Penulis Oleh : Wei Indah Jawharah, Zaitun Husseina Nasution, Suhardi
Manajemen Pendidikan Islam, FITK, IAIDU Asahan Kisaran
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pendahuluan
Pendidikan Perguruan Tinggi Islam Perjalanan sejarah pendidikan Islam di Indonesia hingga Sekarang telah melalui tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak Kedatangan Islam yang ditandai dengan pendidikan Islam yang Terkonsentrasi di pesantren, dayah, surau atau masjid. Kedua, Periode ketika pendidikan Islam telah dimasuki oleh ide-ide Pembaruan pemikiran Islam pada awal abad ke-20. Periode ini Ditandai dengan lahirnya madrasah yang telah memasukkan Pelajaran “umum” kedalam program kurikulumnya. Ketiga, Periode lahirnya perguruan tinggi Islam negeri dan pendidikan Islam telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam semakin Memperhatikan dinamikanya sejak Indonesia merdeka. Lahirnya Perguruan tinggi Islam inilah yang kemudian melahirkan Sejumlah terobosan yang luar biasa, karena lembaga pendidikan Tinggi Islam ini melahirkan sejumlah ilmuan Islam modern di Kemudian hari. Perguruan tinggi agama Islam di Indonesia masih Dianggap sebagai lembaga pendidikan yang menempati urutan Terakhir setelah perguruan tinggi yang dimiliki kalangan katolik. Kenyataan ini sungguh memprihatinkan terutama ditinjau dari Perspektif umat Islam di Indonesia sebagai populasi terbesar di negeri khatulistiwa ini (Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan: 2012: 116).
Hal ini secara sepintas dapat dipahami bahwa umat Islam di Indonesia ternyata tidak mampu mengembangkan perguruan tinggi Islam yang memiliki daya Tarik di masyarakat dan memiliki daya saing dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi maju, yang berada di dalam negeri maupun luar negeri (Mujamil Qomar: 2015: 393).
Perguruan tinggi agama Islam di Indonesia memiliki dua jenis yaitu perguruan tinggi agama islam negeri (PTAIN) dan perguruan tinggi agama islam swasta (PTAIS). Perguruan tinggi agama Islam negeri (PTAIN) merupakan perguruan tinggi yang didanai oleh negara, tetapi asal muasalnya kebanyakan sebagai prakarsa dari tokoh-tokoh islam masa lampau. Biasanya, setiap kota yang memiliki PTN disitu juga ada PTAIN, di samping berada di kota-kota lainnya yang lebih kecil. Munculnya perguruan tinggi ini benar-benar dari bawah, atau prakarsa tokohtokoh Islam dan didukung oleh masyarakat. Masa awal pertumbuhan PTAIN tersebut juga dibiayai oleh masyarakat terutama tokoh tersebut, baru kemudian diambil alih pemerintah dan dinegerikan ( Mujamil Qomar: 2015: 383).
Pada perguruan tinggi agama islam swasta (PTAIS) kendala yang dihadapi semakin kompleks. Qomar menjelaskan bahwa kendala besar yang dihadapi PTAIS meliputi: kelemahan pendanaan, pengelolaan yang kurang professional, kepemilikan perguruan tinggi oleh pribadi atau keluarga tertentu, dan kelemahan semangat bersaing untuk membangun prestasi. Disamping itu, sikap pragmatis dari civitas akademika, kelemahan pelayanan dan persepsi negatif dari masyarakat terhadap PTAIS juga merupakan kendala yang sangat serius dalam pengembangan perguruan tinggi agama islam swasta. Maka kendala besar terhadap upaya memajukan perguruan tinggi agama Islam tersebut meliputi kelemahan pendanaan, pengelolaan yang kurang professional, pelemahan pelayanan, kepemilikan pribadi maupun keluarga, sikap pragmatis civitas akademika, prestasi negatif dari masyarakat dan kelemahan semangat bersaing membangun prestasi ( Mujamil Qomar: 2015: 407).
