Penulis Oleh : Putri Meilisa, Riska Tamara, Siti Yohani, Suhardi
Pendidikan Agama Islam, FITK, IAIDU Asahan Kisaran
SUARA UTAMA, Peserta didik merupakan bagian dalam sistem pendidikan Islam, peserta didik adalah objek atau bahan mentah dalam proses transformasi pendidikan. Tanpa adanya peserta didik, keberadaan sistem pendidikan tidak akan berjalan. Karena kedua faktor antara pendidik dan peserta didik merupakan komponen paling utama dalam suatu sistem pendidikan.
Esensi Peserta Didik
Foto Dokumentasi AR.Learning Center, CHRA, Coach Yuan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara bahasa peserta didik adalah orang yang sedang berada pada fase pertumbuhan dan perkembangan baik secara fisik maupun psikis, pertumbuhan dan perkembangan merupakan ciri dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik. Pertumbuhan yang menyangkut fisik, perkembangan menyangkut psikis. Abdul Mujib mengatakan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang lebih tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik bukan anak didik. Lebih lanjut Abdul Mujib mengatakan peserta didik cakupannya sangat luas, tidak hanya melibatkan anak-anak tetapi mencakup orang dewasa.Sementara istilah anak didik hanya mengkhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak.Penyebutan peserta didik mengisyaratkan tidak hanya dalam pendidikan formal seperti sekolah, madrasah dan sebagainya tetapi penyebutan peserta didik dapat mencakup pendidikan non formal seperti pendidikan di masyarakat, majlis taklim atau lembaga-lembaga kemasyarakatan lainya. Lain halnya dengan Ahmad Tafsir berpendapat bahwa istilah untuk peserta didik adalah murid bukan pelajar, anak didik atau peserta didik. Beliau berpendapat bahwa pemakaian murid dalam pendidikan mengandung kesungguhan belajar, memuliakan guru, keprihatinan guru terhadap murid. Dalam konsep murid ini terkandung keyakinan bahwa mengajar dan belajar itu wajib, dalam perbuatan mengajar dan belajar terdapat keberkahan tersendiri. Pendidikan yang dilakukan oleh murid dianggap mengandung muatan profane dan transcendental.(Haris Hermawan, 2009:182).
Abdullah Nashih Ulwan (Rahardjo, 1999:59) mengatakan peserta didik adalah objek pendidikan.Ia merupakan pihak yang harus di didik, dibina dan dilatih untuk mempersiapkan menjadi manusia yang kokoh iman dan Islamnya serta berakhlak mulia. Beliau lebih lanjut mengatakan keberhasilan dalam merealisasikan tujuan pendidikan secara optimal, faktor anak didik harus menjadi perhatian. Dalam hal ini, peserta didik perlu dipersiapkan sedemikian rupa, agar tidak mengalami banyak hambatan dalam menerima ajaran tauhid dan nilai-nilai kemuliaan lainnya. Seperti yang kita tahu bahwasanya potensi itu merupakan hidayah dari Allah SWT,jadi hidayah seperti apakah yang termasuk kedalam potensi?, bagaimana cara kita untuk mendapatkan hidayah tersebut?, sedangkan pada zaman sekarang banyak orang” yang berilmu tetapi tidak dapat menerapkan ilmu dalam kehidupan sehari-hari nya,apakah mereka itu termasuk orang-orang yang menolak hidayah?. Seharusnya kita sebagai umat Islam sebaiknya menerapkan ilmu di dalam kehidupan sehari-hari,karena ilmu termasuk hidayah dari Allah SWT.
BACA : Ratusan Sahabat PJS dan KSA Sukseskan Milad Mas Andre Hariyanto dan Sharing Santai
Peserta Didik Dalam Perspektif Umum Dan Islami
Dalam bahasa Indonesia digunakan beberapa istilah yang mengisyarat seseorang adalah peserta didik seperti: anak didik, murid, siswa dan mahasiswa. Penggunaan istilah tersebut seringkali dikaitkan dengan jenjang pendidikan, namun istilah yang umum adalah peserta didik yang bukan saja cocok untuk semua jenjang pendidikan, tetapi digunakan pula untuk pendidikan orang dewasa, misalnya antara lain ketika seseorang mengikuti pendidikan dan latihan tingkat tinggi untuk bidang keahlian khusus bagi seorang pimpinan institusi pemerintah dan sebagainya. Dalam bahasa Arab digunakan istilah telmidz, talamidz atau thalib, yang menggambarkan seseorang sedang menuntut ilmu atau menempuh pendidikan. Siapakah sesungguhnya peserta didik itu?jawaban sederhananya yaitu setiap sumber daya manusia yang memerlukan pendidikan. Makna memerlukan pendidikan tidak hanya diartikan bahwa yang bersangkutan memiliki pemahaman dan kesadaran untuk memperoleh suatu pendidikan atau terdaftar/ tercatat di lembaga pendidikan, namun lebih jauh lagi adalah setiap orang, setiap anak atau setiap sumberdaya manusiayang menurut konstitusi (yuridis), kultural, sosial dan individual seharusnya memperoleh pendidikan. Pasal 1 ayat 6 Undang Undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan pengertian peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Pada pasal 6 ayat (1) undang-undang yang sama lebih tegas lagi dikatakan, setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahunwajib mengikuti pendidikan dasar. (Ahmad Syar’i, 2020:99).
