Suara Utama.- Pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump (2017–2021) dan dilanjutkan saat ini (2025 – 2029), kebijakan perdagangan luar negeri Amerika Serikat mengalami pergeseran besar. Dengan semangat proteksionisme yang tinggi, Trump menerapkan strategi tarif sebagai alat utama untuk “melindungi” industri domestik dan mengurangi defisit perdagangan, terutama terhadap Tiongkok. Namun, strategi yang awalnya dimaksudkan sebagai senjata ekonomi justru menimbulkan efek bumerang yang merugikan banyak sektor dalam negeri.
Strategi Tarif Trump yang melatarbelakanginya, Trump meyakini bahwa Amerika Serikat telah terlalu lama dirugikan dalam hubungan dagang internasional. Ia menganggap bahwa negara-negara seperti Tiongkok memanfaatkan pasar AS tanpa memberikan akses yang setara. Maka, diberlakukannya tarif tinggi terhadap barang-barang impor, terutama dari Tiongkok, Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa, dianggap sebagai langkah pembalasan sekaligus bentuk tekanan agar negara-negara tersebut mau bernegosiasi ulang dalam perjanjian dagang.
Tarif ini dikenal dengan istilah “perang dagang”, yang secara formal dimulai pada tahun 2018, ketika AS mengenakan tarif sebesar 25% terhadap impor baja dan 10% terhadap aluminium, diikuti oleh tarif miliaran dolar atas berbagai barang konsumsi Tiongkok.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tujuan versus Realitas : Secara teori, tarif memang dapat memberi ruang bernapas bagi produsen domestik dengan membuat barang impor menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif. Namun dalam praktiknya, realitas yang terjadi justru jauh dari harapan:
- Beban Tambahan bagi Konsumen dan Pelaku Usaha,
Kenaikan tarif menyebabkan harga barang impor melonjak. Banyak perusahaan AS yang bergantung pada komponen impor (misalnya dalam industri otomotif, elektronik, dan manufaktur) terpaksa menanggung biaya produksi yang lebih tinggi. Biaya ini kemudian dibebankan pada konsumen melalui kenaikan harga. Inflasi pun ikut terdongkrak, dan daya beli masyarakat menurun. - Gangguan pada Rantai Pasok Global, dalam dunia yang semakin terintegrasi secara ekonomi, banyak perusahaan AS tergabung dalam rantai pasok global. Tarif membuat rantai pasok ini terganggu, menyebabkan ketidakpastian pasokan bahan baku, keterlambatan produksi, hingga pemangkasan tenaga kerja.
- Pembalasan dari Negara Mitra Dagang, Negara-negara yang terkena tarif AS merespons dengan menerapkan tarif balasan terhadap produk-produk asal AS, mulai dari kedelai, bourbon, hingga sepeda motor Harley-Davidson. Ini menghantam petani AS dan industri ekspor yang selama ini sangat bergantung pada pasar luar negeri.
- Dampak pada Petani AS, Salah satu dampak paling nyata terlihat di sektor pertanian. Produk-produk seperti kedelai dan jagung, yang biasanya diekspor dalam jumlah besar ke Tiongkok, mengalami penurunan permintaan drastis akibat tarif balasan. Banyak petani mengalami kerugian besar hingga pemerintah AS harus memberikan bantuan miliaran dolar sebagai subsidi penyangga.
- Minimnya Keberhasilan dalam Menurunkan Defisit Dagang Ironisnya, meskipun salah satu tujuan utama tarif adalah mengurangi defisit perdagangan, hasilnya tidak signifikan. Defisit dagang AS terhadap Tiongkok bahkan sempat meningkat dalam beberapa periode setelah tarif diberlakukan, karena ekspor AS tidak mampu mengimbangi penurunan impor.
Efek Jangka Panjang dan Warisan Kebijakan, Meski pemerintahan Biden tidak sepenuhnya mencabut kebijakan tarif Trump, pendekatan yang lebih multilateral mulai diperkenalkan kembali. Namun, warisan kebijakan tarif Trump meninggalkan luka struktural dalam perdagangan global dan menggeser persepsi tentang peran AS sebagai pendukung perdagangan bebas.
Banyak analis ekonomi menilai bahwa strategi tarif Trump * ‘ lebih bersifat politis ketimbang ekonomis’. Seperti yang pernah disampaikan oleh Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan RI bahwa terkait Tarif Trump tidak bisa memakai Rumus Ekonomi karena terkait perang Tarif, memang ada benarnya juga, karena rumus ekonomi tentu akan terukur kilas balik hubungan ekspor impor yang stabil, continue dan komitmen yang terjaga secara timbal balik. * Ada Beberapa analis ekonomi, seperti Syafrudin Karimi (Ekonom Unand) dan Listya Endang (Peneliti UII), menilai kebijakan tarif Trump lebih bersifat politis daripada ekonomis. Syafrudin menilai kebijakan ini menciptakan kekacauan untuk menyita perhatian global dari isu lain, sedangkan Listya melihatnya sebagai bentuk proteksionisme yang mengutamakan keuntungan domestik, bukan keadilan perdagangan.
Langkah-langkahnya Trump, meski populer di kalangan pendukungnya karena narasi retorika “America First”, tidak membawa hasil yang sepadan dengan kerugian yang ditimbulkan terhadap sektor riil.
Kesimpulan: Senjata yang Berbalik Arah, Strategi tarif sebagai alat perlindungan ekonomi nyatanya menjadi senjata makan tuan. Alih-alih memperkuat daya saing industri domestik, kebijakan ini justru merusak ekosistem dagang yang selama ini menopang pertumbuhan ekonomi AS. Dalam dunia yang saling bergantung, isolasionisme ekonomi bukan hanya kontra-produktif, tetapi juga berisiko tinggi.
Kisah strategi tarif Trump menjadi pelajaran bahwa kebijakan ekonomi harus dilandasi oleh data, bukan hanya retorika. Dan bahwa dalam perdagangan global, kemenangan bukan ditentukan oleh siapa yang paling keras menutup pintu, tetapi oleh siapa yang paling cerdas membangun jembatan.
Penulis : Tonny Rivani