Menurut Azyumardi Azra, dilihat dari perspektif perkembangan nasional dan global, maka konsep paradigma baru bagi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia sudah merupakan sebuah keharusan. Hal ini akan mendukung eksistensi Perguruan Tinggi Islam (UIN, IAIN, STAIN) di masa yang akan datang (Azyumardi Azra: 1(2): 2018: 240). Dalam dasawarsa terkahir (1993) dunia perguruan tinggi Islam di Indonesia khususnya IAIN dan STAIN, menggeliat untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi secara lokal maupun global. Wujudnya adalah memperluas kewenangan yang telah dimilikinya selama ini, yang kemudian disebut dengan program “Wider Mandate” (Mandat yang diperuas) serta melakukan transformasi atau perubahan dari IAIN/STAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Perubahan IAIN menjadi UIN dan perubahan STAIN menjadi IAIN/UIN diharapkan mampu memberi peluang bagi rekonstruksi atau reintegrasi bangunan keilmuan, yang menjembatani ilmu-ilmu agama dan umum yang selama inidipandang secara dikotomis. Dengan demikian lulusan UIN, IAIN dan STAIN mampu bersaing dengan perguruan tinggi umum lainnya. Selain itu para alumni adalah orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan masyarakat.
Perguruan tinggi Islam di Indonesia mengalami perjalanan sejarah yang cukup panjang. Asal usulnya bisa dilacak dari pendirian STI di Yogyakarta (1945) yang kemudian ditingkatkan menjadi UII Yogyakarta (1948). Tahun 1951, Fakultas Agama UII berkembang menjadi PTAIN di Yogyakarta. Di samping itu, pada tahun 1957, di Jakarta didirikan ADIA. Tahun 1960, PTAIN dan ADIA diintegrasikan menjadi IAIN. Tahun 1997, sejumlah fakultas cabang IAIN ditingkatkan menjadi STAIN. Kemudian, sejak tahun 2002 hingga 2007, satu STAIN dan lima IAIN berkembang menjadi UIN. Hingga kini jumlah perguruan tinggi Islam negeri berkembang menjadi 6 UIN, 12 IAIN, dan 32 STAIN (H. Akh. Minhaji: 2: (2): 2007: 145).
Landasan Ideal Perguruan Tinggi Islam
Dasar merupakan landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu. Dasar pendidikan Islam didasarkan pada falsafah hidup umat Islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup suatu negara, sistem pendidikan Islam tersebut dapat dilaksanakan dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Ajaran itu bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, (sebagai landasan ideal), serta ijtihād. Sumber ini harus digunakan secara hirarkis. Al-Qur’an harus didahulukan. Apabila suatu ajaran atau penjelasan tidak ditemukan di dalam Al-Qur’an, maka harus dicari di dalam Sunnah, apabila tidak ditemukan juga dalam Sunnah, barulah digunakan ijtihād. Sunnah tidak bertentangan dengan Al-Qur’an, dan ijtihād tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah (M. Akmansyah:8 : (2): 2015: 128).
Terdapat dua sumber dalam pendidikan Islam yaitu Alqur’an Dan Sunnah. Sejak awal pewahyuan, Al-quran telah mewarnai jiwa rasul dan para sahabatnya yang menyaksikan turunnya kitab tersebut. Dengan demikian, ketika aisyah ditanya akhlak Rasulullah, ia menjelaskan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-qur’an (Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan: 2012: 33).
Landasan ideal pendidikan Islam menurut Zubaedi terdiri dari Landasan Al-Qur’an, sunnah, kata-kata sahabat (mazhab sahabi), Kemaslahatan masyarakat (masalihul mursalah), nilai-nilai dan adat Istiadat masyarakat (‘urf), dan hasil pemikiran muslim (ijtihad) (Zubaedi: 2012: 17-23).
Tugas dan Fungsi Direktorat DIKTIS
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama RI (PMA No. 42/2016), Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Direktorat PTKI) merupakan salah satu unit kerja yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang memiliki fungsi sebagai berikut: a). Perumusan kebijakan di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam; b). Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam; c). Peningkatan kualitas pendidikan karakter mahasiswa; d). Fasilitasi sarana dan prasarana serta pendanaan pendidikan tinggi keagamaan Islam; e). Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam; f). Fasilitasi pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan tinggi keagamaan Islam; g). Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam; h). Pelaksanaan evaluasi dan laporan di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam; i). Fasilitasi penilaian angka kredit fungsional dosen; dan j). Pelaksanaan administrasi direktorat.