Selanjutnya pasal 34 ayat (2) menyebutkan, Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.Pendidikan dasar dimaksud terdiri dari SD/MI dan SMP/MTs atau sederajat, yang berlangsung selama sembilan tahun. Menyimak kandungan tiga ayat pada tiga pasal UU nomor 20 tahun 2003 tersebut, dapat dimaknai bahwa peserta didik adalah setiap warga negara Indonesia yang minimal berumur tujuh tahun tanpa mempersoalkan apakah mereka terdaftar dan sedang mengikuti pendidikan atau belum / tidak sedang mengikuti pendidkan di lembaga pendidikan tertentu. Sesungguhnya arti wajib mengikuti pendidikan bagi warga negara yang telah berumur tujuh tahun ke atas, nagara atau pemerintah / pemerintah daerah melaksanakan kewajibannya memberikan pendidikan kepada mereka tanpa menunggu apakah warga negara tersebut mau atau tidak mau sekolah atau terdaftar / tidak terdaftar di sekolah. Mestinya begitu warga negara memasuki usia tujuh tahun secara otomatis dia terdaftar dan menjadi peserta didik. Pemerintah langsung memanggilnya untuk mengikuti pembelajaran bahkan lembaga pendidikannyapun sudah ditentukan. Tidak ada lagi istilah diseleksi, mendaftar dan sebagainya karena sesungguhnya bahkan seharusnya data usia warga negara sudah ada pada pemerintah, tinggal sistem koodinasi dan sistem keterpaduan data. Istilah peserta didik tidak hanya diartikan mereka yang masih berusia muda atau mereka yang secara biologis sedang tumbuh dan berkembang, atau belum dewasa baik fisik/jasmaniah maupun moral/ rohaniah, tetapi setiap mereka atau warga negara yang masih memerlukan bidang keahlian atau keterampilan tertentu juga pesrta didik. Selanjutnya dikemukakan pengertian peserta didik dilihat dari aspek konstitusi (yuridis), kultural, sosial dan individual, sebagai berikut:1. Secara konstitusional (yuridis) pengertian peserta didik khususnya pendidikan di jalur formal/ sekolah adalah setiap Warga Negara Indonesia yang berusia 7 sampai dengan 15 tahun, yang seharusnya, memperoleh pendidikan, dan/atau terdaftar di lembaga-lembaga pendidikan tingkat dasar seperti SD/MI atau MTs/SMP dengan lama pendidikan/belajar sembilan tahun dan menjadi tanggung jawab pemerintah atau negara. Hal ini sebagaimana ditetapkan dalam pasal 6 ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 47 Tahun 2008.
Dengan demikian, tidak dipermasalahkan lagi bahwa seorang warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun, apakah secara individual yang bersangkutan berminat/ mau, tidak berminat/ tidak mau mengikuti pendidikan, tetapi pemerintah harus menyelenggarakan pendidikan bagi mereka karena sesungguhnya mereka adalah peserta didik.2. Dari sisi kultural, seorang warga negara dianggap menjadi peserta didik, ketika kultur dimana mereka berada mengharuskan mereka menjadi peserta didik pada bidang tertentu sesuai tuntunan kultur dimaksud. Misalnya ketika kultur masyarakat pantai yang mengharuskan setiap warga negara yang bertempat-tinggal di wilayah pantai terampil menggunakan sampan, maka secara otomatis warga negara atau anak tersebut menjadi peserta didik dalam arti belajarketerampilan mengayuh sampan.3. Dilihat dari aspek sosial (interaksi sosial), di mana karena tuntutan kehidupan sosial, mau tidak mau, seorang warga negara harus memiliki kemampuan tertentu agar bisa berinteraksi sosial, sehingga mengharuskannya menjadi peserta didik pada bidang kemampuan yang dibutuhkannya tersebut. Misalnya ketika seseorang tinggal di lingkungan komunitas atau masyarakat yang menggunakan bahasa Dayak, maka secara otomatis warga negara atau anak tersebut harus menjadi peserta pendidikan atau pembelajaran bahasa Dayak dalam arti belajar keterampilan berbahasa Dayak.4. Secara individual, seorang warga negara dianggap peserta didik, jika yang bersangkutan betul-betul mau, berminat bahkan terdaftar di institusi pendidikan tertentu. Jadi ukurannya adalah pernyataan yang bersangkutan bahwa dia berminat dan membutuhkan pendidikan, sehingga terdaftar di lembaga pendidikan.
Abuddin Nata (1997) menyebutkan, anak didik dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan. Dalam pandangan Islam, setiap umat Islam tanpa mempersoalkan usia, jenis kelamin dan bidang yang dipelajari adalah peserta didik, kerena menurut hadits Nabi Muhamaad SAW menuntut ilmu itu kewajiban sepanjang masa setiap umat Islam sejak lahir hingga meninggal dunia. Dengan demikian setiap waktu umat Islam menuntut ilmu, yang berarti setiap saat mereka adalah peserta didik. (Ahmad Syar’i, 2020:102).
Esensi Peserta Didik
Wujud Silaturahmi, Ratusan Sahabat Mas Andre Hariyanto – SMAH Semarakan Milad Mubarak Dibalut Sharing Santai. Foto: Panitia dan Pengurus (SUARA UTAMA)
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah anak yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun pikologis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan .Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik belum dewasa yang memerlukan orang lain untuk menjadi dewasa.Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sebelah, anak-anak penduduk adalah peserta didik masyarakat sekitarnya, dan anak-anak umat beragama menjadi peserta didik rohaniwan agama. (Syamsul Kurniawan, 2020:124).
Anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didik sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.Dalam pandangan modern, anak didik tidak hanya dianggapsebagai obyek atau sasaran pendidikan, melainkan juga harus diperlakukan sebagai subyek pendidikan, dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah dalam proses belajar mengajar. Dengan demikian, peserta didik adalah orang yang memerlukanpengetahuan, ilmu, bimbingan dan pengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seni orang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau menghiasi diri dengan akhlak yang mulai yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.Berdasarkan hal itu, muncul suatu aturan normatif tentang perlunya kesucian jiwa sebagai seorang yang menuntut ilmu, karena ia sedang mengharapkan ilmu yang merupakan anugerah Allah. Ini menunjukkan pentingnya akhlak dalam proses pendidikan, di samping pendidikan sendiri adalah upaya untuk membina manusia agar menjadi manusia yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi seluruh alam. Dalam paradigma Pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan)dasar yang masih perlu dikembangkan. Disini, peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi ruhaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Berikut ini akan diuraikan pengertian peserta didik dari sudut pandang Pendidikan Islam, yaitu:1. Muta’allim adalah orang yang sedang diajar atau orang yang sedang belajar.Muta’allim erat kaitannya dengan mu’allim karenamu’allim adalah orang yang mengajar, sedangkan muta’allim adalah orang yang diajar. Kewajiban menuntut ilmu atau belajar sesuai dengan dengan firman Allah Swt yang artinya: “Dan bertanyalah kepada orang-orang yg berilmu jika kalian tidak mengetahui.” Dan Sabda Rasulullah SAW: “Menuntut ilmu adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan”.2. Mutarabbi adalah orang yang dididik dan orang yang diasuh dan orang yang dipelihara. Defenisi Mutarabbi adalah lawan dari defenisi murabbi yaitu pendidik, pengasuh.Sedangkan mutarabbi adalah yang dididik dan diasuh.3. Muta’addib adalah orang yang yang diberi tata cara sopan santun atau orang yang dididik untuk menjadi orang yang baik dan berbudi. Muta’addib juga berasal dari muaddib yang artinya mendidik dalam hal tingkah laku peserta didik. Jadi, mutaaddib adalah orang yang diberi pendidikan tentang tingkah laku. (Salminawati, 2016:139).
