita tampaknya nyata. Bintang, tumbuhan, batu, bulan, bintang, dan semua yang ada adalah semata-mata bayangan atau dunia tiruan dari dunia nyata, yang sejati adalah dunia ide murni yang di balik dunia sekarang yang kita hayati, dengar, lihat, dan rasakan. Di dalam pendidikan, pandangan ontologi secara prakti menjadi yang utama. Sebab, anak bergaul dengan lingkungannya dan mempunyai dorongan yang kuat mengerti sesuatu. Anak-anak, di masyarakat maupun sekolah, selalu dihadapkan pada realita, objek pengalam benda mati, benda dan sebagainya. Membimbing membina kesadaran tentang kebenaran yang berpangkal atas realita merupakan tahap pertama sebagai stimulus untuk menyelami kebenaran itu. Dengan sendirinya, potensi berpikir kritis anak-anak untuk mengerti kebenaran telah dibina. Di sini kewajiban pendidikan ialah membina daya pikir yang tinggi dan kritis. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 127-128).
Epistemologi
Epistemologi dari bahasa Yunani, yaitu Episteme yang berarti pengetahuan. Persoalan pokok yang dipertanyakan adalah tentang bagaimana sesuatu yang benar itu datang dan bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana pula kita membedakan yang benar dan yang salah. (Tri Prasetya, 2002: 143).
Epistemologi mengkaji hakikat teori pengetahuan menangani persoalan tentang sifat dasar pengetahuan manusia, tentang hubungan yang mengetahui dan yang diketahui (objek) dan apakah kebenaran dan bagaimana validitas pengetahuan. Epistemologi juga berkenaan dengan persoalan bagaimana manusia mengetahui dan yang diketahuinya. (Usiono, 2009: 58).
Sementara itu gramel mendefinisikan epistemologi dengan “it is epistemology that gives the teachers the east surrents that his converying the assurance that he is conveying that truth to his student”. Maksudnya, epistemologi memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada murid-muridnya. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 128).
Aksiologi
Secara etimologis istilah aksiologi berasal dari bahasa Yunani kuno, terdiri dari kata “aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” yang berarti teori. Jadi, aksiologi merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari nilai. Demikian pula etika merupakan penentuan perilaku pribadi baik, masyarakat yang baik dan kehidupan yang baik. Estetika penentuan kriteria keindahan dalam seni, pengalaman pribadi dan lingkungan kehidupan manusia. (Usiono, 2009: 62-63).
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Nama lain dari bidang kajian aksiologi ini adalah disebut dengan teori nilai. Teori nilai ini membahas mengenai kegunaan atau manfaat pengetahuan. (Susanto, 2019: 28).
Nilai dan implikasi aksiologi di dalam pendidikan ialah pendidikan menguji dan mengintegrasikan semua nilai tersebut di dalam kehidupan manusia dan membinanya di dalam kepribadian anak. Karena untuk mengatakan sesuatu bernilai baik itu bukanlah hal yang mudah. Apalagi menilai secara mendalam dalam arti untuk membina kepribadian ideal.
Berikut ini beberapa contoh yang dapat kita pergunakan untuk menilai seseorang itu baik yaitu: 1. Baik, Bu. Saya akan selalu baik dan taat kepada ibu!, 2. Nak, bukankah ini bacaan yang baik untukmu?, 3. Baiklah, Pak. Aku akan mengamalkan ilmuku. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 129).
Pandangan Filsafat Tentang Hakikat Manusia
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas. Mohammad Noo Syam dalam Jalaluddin dan Abdullah mengemukakan bahwa pertama, aliran serba-zat. Aliran ini mengatakan yang sungguh sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu, manusia adalah zat atau materi.
Kedua, aliran serba-ruh. Dasar pikiran aliran ini bahwa ruh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari pada materi. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, betapa pun kita mencintai seseorang, jika ruhnya pisah dari badannya, maka materi/jasadnya tidak ada artinya lagi. Dengan demikian, aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelasan atau bayangan.
Ketiga, aliran dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia pada hakikatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan ruhani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan berasal dari ruh dan ruh tidak berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serbadua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat keduanya saling memengaruhi.