Arah Kebijakan DIKTIS
Arah dan kebijakan pengembangan pendidikan tinggi keagamaan Islam fokus pada 4 (empat) aspek berikut, yaitu: a). Meningkatkan Akses Pendidikan Tinggi. Perkembangan lembaga Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) terus mengalami peningkatan. Saat ini jumlah PTKI ada sebanyak 896 yang diikuti dengan pertumbuhan jumlah mahasiswa mencapai 1.150.504 mahasiswa. Angka ini memberikan kontribusi sebesar 12,89% terhadap APK nasional yang mencapai 33,18%. Dilihat dari capaian, peningkatan akses di PTKI tidak begitu tinggi dikarenakan capaian APK nasional juga masih rendah. Oleh karena itu, peluang untuk meningkatkan akses masyarakat ke perguruan tinggi masih tinggi; b). Meningkatkan Kualitas Layanan PTKI. Peningkatan akses masyarakat dalam mengenyam pendidikan tinggi harus diiringi dengan jaminan bahwa mereka memperoleh layanan pendidikan yang berkualitas. Hal ini juga menjadi arah dan kebijakan pengembangan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam yang digagas oleh Direktorat PTKI. Peningkatan kualitas layanan PTKI ini ditandai dengan beberapa hal berikut: 1.) Semakin terpenuhinya penerima Beasiswa Bidikmisi/KIP Kuliah bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu; 2.) Banyaknya LTPK yang melakukan revitalisasi fungsi LPTK yang tidak hanya terbatas pada pemberian layanan pendidikan sarjana, tapi juga sebagai penyelenggara pendidikan profesi guru dan pusat pendidikan berkelanjutan bagi guru; 3.) Meningkatnya program studi PTKI yang memperoleh predikat A dan B; 4.) Meningkatnya PTKI yang memperoleh peringkat akreditasi internasional; 5.) Bertambahnya program studi yang menyelenggarakan kelas internasional; 6.) Meningkatkan sistem tata kelola Pendidikan Islam yang akuntabel dan sistem penjaminan mutu internal; c). Meningkatkan Mutu Dosen. Peningkatan mutu dosen PTKI juga menjadi salah satu fokus program strategis dalam arah dan kebijakan pengembangan pendidikan tinggi keagamaan Islam. Peningkatan mutu dosen ini ditandai dengan beberapa hal berikut: 1.) Meningkatnya dosen yang berpendidikan S3 pada PTKI; 2.) Bertambahnya dosen yang bergelar profesor pada PTKI; 3.) Meningkatnya jumlah dosen yang tersertifikasi; 4.) Meningkatnya produktivitas dosen dalam menghasilkan karya dan publikasi ilmiah; d). Produktivitas dan Inovasi PTKI. Akhir dari seluruh capaian kinerja program strategis Direktorat PTKI adalah peningkatan produktivitas dan realisasi program-program inovatif dalam tridharma pendidikan tinggi. Hal ini diharapkan akan berdampak pada meningkatnya daya saing dan reputasi PTKI di level nasional maupun internasional sebagai lembaga pendidikan tinggi yang memiliki keunggulan distingtif dibanding perguruan tinggi umum. Pada aspek ini capaian yang menjadi indikator keberhasilan meliputi: 1.) Meningkatnya jumlah jurnal yang terakreditasi nasional maupun internasional; 2.) Meningkatnya produk karya ilmiah yang berskala nasional dan internasional; 3.) Meningkatnya jumlah publikasi karya ilmiah dosen pada jurnal terindeks Scopus dan Sinta; 4.) Meningkatnya jumlah Hak Kekayaan Intelektual dan Hak Paten yang dihasilkan oleh dosen PTKI (https://diktis.kemenag.go.id).