Secara etimologi peserta didik dalam bahasa arab disebut dengan Tilmidz jamaknya adalah Talamidz, yang artinya adalah “murid”, maksudnya adalah “orang-orang yang mengingini pendidikan”. Dalam bahasa arab dikenal juga dengan istilah Thalib, jamaknya adalah Thullab, yang artinya adalah “mencari”, maksudnya adalah “orang-orang yang mencari ilmu”.Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan,perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran. Peserta didik merupakan raw material atau bahan mentah dalam proses transformasi pendidikan. Dalam undang-undang No. 20 tahun 2003, di jelaskan bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Peserta didik diartikan dengan orang yang telah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan dan pengarahan.Abu Ahmadi menjelaskan bahwa peserta didik adalah orang yang belum dewasa, yang memerlukan usaha, bantuan, bimbingan orang lain untuk menjadi dewasa, guna dapat melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Tuhan, sebagai umat manusia, sebagai warga Negara, sebagai anggota masyarakat dan sebagai suatu pribadi atau individu.Dalam paradigma Pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan)dasar yang masih perlu dikembangkan. Disini, peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi ruhaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan. (Salminawati, 2016 : 139).
Namun,dalam peserta arti khusus didik adalah – dalamseluruh perspektif al-Insan, al-Basyar,falsafah pendidikanIslami atau Bany Adam yang sedang berada dalam proses perkembangan menuju kepada(al-Insan kesempurnaan al-Kamil). ini memberi Terma atau makna suatu al-Insan, kondisi bahwa al-Basyar, kedirian yang dipandang atau peserta didik itu tersusun dari unsur-unsur jasmani, ruhani, dan memiliki kesamaan universal, yakni sebagai makhluk yang diturunkan atau dikembangbiakkan dari Adam a.s. Kemudian, terma perkembangan dalam pengertian ini berkaitan dengan proses mengarahkan kedirian peserta didik, baik diri fisik (jismiyah) maupun diri psikhis (ruhiyah) – ‘aql, nafs, qalb – agar mampu menjalankan fungsi-fungsinya secara sempurna. Misalnya, ketika dilahirkan, fisik manusia dalam keadan lemah dan belum mampu di fungsikan secara maksimal. Sebagai contoh, tangan belum mampu mengambil atau memegang benda dan kaki belum mampu melangkah atau berjalan. Demikian juga, ketika dilahirkan dari rahim ibunya, ‘aql manusia belum dapat difungsikan untuk menalarbaik-buruk atau benar-salah. Melalui proses ta’lim, tarbiyah, atau ta’dib, secara bertahap, ‘aql manusia diasah, dilatih, dan dibimbing melakukan penalaran yang logis atau rasional, sehingga ia mampu menyimpulkan baik-buruk atau benarsalah. Demikian juga nafs, ketika manusia dilahirkan dari rahim ibunya, ia hanya cenderung pada pemenuhan kehendak atau kebutuhan jismiyah, terutama makan-minum. Melalui proses ta’lim, tarbiyah, atau ta’dib, nafs manusia dilatih dan dibimbing untuk melakukan pengendalian, pemeliharaan, dan pensucian diri. Akan halnya qalb, ketika manusiadilahirkan dari rahim ibunya, ia hanya potensi laten yang belum mampu menangkap cahaya (al-nur) dan memahami kebenaran (al-haqq). Kemudian, melalui proses ta’lim, tarbiyah, atau ta’did, qalb manusia dibimbing sehingga mampu menangkap cahaya (al-nur) dan memahami kebenaran (al-haqq) serta hidup sesuai dengan cahaya dan kebenaran tersebut.
Dalam pengertian di atas, yang dimaksud dengan kesempurnaan adalah suatu keadaan dimana dimensi jismiyah dan ruhiyah peserta didik, melalui proses ta’lim, tarbiyah, atau ta’dib, diarahkan secara bertahap dan berkesinambungan untuk mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuan mengaktualisasikan seluruh daya atau kekuatannya (quwwah al-jismiyah wa al- ruhiyah). Dalam perspektif ini,secara sederhana,kesempurnaan dimensi jismiyah adalah suatu kondisi dimana seluruh unsur atau anggota jasmani manusia mencapai tingkatan terbaik dalam kemampuannya melakukan tugas-tugas fisikal-biologis, seperti bergerak, berpindah, dan melakukan berbagai aktivitas fisikal lainnya. Demikian pula halnya dengan kesempurnaan dimensi ruhiyah.Dalam makna ini, ‘aql, nafs, dan qalb peserta didik mencapai tingkatan terbaik dalam berpikir atau menalar (al-‘aql al-mustasyfad), dalam mengendalikan dan mensucikan diri (al-naf’s al-muthmainnah), dan dalam menangkap cahaya dan memahami kebenaran (qalb al-salim).
Berdasarkan pengertian di atas, dalam perspektif falsafah pendidikan islami, pada hakikatnya semua manusia adalah peserta didik. Sebab, pada hakikatnya semua manusia adalah makhluk yang senantiasa berada dalam proses perkembangan menuju kesempurnaan atau suatu tingkatan yang di pandang sempurna, dan proses itu berlangsung sepanjang hayat. Sebab, sesuai dengan naturnya sebagai realitas relatif – manusia adalah makhluk yang tidak pernah ‘sempurna’. Semua manusia berada dalam proses menuju kesempurnaan atau suatu tingkatan yang dipandang sempurna. Untuk itu, semua manusia harus belajar dan membelajarkan diri. Karenanya, nabi Saw menegaskan: tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahad. Itu artinya, manusia harus menjadi peserta didik atau pembelajar sepanjang masa kehidupannya. (A.W Munawir, 1997 : 138).
Dalam tradisi pendidikan Islam, ada beberapa ungkapan populer yang digunaka untuk menyebut peserta didik, di antaranya murid, thalib al-‘ilm (jamaknya al-tullab), dan tilmidz (jamaknya talamidz). Terma murid berarti orang yang memerlukan atau membutuhkan sesuatu, dalam hal ini pendidikan.