Keempat, aliran eksistensialisme. Aliran filsafat modem berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksisten dari secara menyeluruh. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Di sini, manusia dipandang tidak dari sudut serba-zat atau serba-ruh atau dualisme, tetapi dari segi eksistensi manusia di dunia ini. Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia berkaitan antara badan ruh. Islam tegas mengatakan bahwa badan ruh substansi alam, sedangkan keduanya diciptakan Allah. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 130-131).
Menurut pandangan eksistensialisme hakikat manusia ada delapan, yaitu kemampuan menyadari diri, kemampuan bereksistensi, pemilikan kata hati, moral, kemampuan bertanggung jawab, rasa kebebasan, kesedihan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak dan kemampuan menghayati kebahagiaan. (Sehat Sultoni Dalimunthe, 2018 : 68).
Secara etimologi istilah manusia di dalam Al-Qur’an ada empat kata yang dipergunakan, yakni: 1. Al-Insan, pada umumnya digunakan untuk menggambarkan keistimewaan manusia penyandang predikat khalifah dimuka bumi. Sekaligus dihubungkan dengan proses penciptaannya. Kata al-insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Psikis manusia sebagai makhluk Allah yang mulia dan tertinggi derajatnya dibandung makhluknya yang lain. Dengan membangun nilai-nilai tersebut, akhirnya manusia mampu mengemban amanah Allah dimuka bumi. 2. Al-Basyar ditunjukan pada seluruh manusia tanpa terkecuali. Penggunaan kata Al-Basyar mempunyai makna bahwa manusia secara umum mempunyai perasaan dengan ciri pokok makhluk Allah lainnya secara umum seperti hewan dan tumbuh tumbuhan. Kata Al-Basyar pada manusia hanya menunjukkan persamaannya dengan makhluk Allah lainnya. 3. Bani Adam, artinya anak keturunan Nabi Adam Alaihi Sallam, Bani Adam menunjukkan bahwa manusia itu keturunan dari Nabi Adam as dan pengakuannya kepada Tuhan. Dan manusia diistimewakan dari makhluk lain dan dijamin Keselamatannya bila memenuhi aturan penciptanya. 4. An-Naas, Kata An-Nas, menunjukkan pada hakikat manusia sebagai makhluk sosial dan ditunjukkan kepada seluruh manusia secara umum tanpa melihat statusnya apakah beriman atau kafir. Kata An-Nas juga dipakai dalam Al-Quran untuk menunjukkan bahwa karakteristik manusia senantiasa berada dalam keadaan labil. (Dila Rukmi Octaviana dan Reza Aditiya Ramadhan, 2021, 5 (2): 146 ).
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang terdiri dari unsur jasmani dan ruhani. Manusia lahir dengan membawa potensi fitrah. Potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut dapat dikembangkan dengan baik dan produktif melalui proses pendidikan. Selain itu, manusia dalam pertumbuhan dan perkembangannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas dan lingkungan. Proses pendidikan Islam berusaha mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki oleh manusia secara keseluruhan dan berusaha untuk mengembangkannnya dengan sebaik mungkin tanpa ada yang terabaikan sedikitpun. Dengan demikian Proses pendidikan Islam yang dijalankan diharapkan mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri manusia sehingga lahirlah manusia yang berkepribadian muslim dan manusia yang selalu menghambakan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Abdul Khobir, 2010, 8 (1): 14).
Hakikat manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan ruh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dikatakan manusia.Terkait dengan hakikat manusia Poespoprodjo dalam Jalaluddin dan Abdullah mengemukakan bahwa: 1) Hakikat manusia haruslah secara integral dari seluruh bagiannya; bagian esensial manusia, baik yang metafisiska (animalitas dan rasionalitas) maupun fisik (badan dan jiwa). Manusia wajib menguasai hakikatnya yang kompleks dan mengendalikan bagian-bagian tersebut agar bekerja secara harmonis. Karena manusia hakikatnya adalah hewan, maka ia harus hidup seperti hewan; wajib menjaga badannya dan memenuhi kebutuhannya. Namun, sebagai hewan yang berakal budi, manusia harus hidup seperti makhluk yang berakal budi. 2) Hakikat manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya; tidak hanya keselarasan batin antara bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang membuat manusia itu sendiri, tetapi juga antara manusia dengan lingkungannya. Memang keberadaan manusia muka bumi adalah suatu yang menarik. Selain manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa segala peristiwa dan masalah apapun yang terjadi pada akhirnya berhubungan dengan manusia. Oleh karena dalam usaha mempelajari hakikat manusia diperlukan pemikiran yang filosofis. Karena setiap manusia akan selalu berpikir tentang dirinya sendiri. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 131).