Pengertian Manajemen Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan dan prasarana pendidikan tidaklah sama. Sarana pendidikan adalah semua fasilitas (peralatan, pelengkap, bahan, dan perabotan) yang secara langsung digunakan dalam proses belajar mengajar, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak agar pencapaian tujuan pendidikan dan berjalan dengan lancar, teratur, efektif, dan efesien, seperti: gedung, ruang kelas, meja kursi, serta alat-alat media pengajaran, perpustakaan, kantor sekolah, ruang osis, tempat parkir, ruang laboratorium. Adapun prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti: halaman, kebun atau taman sekolah, jalan menuju ke sekolah, tata tertib sekolah, dan sebagainya. Penekanan pada pengertian tersebut ialah pada sifatnya, sarana bersifat langsung dan prasarana bersifat tidak langsung dalam proses pendidikan ( Irjus Indrawan: 2015: 10).
Pengertian Manajemen sarana dan prasarana manajemen sarana prasarana adalah pengelolaan terhadap seluruh perangkat alat, bahan, dan fasilitas lainnya yang digunakan dalam sebuah proses kegiatan belajar mengajar sehingga proses kegiatan belajar bisa berjalan dengan efektif. Suharsimi Arikunnto (2002) menjelaskan bahwa sarana pendidikan memiliki beberapa klasifikasi yang bisa dibedakan sebagai berikut:
“Bangunan sekolah (tanah dan gedung) yang meliputi: halaman sekolah, ruang kelas, ruang guru, kantor ruang praktek, ruang tamu, ruang kepala sekolah, ruang perpustakaan, laboratorium, mushola, dan kamar kecil. Perabot sekolah yang meliputi: meja guru, meja murid, kursi, lemari, rak buku, sapu, dan kotak sampah”.
Menurut Ary. H. Gunawan (1996:14) dalam bukunya yang berjudul Administrasi Sekolah tentang Manajemen Sarana Prasarana bahwasanya Proses Belajar Mengajar (PBM) atau kegiatan Belajar Mengajar (PBM) akan semakin sukses apabila ditunjang dengan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, sehingga pemerintah yang selalu berupaya untuk secara terus-menerus melengkapi sarana dan prasarana pendidikan bagi seluruh jenjang dan tingkat pendidikan sehingga kekayaan fisik Negara yang berupa sarana dan prasarana pendidikan telah menjadi sangat besar. Agar sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan sekolah berfungsi optimal dalam mendukung pembelajaran disekolah, maka diperlukan warga sekolah (kepala sekolah, guru, dan tenaga administrasi) yang memahami dan mampu mengelola sarana dan prasarana pendidikan secara profesional. Hal ini sejalan dengan kebijakan yang telah digariskan oleh Kemdikbud tentang standar kompetensi yang harus dimiliki oleh warga sekolah. Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh warga sekolah adalah kompetensi manajerial sekolah yaitu kepala sekolah harus memiliki mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka pendayagunaannya secara optimal.
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat memberikan kontribusi secara optimal dan berarti pada jalannya proses pendidikan. Kegiatan pengelolaan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengadaan, pengawasan, penyimpanan inventarisasi dan penghapusan serta penataan (Ike Malaya Sinta: 4: (1): 2019: 80).
Manajemen sarana dan prasarana yang baik diterapkan dapat menciptakan sekolah yang bersih, rapi, indah sehingga menciptakan kondisi yang menyenangkan baik bagi guru maupun murid untuk berada di sekolah. Di samping itu juga diharapkan tersedianya alat-alat atau fasilitas belajar yang memadai secara kuantitatif, kualitas relevan dengan kebutuhan serta dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan proses pendidikan dan pengajaran, baik oleh guru sebagai pengajar maupun murid-murid sebaga pelajar.
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu bagian kajian dalam administrasi sekolah (School administration), atau administrasi pendidikan (educational administration) dan sekaligus menjadi bidang garapan kepala sekolah selaku administrator sekolah. Secara sederhana, manajemen sarana dan prasarana pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses kerja sama pendayagunaan semua perlengkapan pendidikan secara efektif dan efesien (Ike Malaya Sinta: 4:(1): 2019: 81).