Kemudian terma tilmidz diartikan juga murid, yaitu orang yang berguru kepada seseorang untuk mendapatkan pengetahuan. Sedangkan terma th?lib al-‘ilm berasal dari kata thalab yang berarti pencari, penuntut, atau pelamar, dan ilm yang bermakan pengetahuan. Dengan demikian, thalib al-‘ilm berarti pencari atau penuntut ilmu.Namun, dalam arti teknis, istilah thalib al-‘ilm -sering digunakan untuk menyebut para pelajar pada tingkat pendidikan menengah atau mahasiswa di perguruan tinggi. Selain istilah-istilah diatas, merujuk pada nomenklatur Islam, muta’allim, atau mutaaddib juga merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut peserta didik. Ketiga istilah ini pada hakikatnya melekat dalam diri setiap manusia yang sedang berada dalam proses pertumbuhan atau perkembangan menuju tingkat kesempurnaan atau sesuatu yang dipandang sempurna, manusia yang sedang dan terus berada dalam proses membelajarkan diri, atau manusia yang sedang berada dan terus berproses membentuk watak, sikap, dan karakter kediriannya sebagai al-ins, al-basyar, atau bani Adam.
Mutarabbi adalah peserta didik dalam arti manusia yang senantiasa membutuhkan pendidikan, baik dalam arti pengasuhan dan pemeliharaan fisik-biologis, penambahan pengetahuan dan keterampilan, tuntunan dan pemeliharaan diri, serta pembimbingan jiwa. Dengan pendidikan itu, mutarabbi pada akhirnya mampu melaksanakan fungsi dan tugas penciptaannya oleh Allah Swt, Tuhan Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pendidik alam semesta. Dalam Islam, hakikat ilmu itu berasal dari Allah Swt dan Dia sendiriadalah al-Alim. Karenanya, sebagai muta’allim, peserta didik adalah manusia yang belajar kepada Allah Swt, mempelajari al-asm?’ kullah yang terdapat pada ayat-ayat kauniyah dan quraniyyah untuk sampai pada pengenalan, peneguhan, dan aktualisasi syahadah primordial yang telah diikrarkannya di hadapan Allah Swt. Inilah hakikat muta’allim dalam perspektif falsafah pendidikan islami. Kemudian, dalam perspektif falsafah pendidikan islami, mutaaddib adalah semua manusia yang senantiasa berada dalam proses mendisiplinkan adab ke dalam jism dan ruh-nya. Dalam konteks jism, dengan bantuan dan bimbingan muaddib, mutaadib berupaya mendisiplinkan adab ke dalam diri jasmani dan seluruh unsur atau bagiannya. Demikian pula, dalam konteks ruh, melalui bantuan dan bimbingan muaddib, mutaaddib berupaya mendisplinkan akal (aql), jiwa (nafs), dan hatinya (qalb) dengan adab. Dalam Islam, esensi adab adalah akhlaq, yaitu syari’at yang menata idealitas interaksi atau komunikasi antara manusia dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dengan makhluk lainnya atau alam semesta, dan dengan Tuhan Maha Pencipta, Pemelihara, dan Pendidik semesta alam. (Dar al-sahnun, 1997:120).
BACA : Kebijakan Dalam Pendidikan Islam
Tugas Dan Tanggung Jawab Peserta Didik
Agar pelaksanaan proses Pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang dinginkan, maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya. Menurut Asma Hasan Fahmi, diantara tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi peserta didik adalah : 1.Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu; 2.Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan; 3.Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu di berbagai tempat;4.Setiap peserta didik wajib menhormati pendidiknya;5. Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh – sungguh dan tabah dalam belajar. Selanjutnya Al-Abrasyi menyatakan, bahwa diantara tugas peserta didik dalam pendidikan islam adalah: 1. Sebelum belajar ia hendaknya terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang buruk; 2. Niat belajar hendaknya ditujukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai fadhilah;3. Hendaknya bersedia meninggalkan keluarga dan anah air untuk mencari ilmu ke tempat yang jauh sekalipun;4. Memaafkan guru apabila mereka bersalah, terutama dalam menggunakan lidahnya;5. Peserta wajib saling mengasihi dan menyayangi di antara sesamanya, sebagai wujud memperkuat rasa persaudaraan. (Rahmat Hidayat, 2016 : 137).
Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar-mengajar, peserta didik adalah pihak yang ingin meraih citacita dan memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Jadi, dalam proses belajar-mengajar yang perlu diperhatikan pertama kali adalah peserta didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lain,seperti bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat dan fasilitas apa yang cocok dan mendukung. Semua itu harus disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik peserta didik.Itulah sebabnya peserta didik merupakan subjek belajar.
Menurut Ahmadi, ada beberapa tugas peserta didik dalam Pendidikan Islam yaitu:1.Mememahami dan menerima keadaan jasmani;2. Memperoleh hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya;3. Mencapai hubungan yang lebih “matang” dengan orang dewasa;4. Mencapai kematangan Emosional;5. Menuju kepada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan finansial;6. Mencapai kematangan intelektual;7. Membentuk pandangan hidup.
Menurut Imam Al-Ghazali peserta didik memiliki sepuluh poin kewajiban: 1.Peserta didik memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu itu bentuk peribadatan hati, shalat ruhani dan pendekatan batin kepada Allah;2. Peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan seyogyanya berkelana jauh dari tempat tinggalnya;3. Peserta didik tidak membusungkan dada terhadap orang alim(guru), melainkan bersedia patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya;4. Peserta didik hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi;5. Peserta didik tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplin ilmu tersebut;6. Peserta didik dalam usahanya mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting;7. Peserta didik tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya;8. Peserta didik hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia9. Tujuan peserta didik dalam menuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya;10. Peserta didik mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus di prioritaskan. (Salminawati, 2016:143).
Ibnu Khaldun berpandangan terhadap peserta didik tidak terlepas dari konsepsinya terhadap hakikat manusia. Ibn Khaldun mengakui adanya perbedaan masingmasing peserta didik (individual different). Perbedaan tersebut tentunya dilatarbelakangi oleh tingkat kemampuan berpikirnya, lingkungan geografisnya dan kondisi mentalnya.
