Surabaya, 11 Juni 2025 – Tak semua negara memilih tarif pajak rendah untuk menarik simpati wajib pajak. Di berbagai belahan dunia, terutama di Eropa dan beberapa negara Afrika, pajak penghasilan (PPh) justru ditetapkan sangat tinggi, baik untuk individu maupun badan usaha. Namun, tarif yang tinggi ini bukan tanpa alasan. Ia hadir sebagai bagian dari kontrak sosial: masyarakat membayar lebih agar negara hadir lebih kuat, lebih adil, dan lebih menjamin kesejahteraan.
Negara-Negara dengan PPh Tertinggi per 2024–2025
Menurut laporan The Economic Times, berikut daftar negara dengan tarif PPh tertinggi di dunia:
- Pantai Gading – 60%
- Finlandia – 56,95%
- Jepang – 55,95%
- Denmark – 55,9%
- Austria – 55%
- Belgia – 53,7%
- Swedia – 52%
- Belanda – 49%
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia menerapkan sistem PPh progresif, mulai dari 5% untuk penghasilan rendah, hingga maksimal 30% bagi penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun. Tarif ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara maju, namun tetap menjadi sumber utama penerimaan negara di tengah keterbatasan eksploitasi sumber daya alam dan ketergantungan pada konsumsi domestik.
Per April 2025, Kementerian Keuangan melaporkan penerimaan pajak sebesar Rp 557,1 triliun. Meskipun angkanya menunjukkan tren positif pascapandemi dan perlambatan ekonomi global, realisasi tersebut masih lebih rendah 10,8% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Guna meningkatkan performa institusi perpajakan, pemerintah menunjuk Bimo Wijayanto sebagai Direktur Jenderal Pajak yang baru pada 23 Mei 2025. Bimo dikenal sebagai birokrat muda dengan pendekatan digitalisasi pajak dan peningkatan transparansi. Penunjukan ini dipandang sebagai langkah strategis menuju reformasi sistem perpajakan yang lebih modern dan terpercaya.
Pandangan Praktisi Pajak: Eko Wahyu Pramono
Menurut Eko Wahyu Pramono, praktisi pajak muda yang juga sedang menempuh Pendidikan ilmu hukum, tarif pajak rendah seharusnya menjadi keunggulan strategis, bukan malah menjadi titik lemah penerimaan negara. “PPh kita sebenarnya sudah cukup kompetitif secara global. Tantangan utamanya bukan tarif, melainkan efektivitas sistem pemungutan dan trust issue antara negara dan wajib pajak,” jelas Eko.
Ia menilai bahwa reformasi perpajakan harus mengarah pada peningkatan pelayanan, pemangkasan prosedur, serta penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran perpajakan. “Kepatuhan pajak tidak bisa dibangun hanya lewat denda atau insentif. Ia lahir dari rasa percaya bahwa uang yang dibayarkan benar-benar kembali ke masyarakat dalam bentuk pelayanan yang nyata,” tambahnya.
Eko juga menekankan bahwa transparansi dalam pengelolaan APBN, akses publik terhadap laporan pemanfaatan pajak, serta pemberantasan korupsi akan sangat menentukan bagaimana masyarakat merespons kewajiban perpajakan mereka.
Komentar Konsultan Pajak: Yulianto Kiswocahyono
Menanggapi pernyataan Eko Wahyu, Yulianto Kiswocahyono, seorang konsultan pajak terkemuka, mengatakan bahwa meskipun tarif pajak rendah dapat menjadi keunggulan kompetitif, hal itu tetap harus diimbangi dengan transparansi yang jelas dalam pengelolaan pajak.“Tarif pajak yang kompetitif memang bisa menarik lebih banyak wajib pajak, namun pengelolaan yang transparan dan efisien jauh lebih penting. Pemerintah harus bisa menunjukkan bagaimana dana yang terkumpul benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas layanan publik,” ujar Yulianto.
Menurutnya, reformasi perpajakan di Indonesia harus lebih fokus pada modernisasi sistem, pengurangan birokrasi yang tidak perlu, serta pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemungutan pajak. “Jika masyarakat merasa bahwa kontribusi pajaknya digunakan dengan baik, kepercayaan terhadap sistem perpajakan akan meningkat,” tambahnya.
Pajak sebagai Kontrak Sosial: Indonesia ke Mana?
Pengalaman negara-negara dengan tarif PPh tinggi memberikan pelajaran penting: pajak bukan sekadar pungutan, melainkan instrumen untuk mendistribusikan keadilan sosial. Ketika negara hadir secara nyata dalam kehidupan masyarakat lewat pendidikan, layanan kesehatan, dan perlindungan sosial, masyarakat pun akan bersedia berkontribusi lebih besar.
Indonesia memiliki potensi besar untuk memperkuat peran pajak sebagai jembatan menuju kesejahteraan merata. Namun, hal itu hanya akan terwujud jika integritas, efisiensi, dan kepercayaan publik menjadi fondasi utama dalam tata kelola perpajakannya ke depan.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Mas Andre Hariyanto