Pandangan Filsafat Tentang Pendidikan
Sebelum menuju pada pandangan filsafat tentang pendidikan, terlebih dahulu dideskripaikan apa itu filsafat pendidikan. Secara sederhana, filsafat pendidikan adalah nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan filsafat yang menjiwai, mendasari dan memberikan identitas (karakteristik) suatu sistem pendidikan. Filsafat pendidikan adalah jiwa, ruh, dan kepribadian sistem kependidikan nasional, karenanya sistem pendidikan nasional wajarlah dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila, citra dan karsa bangsa kita, atau tujuan nasional dan hasrat luhur rakyat Indonesia yang tersimpul dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, sebagai perwujudan jiwa dan nilai Pancasila. Dengan begitu, sistem pendidikan itu bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan filosofis tertentu. Inilah dasar pikiran atau rasional mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasional atau konsekuensi dari sistem kenegaraan Republik Indonesia. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 140).
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang memikirkan tentang masalah pendidikan. Filsafat pendidikan juga diartikan sebagai teori pendidikan. Filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hakikatnya merupakan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam bidang pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan aplikasi suatu analisa filosofis terhadap bidang pendidikan. Hubungan antara filsafat dan ilmu pendidikan juga dapat saling berkaitan Filsafat mempengaruhi pertumbuhan ilmu-ilmu yang lain. Inilah hubungan horizontal antara filsafat termasuk filsafat pendidikan dengan keilmuan lainnya. Filsafat pendidikan memiliki hubungan vertikal dengan ilmu yang lainnya ketika berhubungan ke bawah atau ke atas, seperti hubungan dengan ilmu pendidikan, sejarah pendidikan, dan seterusnya. (Mar’atus Sholikha, 2020, 02 (02): 30).
Adapun mengenai defenisi pendidikan menurut para ahli, yaitu: 1) Langeveld adalah seorang ahli pendidikan bangsa Belanda yang pendidikannya berorientasi ke Eropa dan lebih menekankan kepada teori-teori (ilmu). Dapat dikenal dengan bukunya Paedagogik Teoritis Sistematis. Menurut ahli ini pendidikan adalah: “bimbingan atau pertolongan yang diberikan oleh orang dewasa kepada perkembangan anak untuk mencapai kedewasaannya dengan tujuan agar anak cukup cakap dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri tidak dengan bantuan orang lain. 2) John Dewey seorang ahli filsafat pendidikan Amerika pragmatisme dan dinamis, pendidikan (education) diartikan sebagai “Proses pembentukan kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”. Menurutnya hidup itu adalah suatu proses yang selalu berubah, tidak satupun yang abadi. Karena kehidupan itu adalah pertumbuhan, maka pendidikan berarti membantu pertumbuhan bathin tanpa dibatasi oleh usia. Dengan kata lain pendidikan adalah suatu usaha manusia untuk membantu pertumbuhan dalam proses hidup tersebut dengan membentukan kecakapan fundamental atau kecakapan dasar yang mencakup aspek intelektual dan emosional yang berguna atau bermanfaat bagi manusia terutama bagi dirinya sendiri dan bagi alam sekitar. (Andri Kurniawan, et.al., 2022: 23).
Filsafat Pancasila merupakan satu kesatuan bulat dan utuh, atau kesatuan organik (organic whole) yang berlandaskan pada Pancasila. Karena itu, filosofi yang dipakai itu harus berusaha memenuhi syarat-syarat berpikir secara kritis, sistematis, menyeluruh dan mendalam. Karena filsafat itu sebagai ilmu untuk memahami semua hal yang timbul dalam hidup manusia, maka diharapkan manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh dan sistematis mengenai filsafat bahwa manusia itu satu kesatuan dari dunia.