Ibn Khaldun menulis nasihat yang ditujukan pada para pelajar. Adapun isi nasihat tersebut adalah:1. Peserta didik hendaknya memahami bahwa semua kemampuan yang ada pada diri adalah semata-mata anugerah dari Allah. Nasehat ini mengajarkan kepada peserta didik agar tidak sombong dalam menuntut ilmu, apalagi ketika telah dianggap mampu atau ahli dalam bidang ilmu tertentu.2. Peserta didik hendaknya tidak mengangung-agungkan logika, sebab logika hanya alat untuk mencari pengetahuan. Ibn Khaldun menegaskan bahwa fungsi logika mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, akan tetapi logika bukan satu-satunya yang menentukan untuk menemukan suatu kebenaran. Nasihat ini mengajarkan kepada peserta didik untuk memahami logika yang bersifat relative. Kebenaran mutlak milik Allah Swt dan ilmu bisa diberikan kepada Allah tanpa harus menggunakan logika semata.3. Setiap pelajar harus mencapai tujuan pendidikan, meskipun dihadapkan kepada berbagai macam rintangan. Salah satu rintangan yang disebutkan oleh Ibn Khaldun ialah sulitnya memahami ide-ide yang terkandung dalam bahasa lisan dan tulisan. Nasihat ini mengajarkan agar setiap pelajar harus bersungguh-sungguh dan optimis dalam belajar serta semua itu tidak terlepas dari adanya petunjuk Allah Swt dengan demikian, jangan berhenti sebelum sampai kepada tujuan yang diharapkan.4. Jangan ragu-ragu dalam mencari kebenaran atas menuntut ilmu sebab keragu-raguan akan membuat pelajar gagal dalam mencapai tujuan. Pesan ini mengajak peserta didik untuk istiqomah dalam berupaya memperoleh suatu kebenaran.5. Apabila seorang pelajar mengalami kebimbangan dan kesukaran untuk menemukan kebenaran, maka tinggalkanlah berpikir secara logik yang relatif itu. (Rahmayani Siregar, 2021:157).
Tujuan dari setiap proses pembelajaran adalah menta’lim, mentarbiya, atau menta’dibkan al-‘Ilm ke dalam diri setiap peserta didik. Al-‘ilm yang akan ditalim, ditarbiyah, atau dita’dibkan tersebut adalah al-Haqq, yaitu semua kebenaran yang datang dan bersumber dari Allah Swt, baik yang didatangkan-Nya melalui nabi dan rasul, (al-ayah al-quraniyah), maupun yang dihamparkan-Nya pada seluruh alam semesta, termasuk diri manusia itu sendiri (al- ayah al-kauniyah). Al- ‘ilm tersebut merupakan penunjuk jalan bagi peserta didik untuk mengenali dan meneguhkan kembali syahadah primordialnya terhadap Allah Swt sehingga la mampu mengaktualisasikannya dalam kehidupan keseharian.Karenanya, dalam konteks ini, tugas utama setiap peserta didik adalah mempelajari al-‘ilm dan mempraktikkan atau mengamalkannya sepanjang kehidupan. Berkenaan dengan tugas utama yang harus dilakukan peserta didik ini, Rasulullah Saw melalui salah satu hadis menegaskan: menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap Muslim dan Muslimat.
Proses menuntut atau mempelajari al-‘ilm itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti membaca, baik yang tersurat maupun yang tersirat; mengeksplorasi, meneliti, dan mencermati fenomena diri, alam semesta, dan sejarah umat manusia; berkontemplasi, berpikir, atau menalar; berdialog, berdiskusi atau bermusyawarah; mencontoh atau meneladani; mendengarkan nasehat, bimbingan, pengajaran, dan peringatan; memetik ‘ibrah atau hikmah; melatih atau membiasakan diri, dan masih banyak lagi aktivitas belajar lainnya yang harus dilakukan setiap peserta didik untuk meraih al-‘ilm dan mengamalkannya dalam kehidupan. Seluruh aktivitas pembelajaran sebagaimana dipaparkan di atas wajib ditempuh atau dilakukan peserta didik dalam proses belajar atau menuntut al-‘ilm. Karenanya, peserta didik tidak boleh mencukupkan aktivitas belajarnya pada satu aktivitas saja. Dalam berbagai surah, Al-Qur’an senantiasa menyeru manusia untuk berpikir, mengingat, membaca, mengambil pelajaran, memetik hikmah, bereksplorasi, bertadabbur, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan agar peserta didik mengembangkan potensi jismiyah dan r?hiyahnya sehingga mampu diberdayakan dalam rangka aktualisasi diri sebagai makhluk yang bersyahadah kepada Allah Swt, beribadah secara tulus ikhlas hanya kepada-Nya, dan menjadi khalifah atau pemimpin dan pemakmur kehidupan di bumi. ( Dar al-sahnun, 1997:120).
BACA : Belajar Event Organizer dengan Pakar EO Mas Andre Hariyanto di AR Learning Center
Berkenaan dengan tanggung jawab, dalam perspektif falsafah pendidikan islami,tanggung jawab utama peserta didik adalah memelihara agar semua potensi yang dianugerahkan Allah Swt kepadanya dapat diberdayakan sebagaimana mestinya. Dimensi jismiyah wajib dipelihara, agar secara fisikal peserta didik mampu melakukan aktivitas belajar, meskipun harus melakukan rihlah ke berbagai tempat.Demikian pula, dimensi ruhiyah juga wajib dipelihara, agar bisa difungsikan sebagai energi atau kekuatan untuk melakukan aktivitas belajar. Ketika peserta didik tidak mampu memelihara dimensi jismiyah dan ruhiyahnya, maka energi, daya, atau kemampuan membelajarkan diri akan terganggu, bahkan bisa menjadi tidak mampu. Karenanya, sebagaimana juga dikemukakan Nata, agar tetap mampu melakukan aktivitas belajar, setiap peserta didik memerlukan kesiapan fisik yang prima, akal yang sehat, pikiran yang jernih, dan jiwa yang tenang.Untuk itu, perlu adanya upaya pemeliharaan dan perawatan secara sungguh-sungguh semua potensi yang bisa digunakan untuk belajar atau menuntut ilmu pengetahuan. (Abudin Nata, 1997:82).