Ruang Lingkup Manajemen Sarana dan Prasarana
Rohiat (2008:26) menjelaskan bahwa manajemen sarana dan prasarana merupakan keseluruhan proses perencanaan, pengadaan, pendayagunaan dan pengawasan sarana dan prasarana yang digunakan agar tujuan pendidikan disekolah dapat tercapai dengan efektif dan efisien. Kegiatan manajemen sarana dan prasarana meliputi: a). Perencanaan, Bafadal (2004:26) menjelaskan bahwa perencanaan sarana dan prasarana adalah suatu proses memikirkan dan menetapkan program pengadaan fasilitas sekolah, baik yang berbentuk sarana maupun prasarana pendidikan dimasa yang akan datang untuk mencapai tujuan tertentu; b). Pengadaan, Suryosubroto (2004:116) menjelaskan bahwa ada beberapa kemungkinan yang bias ditempuh untuk pengadaan sarana dan prasarana pendidikan, yaitu dengan pembelian, pembuatan sendiri; c). Penerimaan, Hibah atau bantuan, penyewaan, pinjaman, pendaur-ulangan, penukaran dan perbaikan atau rekondisi; d). Penginventarisasian, Sulistyowati (2006:34) kegiatan yang harus dilakukan berkenaan dengan inventarisasi adalah sebagai berikut: (1) pencatatan sarana dan prasarana sekolah dalam buku-buku sarana dan prasarana, (2) klasifikasi dan pemberian kode (Coding) terhadap sarana dan prasarana yang selesai dicatat dalam buku-buku sarana dan prasarana, dan (3) pelaporan sarana dan prasarana kepada pihak-pihak yang selayaknya (stakeholder sekolah dan sebagainya). Setiap sekolah dan unit pelaksana teknis wajib membuat laporan barang inventaris untuk disampaikan kepada pihak-pihak terkait ( Mujamil Qomar: 2015: 380).
Menurut Werang (2015:142) bahwa ruang lingkup manajemen sarana dan prasarana pendidikan meliputi: (1) perencanaan kebutuhan sarana dan prasarana, (2) pengadaaan sarana dan prasarana, (3) inventarisasi sarana dan prasarana, (4) penyimpanan sarana dan prasarana, (5) pemeliharaan sarana dan prasarana, (6) penghapusan sarana dan prasarana, dan (7) pengawasan sarana dan prasarana.
Sementara itu ruang lingkup kegiatan manajemen sarana dan prasarana menurut Kementerian Pendidikan Nasional (2013) meliputi: (1) analisis kebutuhan dan perencanaan, (2) pengadaan, (3) inventarisasi, (4) pendistribusian dan pemanfaatan, (5) pemeliharaan, (6) penghapusan, dan (7) pengawasan dan pertanggungjawaban (pelaporan) ( Rusydi Ananda dan Oda Kinata Banurea: 2017: 28).
Penutup
Landasan Ideal Perguruan Tinggi Islam Terdapat dua sumber dalam pendidikan Islam yaitu Alquran Dan Sunnah. Sejak awal pewahyuan, Al-quran telah mewarnai jiwa rasul dan para sahabatnya yang menyaksikan turunnya kitab tersebut. Dengan demikian, ketika aisyah ditanya akhlak Rasulullah, ia menjelaskan bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-quran. Landasan ideal pendidikan Islam menurut Zubaedi terdiri dari Landasan Al-Quran, sunnah, kata-kata sahabat mazhab sahabi, Kemaslahatan masyarakat masalihul mursalah, nilai-nilai dan adat Istiadat masyarakat urf, dan hasil pemikiran muslim ijtihad. Tujuan didirikan Perguruan Tinggi Islam, Pengertian Manajemen Sarana dan Prasarana. Tujuan didirikan Perguruan tinggi Islam Tugas dan Fungsi Direktorat DIKTIS Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agama RI PMA No. 422016, Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Direktorat PTKI merupakan salah satu unit kerja yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang memiliki fungsi sebagai berikut Perumusan kebijakan di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam Koordinasi dan pelaksanaan kebijakan di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam Peningkatan kualitas pendidikan karakter mahasiswa Fasilitasi sarana dan prasarana serta pendanaan pendidikan tinggi keagamaan Islam Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam Fasilitasi pelaksanaan penjaminan mutu pendidikan tinggi keagamaan Islam Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam Pelaksanaan evaluasi dan laporan di bidang akademik, ketenagaan, sarana dan prasarana, kemahasiswaan, kelembagaan dan kerja sama penelitian dan pengabdian pada masyarakat pada pendidikan tinggi keagamaan Islam Fasilitasi penilaian angka kredit fungsional dosen dan Pelaksanaan administrasi direktorat.