Filsafat menjadikan manusia berkembang dan mempunyai pandangan hidup yang menyeluruh dan sistematis. Pandangan itu kemudian dituangkan dalam sistem pendidikan, untuk mengarahkan tujuan pendidikan. Penuangan pemikiran ini dimuatkan dalam bentuk kurikulum. Dengan kurikulum, sistem pengajaran dapat terarah, selain dapat mempermudah para pendidik dalam menyusun pengajaran yang akan diberikan kepada peserta didik. Melalui proses ini, manusia menugaskan pikirannya untuk bekerja sesuai dengan aturan-aturan dan hukum yang ada, berusaha menyerap semua yang berasal dari alam, baik yang berasal dari dalam dirinya atau dari luar dirinya. Untuk mengembangkan mutu pendidikan, ada lima jalur yang harus diperhatikan.
Pertama, landasan filsafat untuk menjadi di dasar dalam menyusun paradigma bagi pengembangan pendidikan. Filsafat yang akan dijadikan dasar pengembang tersebut haruslah filsafat pendidikan. Kedua, kita memerlukan paradigma bagi penyusunan metodologi pengembanga ilmu pendidikan. Paradigma yang dimaksud ialah keranga pikiran yang dapat menentukan kita dalam menyusun metodologi pengembangan ilmu pendidikan. Paradigma inilah yang kelak akan diperkirakan mampu menentukan kita menyusunkan metodologi pengembangan ilmu pendidikan. Ketiga, kita memerlukan modal-modal penelitian untuk digunakan dalam penelitian pendidikan. Keempat, memerlukan metodologi pembagian ilmu pendidikan tersebut. Metodologi ini berupa metode pengembangan teori pendidikan yang diperkirakan dapat mengembangkan teori-teori ilmu pendidikan kita. Kelima, melakukan suatu organ sasi yang berskala nasional. Organisasi itulah yang diharapkan merencanakan, memonitor dan merancang hasil-hasil peneliti an untuk disusun secara sistematik dalam batang tubuh ilmu pendidikan. (Jalaluddin dan Abdullah Idi, 2007: 141-142).
Kesimpulan
Ada beberapa teori kebenaran menurut pandangan filsafat yang dikemukakan dalam bidang ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya: hakikat di nyata Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam sangat kita. Bagaimana realita ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu bersifat kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk satu unsur (monisme), unsur (dualisme), ataukah terdiri dari unsur banyak (pluralisme). Epistemologi mengkaji hakikat teori pengetahuan menangani persoalan tentang sifat dasar pengetahuan manusia, tentang hubungan yang mengetahui dan yang diketahui (objek) dan apakah kebenaran dan bagaimana validitas pengetahuan. Epistemologi juga berkenaan dengan persoalan bagaimana manusia mengetahui dan yang diketahuinya. Aksiologi mengkaji tentang nilai. Dalam hal ini, aksiologi berkaitan dengan kebaikan dan keindahan tentang nilai dan penilaian. Hal ini merupakan bidang kajian dari mana sumber nilai, akar dan norma serta nilai substantif dan standar nilai. Etika berkaitan dengan kualitas, moralitas pribadi dan perilaku sosial. Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang terdiri dari unsure jasmani dan ruhani.
Manusia lahir dengan membawa potensi fitrah. Potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut dapat dikembangkan dengan baik dan produktif melalui proses pendidikan. Selain itu, manusia dalam pertumbuhan dan perkembangannya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor hereditas dan lingkungan.
Hubungan antara filsafat, manusia dan pendidikan dilihat dari objek kajiannya yaitu manusia. Filsafat berarti berpikir mendalam oleh manusia. Manusia mampu berfilsafat di bidang yang dia kuasai. Salah satu kajian filsafat adalah pendidikan. Inilah keterkaitan antara ketiga hal tersebut. Tujuan pendidikan merupakan bentuk pengkhususan dari tujuan hidup manusia. Adapun berfilsafat merupakan upaya untuk penyelesaian maupun pemecahan masalah terkait manusia, pendidikan, kesehatan, agama, dan sebagainya. Masalah-masalah yang dialami manusia akan dipikirkan secara mendalam (berfilsafat) untuk kemudian dicapai penyelesaian.