Athiyah al-Abrasyi mengemukakan bahwa kewajiban-kewajiban yang harus senantiasa dilakukan peserta didik adalah:1. Sebelum memulai aktivitas pembelajaran harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari sifat yang buruk, karena belajar-mengajar itu merupakan ibadah dan ibadah harus dilakukan dengan hati yang bersih.2. peserta didik belajar harus dengan maksud mengisi jiwanya dengan berbagai keutamaan untuk mendekatkan diri kepada Allah.3. Bersedia mencari ilmu keberbagai tempat yang jauh sekalipun, meskipun harus meninggalkan keluarga dan tanah air.4. Tidak terlalu sering menukar guru, dan hendaklah berpikir panjang sebelum menukar guru.5. Hendaklah menghormati guru, memuliakan, dan mengagungkannya karena Allah serta berupaya menyenangkan hatinya dengan cara yang baik.6. Jangan merepotkan guru, jangan berjalan di hadapannya, jangan duduk di tempat duduknya, dan jangan mulai bicara sebelum diizinkan guru.7. Jangan membukakan rahasia kepada guru atau meminta guru membukakan rahasia, dan jangan lupa menipunya.8. Bersungguh-sungguh dan tekun dalam belajar.9. Saling bersaudara dan mencintai antara sesama peserta didik.10. Peserta didik harus terlebih dahulu memberi salam kepada guru dan mengurangi percakapan di hadapan guru.11. Peserta didik hendaknya senantiasa mengulangi pelajaran, baik diwaktu senja dan menjelang subuh atau diantara waktu isya dan makan sahur.12. Bertekad untuk belajar seumur hidup. (M. Athiyah al-abrasyi, 1990:147-148).
Sifat Yang Harus Dimiliki Peserta Didik
Belajar bukanlah aktivitas yang mudah untuk dilakukan. Meskipun seorang peserta didik telah mendatangi sejumlah guru dan membaca banyak buku, namun hasil belajar yang baik belum tentu bisa dicapai. Belajar tidak hanya membutuhkan kehadiran, apalagi dalam arti fisik, tetapi juga kemauan, kasadaran, kesabaran, dan masih banyak lagi sifat-sifat lain yang idealnya dimiliki peserta didik. Dalam perspektif Islam, kepemilikan sifatsifat itu merupakan prasyarat untuk mempermudah jalannya proses pembelajaran, berhasilnya pencapaian tujuan, berkahnya ilmu pengetahuan, dan kemampuan mengamalkan ilmu dalam kehidupan. Dalam upaya mencapai tujuan Pendidikan Islam, peserta didik hendaknya memiliki dan menanamkan sifat-sifat yang baik dalam dari dan kepribadiannya. Diantara sifat-sifat ideal yang perlu dimiliki peserta didik misalnya;berkemauan keras atau pantang menyerah, memiliki motivasi yang tinggi, sabar, dan tabah, tidak mudah putus asa dan sebagainya.
Berkenaan dengan sifat ideal diatas, Imam Al-Ghazali, sebagaimana dikutip Fatahiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sifat-sifat ideal yang patut dimiliki peserta didik yaitu ; 1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah. Mempunyai ahklak yang baik dan meninggalkan yang buruk.2.Mengurangi kecendrungan pada kehidupan duniawi disbanding ukhrawi dan sebaliknya.3.Bersifat tawadhu‟ (rendah hati).4. Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan dan aliran.5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji baik ilmu umum dan agama.6. Belajar secara bertahap atau berjenjang dengan melalui pelajaran yang mudah menuju pelajran yang sulit.7. Mempelajari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih kepada ilmu yang lainnya.8. Memahami nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.9.Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan, serta memeberi keselematan dunia dan akhirat.(Rahmat Hidayat, 2016:147).
Ada beberapa sifat yang hendaknya dimiliki seorang peserta didik selaku penuntut ilmu dalam konteks dengan Allah Swt sebagai al-Alim‟, yaitu antara lain:1. Mentauhidkan Allah Swt, dalam arti mengakui dan meyakini bahwa semua ilmu pengetahuan bersumber dari-Nya. Di antara ilmu pengetahuan itu ada yang didatangkan-Nya melalui para nabi dan rasul, dan ada pula yang di hamparkan di alam semesta, termasuk dalam diri manusia. Semua itu merupakan al-ayah, yang manakala di dekati atau dipelajari akan mengantarkan manusia pada tanda-tanda keberadaan dan kemahakuasaan Allah Swt.2. Menyiapkan dan mensucikan diri, baik dari jasmani maupun ruhani, untuk dita‟lim, ditarbiyah, dan dita‟dib oleh Allah Swt. Sebab dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, pada hakikatnya Allah adalah sebagai al-Alim dn manusia adalah muta‟allim atau peserta didik sebagai al-Alim, karakter Allah Swt antara lain adalah Mengetahui dan Maha Suci. Oleh Karenanya, hanya diri jasmani dan ruhani yang memiliki kesiapan dan kesucian sajalah sebenarnya yang berpotensi menghampiri dan meraih al-Ilm.3 Peserta didik harus senantiasa mengharapkan keridlaan Allah Swt dalam aktivitasnya menuntut ilmu pengetahuan. Sebab, dalam perspektif falsafah pendidikan Islami, sebagai sesuatu yang datangnya dari Allah Swt, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai sampainya makna atau bentuk sesuatu ke dalam jiwa manusia atau pencari ilmu (husnul ma’na au shurah al-syai’fi al-nafs). Husnul atau proses sampainya ilmu pengetahuan adalah suatu keadaan dimana Allah Swt mencurahkan keridlaan dan kasih sayang-Nya kepada manusia sebagai pencari ilmu. Karenanya, tanpa keridlaan Allah Swt, al’ilm tidak akan dapat diraih manusia.4. Peserta didik harus senantiasa berdoa kepada Allah Swt agar ke dalam dirinya senantiasa ditambahkan ilmu pengetahuan. Sebab, hakikat kepemilikan ilmu pengetahuan adalah Allah Swt. 5. Setelah ilmu pengetahuan diraih, maka aktualisasi atau pengamalannya merupakan bentuk konkrit dari akhlak terpuji peserta didik terhadap Allah Swt. Sebab, sebagai al-Alim, Allah Swt adalah pemilik ilmu pengetahuan dan karena kemurahan dan kasih sayang-Nya, Dia mendatangkan atau memberikan ilmu pengetahuan itu kepada manusia. Ketika Dia telah mendatangkan atau memberikannya kepada si pencari ilmu, kemudian si pencari ilmu itu tidak mengamalkannya, maka sesungguhnya ia telah jatuh pada akhlak tercela, bahkan menzalimi dirinya sendiri. (Rahmayani, 2021:156).
Sesuai dengan karakter dasarnya, dalam Islam, ilmu itu datangnya dari al-Haq dan karenanya ia merupakan al-Nur atau cahaya kebenaran yang akan menerangi kehidupan para pencarinya. Sebagai al-Haq atau Yang Maha Benar, Allah Swt Maha Suci, dan kesucian-Nya hanya bisa dihampiri oleh yang suci pula.Karenanya, sifat utama dan pertama yang harus dimiliki peserta didik adalah mensucikan diri atau jiwanya (tazkiyah) sebelum menuntut ilmu pengetahuan. Pertanyaannya kemudian adalah, kenapa harus tazkiyah terlebih dahulu dan apa pula yang harus ditazkiyah?
Ketum Pemerhati Jurnalis Siber dan CEO Kak Sam Academy Rayakan HUT Sahabat Mas Andre Hariyanto/SMAH. Foto: Dok. Pribadi SMAH (SUARA UTAMA)
Dalam Islam, al-‘ilm yang harus di-ta’lim, di-tarbiyah, atau dita’dib kan ke dalam diri peserta didik adalah al-Nur (cahaya, kebenaran atau hidayah Allah). Agar al-‘ilm atau al- Nur tersebut bisa tertanam dan bersemi dalam diri dan kepribadian peserta didik, maka al-jism, al-‘aql, al-nafs, dan al-qalb-nya harus terlebih dahulu ditazkiyah, dibersihkan atau disucikan.Sebab, cahaya, kebenaran atau hidayah Allah Swt mustahil dapat ditanamkan dan bersemi dalam diri dan kepribadian seseorang yang al-jism, al-‘aql, al-nafs, dan al-qalb-nya masih kotor atau dicemari oleh dosa dan maksiat.Karenanya, sifat utama yang harus dimiliki seorang penuntut ilmu adalah senantiasa membersihkan atau mensucikan diri dari berbagai sifat dan perilaku maksiat yang bisa mengotori jasmani, pemikiran, jiwa, dan hatinya. Karena maksiat hanya akan mengotori jasmani, akal, jiwa, dan hati manusia sehingga membuatnya sulit dan terhijab dari cahaya, kebenaran, atau hidayah Allah Swt. Itulah sebabnya, mengapa para nabi dan rasul ditugaskan untuk melakukan proses pensucian (tazkiyah) terlebih dahulu sebelum menta’limkan al-Kitb, al-Hikmah, dan al-‘Ilm kepada umatnya. (Lihat kembali Q.S, al-baqarah[2]:151; Q.S, Ali ‘Imran[3]:164, dan Q.S, al-jumu’ah[62]:2).
Dari sisi jasmani, setiap peserta didik harus mampu mentazkiyah tubuhnya dari kotoran, najis, makanan dan minuman yang haram, serta dosa-dosa fisik lainnya.Peserta didik harus menjaga agar setiap kebutuhannya, makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain, semuanya dari bahan dan diperoleh lewat cara-cara yang halal dan bersih. (Hasan Asari, 2008:72).
Itulah pentingnya setiap orangtua memberikan nafkah yang halal – baik benda maupun cara memperolehnya kepada anak-anaknya, agar mereka kelak mudah membelajarjarkan diri atau menuntut ilmu pengetahuan. Itulah juga pentingnya orangtua memilihkan lingkungan hidup yang bersih bagi anakanaknya agar mereka tidak tercemari oleh kebiasaan-kebiasaan buruk yang berkembang di sekitar lingkungannya.Dari sisi ruhiyah, setiap peserta didik harus mampu membersihkanpemikiran, jiwa, dan hatinya sebelum menuntut ilmu pengetahuan. Dalam konteks ini, sebelum belajar atau membelajarkan diri, peserta didik harus membersihkan ‘aql, nafs, dan qalb-nya, agar ilmu yang dita lim, ditarbiyah, atau dita’d?bkan pendidik ke dalam dirinya bisa bersemi, terinternalisasi, tumbuh dan berkembang, dan menjadi bagian integral dari diri dan kepribadian mereka. Sebagai al-Nur, ilmu tidak akan bisa bersemi, terinternalisasi, atau tumbuhkembang dalam ruh yang masih kotor atau tercemari oleh noda, dosa, dan maksiat. Semua itu hanya menjadi penghalang (hijab) bagi masuknya ilmu ke dalam diri peserta didik. Itulah sebabnya, ketika suatu hari seorang peserta didik mengeluhkan sulitnya ia memahami dan menguasai ilmu kepada gurunya, sang guru pun menasehatinya: tinggalkanlah olehmu semua perbuatan ma’siat, karena sesungguhnya ilmu itu adalah cahaya Allah. Cahaya Allah tidak akan di datangkannya kepada orang-orang yang hidup dengan ma’siat. (Hasan Asari, 2008 : 73).
Para pakar pendidikan Islam selalu mensyaratkan agar peserta didik membersihkan hatinya dari berbagai kotoran sebelum menuntut ilmu.Ibn Jama’ah menegaskan agar peserta didik membersihkan hati dari kotoran, sifat buruk, aqidah keliru, dan akhlak tercela.Asma Hasan Fahmi menasehatkan agar peserta didik menjauhi sifat-sifat tercela, seperti dengki, benci, hasud, takabbur, menipu, berbangga-bangga, dan memuji diri sendiri. Sebaliknya, peserta didik harus menghisasi diri dengan akhlak mulia, seperti benar, taqwa, ikhlas, zuhud, merendah diri, dan ridha.( Asma Hasan Fahmi, 1979 : 176).
Sifat lainnya yang wajib dimiliki setiap peserta didik adalah sabar.Sabar adalah salah satu sifat yang sangat dipentingkan dalam membelajarkan diri atau menuntut ilmu pengetahuan. Tanpa kesabaran, ilmu tidak akan bisa diraih, apalagi diamalkan dan membentukkepribadian peserta didik. Qishah Khidir dan Musa yang diabadikan Allah Swt dalam al-Qur’an dapat dijadikan sebuah ilustrasi yang relevan dengan sifat sabar ini. Musa berkata kepada Khidir: “bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang diajarkan kepadamu?” Dia (Khidir) menjawab: “sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup kamu sabar besamaku. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”. Ketika Musa a.s menyampaikan maksudnya untuk menuntut ilmu kepada Khidir a.s, satu-satunya syarat yang diminta untuk dipenuhinya adalah kesabaran. Namun, dikarenakan ketidakmampuan Musa a.s dalam bersabar, maka ia tidak berhasil meraih ilmu yang dimiliki Khidir a.s. Karena ketidakmampuan berasabar itu, Khidir a.s menegaskan: Inilah perpisahan antara aku dan kamu . (Q.S, al-Kahfi[18]:78).
Setidaknya, ada dua hal penting yang bisa ditangkap dari kisah di atas.Pertama, kisah di atas menekankan pentingnya sifat sabar dalam menuntut ilmu pengetahuan.Kedua, perilaku sabar tidak dapat terinternalisasi secara instant ke dalam diri seorang peserta didik.Karenanya, meskipun tidak semudah mengatakannya, namun sifat sabar harus senantiasa dilatih dan dibiasakan sehingga tertanam di dalam jiwa peserta didik.
Dalam proses menutut ilmu, ikhlas dalam melakukan seluruh aktivitas belajar adalah sifat penting lainnya yang harus dimiliki setiap peserta didik. Dalam konteks ini, belajar bukanlah aktivitas yang dipaksakan atau memaksakan diri.Dalam perspektif Islam, belajar adalah ibadah. Ibadah tidak akan memiliki nilai bila dilakukan tanpa keikhlasan.Esensi ibadah adalah aktualisasi syahadah kepada Allah Swt dalam kehidupan. Karena setiap manusia telah mengikrarkan syahadah primordial akan keberadaan Tuhan, maka ia harus mengaktualisasikannya dalam kehidupan. Dalam atau membimbingnya, konteks ini, manusia baik memerlukan al-‘ilm yang dapat menunjuki dalam mengenali kembali maupun mengaktualisasi kehidupannya. Karenanya, dari sisi ini, semua manusia memerlukan ilmu pengetahuan,semua manusia memerlukan ilmu pengetahuan,dan sebab itu menuntut ilmu adalah kebutuhan dasar setiap manusia. Menghiasi diri dengan akhlak terpuji dan senantiasa berupaya menampilkan nilai-nilai praktis dari setiap ilmu yangdipelajari dalam kehidupan keseharian merupakan sifat pentinglainnyayang harus dimiliki setiap peserta didik.Akhlak terpuji dimaksud berkaitan sekaligus dengan diri sendiri, pendidik, ilmu, dan Allah Swt sebagai al-alim. Di antara akhlak terpuji yang berkaitan dengan diri sendiri dalam menuntut ilmu antara lain adalah memelihara akal pikiran,hati,dan jiwa dari ilmu berbagai antara perbuatan maksiat memelihara serta memelihara kebersihan dan kesehatan diri jasmani. Meluruskan niat untuk menuntut ilmu pengetahuan, ulet dan tabah, tekun, bersemangat, bersungguh-sungguh, disiplin, dan cermat, agar dimiliki setiap peserta didik dalam menuntut ilmu pengetahuan.
Kemudian, diantara akhlak terpuji yang berkaitan dengan pendidika adalah bahwa setiap peserta didik wajib memiliki etika akademik terhadap gurunya. Dalam konteks ini, sifat-sifat yang harus dimiliki peserta didik adalah menghormati, mematuhi, dan memuliakan guru, berperilaku sopan terhadapnya, bertutur kata yang baik dan lemah lembut, sabar dan bersungguh-sungguh dalam menerima pendidikan, pelatihan, dan pembimbingan darinya, dan mengikuti setiap perintah, nasehat, dan bimbingannya selama itu tidak menyuruh kepada kemusyrikan dan kemaksiatan.
Dalam konteks ilmu, di antara akhlak terpuji yang paling utama harusdimiliki setiap peserta didik adalah berupaya mengidentifikasi nilai-nilai praktis dari setiap ilmu yang dipelajarinya untuk kemudian’diamalkan dalam kehidupan keseharian. Dalam konteks ini, berpikir, bertindak, dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai dari setiap ilmu pengetahuan yang dipelajari merupakan wujud nyata akhlak peserta didik terhadap ilmu pengetahuan. Dalam Islam, ilmu pengetahuan menuntut pengamalan dari setiap orang yang memilikinya. Selain itu, sifat terpuji yang harus dimiliki peserta didik terhadap ilmu pengetahuan adalah menyebarluaskan atau mengajarkannya kepada orang lain yang tidak atau belum mengetahuinya. Itulah sebabnya, dalam Islam, menyembuyikan ilmu pengetahuan merupakan salah satu sifat tercela dan siapa saja yang beperilaku demikian akan mendapat hukuman dari Allah Swt. Berkenaan dengan ini, Raslullah Saw memperingatkan: Barang siapa yang ditanyai tentang suatu ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, maka Allah Swt akan mempersiapkan tempat duduknya di dalam neraka. (Al Rasyidin, 2008:175-159).
Esensi Peserta Didik
Foto Dokumentasi Suhardi , Putri Meilisa, Siti Yohani, Riska Tamara, Esensi Peserta Didik.
Kesimpulan
Peserta didik merupakan unsur terpenting bagi terlaksanya kegiatan pendidikan. Sebab ia merupakan obyek dan sekaligus subyek dan mitra pendidikan, sehingga sehebat dan selengkap apapun unsur – unsur lainnya, jika peserta didik tidak ada atau tidak dipedulikan, maka dapat dipastikan kegiatan pendidikan tidak dapat terlaksana dan berjalan dengan baik. Diantara sifat – sifat yang harus dimiliki bagi peserta didik adalah bersikap tawadhu’ atau rendah hati, berhias dengan moral dan akhlaq yang baik, bersungguh – sungguh dan tekun belajar, saling mempererat tali persaudaraan, memiliki sifat tabah, dan wira’. Tugas dan tanggung jawab peserta didik diantaranya sebelum belajar hendaknya membersihkan hati dari sifat tercela, bersedia mencari ilmu walaupun meninggalkan keluarga, tempat jauh, bertekhad mencari ilmu sepanjang hayat, menjaga pikiran dari pernentangan aliran, mempelajari ilmu terpuji dan mendalam. Peserta didik dalam mencari ilmu harus memiliki etika yang baik diantaranya niat karena Allah, sopan – santun pada guru, ber akhlaq yang baik terhadap guru maupun temannya.