SUARA UTAMA – Dalam lanskap geopolitik kontemporer, Iran sering muncul sebagai aktor yang tak hanya memainkan peran politik regional, tetapi juga menyuarakan wacana alternatif terhadap dominasi global Barat. Sejak Revolusi Islam 1979, Iran memosisikan dirinya sebagai pembela kaum tertindas (mustadh’afin), menjadikan prinsip keadilan sosial, kedaulatan bangsa, dan perlawanan terhadap hegemoni sebagai fondasi utama politik luar negerinya.
Dalam kerangka inilah, tokoh-tokoh seperti Ali Larijani menampilkan peran intelektual yang strategis: menjembatani antara ideologi revolusioner dan diplomasi global melalui artikulasi pemikiran tentang ilmu, martabat, dan perlawanan.
“𝙅𝙞𝙠𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙞𝙣𝙞 𝙠𝙖𝙢𝙞 𝙙𝙞𝙡𝙖𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙢𝙥𝙚𝙧𝙠𝙖𝙮𝙖 𝙪𝙧𝙖𝙣𝙞𝙪𝙢, 𝙗𝙚𝙨𝙤𝙠 𝙠𝙖𝙢𝙞 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙡𝙖𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧 𝙛𝙞𝙨𝙞𝙠𝙖. 𝙇𝙖𝙡𝙪, 𝙖𝙥𝙖 𝙡𝙖𝙜𝙞 𝙨𝙚𝙩𝙚𝙡𝙖𝙝 𝙞𝙩𝙪?” Kutipan lugas itu datang dari Mohammad-Javad Ardeshir Larijani, seorang politikus konservatif Iran yang tak asing dalam pusaran geopolitik dunia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Larijani bukan sekadar pejabat tinggi. Ia adalah seorang matematikawan ulung, diplomat ulung, dan penasihat utama Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei. Di tengah tekanan Amerika Serikat terhadap program nuklir Iran, Larijani menyampaikan kritik tajam yang menyentuh urat nadi peradaban dunia modern: hegemoni atas ilmu pengetahuan.
𝙈𝙚𝙣𝙜𝙖𝙥𝙖 𝙄𝙡𝙢𝙪 𝘿𝙞𝙟𝙖𝙙𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙏𝙖𝙧𝙜𝙚𝙩?
Menurut Larijani, Barat—khususnya Amerika—tak hanya ingin Iran berhenti memperkaya uranium. Lebih dari itu, mereka ingin mencegah bangsa-bangsa merdeka tumbuh secara ilmiah dan strategis.
“𝘿𝙖𝙧𝙞 𝙨𝙪𝙙𝙪𝙩 𝙥𝙖𝙣𝙙𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖, 𝙠𝙖𝙢𝙞 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙨𝙚𝙝𝙖𝙧𝙪𝙨𝙣𝙮𝙖 𝙗𝙚𝙡𝙖𝙟𝙖𝙧 𝙛𝙞𝙨𝙞𝙠𝙖, 𝙢𝙖𝙩𝙚𝙢𝙖𝙩𝙞𝙠𝙖, 𝙖𝙩𝙖𝙪 𝙞𝙡𝙢𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙚𝙧𝙙𝙖𝙮𝙖𝙠𝙖𝙣. 𝙆𝙖𝙢𝙞 𝙨𝙚𝙗𝙖𝙞𝙠𝙣𝙮𝙖 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙛𝙤𝙠𝙪𝙨 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙢𝙪𝙨𝙞𝙠, 𝙩𝙖𝙧𝙞, 𝙙𝙖𝙣 𝙣𝙮𝙖𝙣𝙮𝙞𝙖𝙣.”
Apa yang ia ungkapkan bukan sekadar retorika anti-Barat. Ia sedang menyuarakan kegelisahan seluruh dunia yang tertindas—kaum mustaḍ‘afīn—tentang bagaimana sains dan teknologi sering dijadikan alat kontrol, bukan pembebasan.
𝙄𝙡𝙢𝙪: 𝙎𝙚𝙣𝙟𝙖𝙩𝙖 𝙖𝙩𝙖𝙪 𝘾𝙖𝙝𝙖𝙮𝙖?
Sejarah membuktikan: umat Islam pernah menjadi pelopor ilmu pengetahuan dunia. Dari Baghdad ke Kordoba, dari Khwarizmi hingga Ibnu Sina—ilmu adalah cahaya, bukan senjata.
Namun, hari ini, akses terhadap ilmu dan teknologi justru dipagari oleh kekuasaan global. Negara-negara berkembang ditekan melalui embargo teknologi, pengawasan riset, hingga pembentukan opini publik melalui media massa.
Larijani tahu ini. Ia berbicara lantang. Bukan hanya untuk Iran, tetapi untuk semua bangsa yang ingin merdeka dengan ilmu.
𝙋𝙚𝙨𝙖𝙣 𝘽𝙖𝙜𝙞 𝙆𝙖𝙪𝙢 𝙈𝙪𝙨𝙩𝙖𝙙𝙝‘𝙖𝙛𝙞𝙣
Artikel ini bukan ajakan untuk perang. Ini adalah panggilan untuk kesadaran dan kebangkitan ilmu.
1. Bangsa yang lemah dalam ilmu akan selalu bergantung.
2. Ketergantungan teknologi menciptakan ketergantungan ekonomi dan politik.
3. Budaya konsumtif dan hiburan berlebihan adalah strategi halus menjauhkan kita dari ilmu yang membebaskan.
𝘼𝙥𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙃𝙖𝙧𝙪𝙨 𝘿𝙞𝙡𝙖𝙠𝙪𝙠𝙖𝙣?
Untuk kaum mustaḍ‘afīn—umat tertindas di mana pun berada—pesan Larijani adalah ajakan untuk:
• Menekuni ilmu dan teknologi strategis (fisika, matematika, rekayasa, kedokteran, dsb).
• Membangun kemandirian budaya dan pemikiran.
• Menolak dikotomi palsu antara agama dan ilmu.
• Melihat ilmu bukan hanya sebagai alat ekonomi, tetapi sebagai alat izzah dan pembebasan.
𝙒𝙖𝙧𝙞𝙨𝙖𝙣 𝙌𝙪𝙧’𝙖𝙣𝙞
Allah berfirman:
“𝘿𝙖𝙣 𝙆𝙖𝙢𝙞 𝙝𝙚𝙣𝙙𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙚𝙧𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙧𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙠𝙚𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜-𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙩𝙞𝙣𝙙𝙖𝙨 𝙙𝙞 𝙢𝙪𝙠𝙖 𝙗𝙪𝙢𝙞 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙙𝙞𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙧𝙚𝙠𝙖 𝙥𝙚𝙢𝙞𝙢𝙥𝙞𝙣 𝙨𝙚𝙧𝙩𝙖 𝙢𝙚𝙬𝙖𝙧𝙞𝙨𝙞 𝙗𝙪𝙢𝙞.”
(QS. Al-Qashash: 5)
Ali Larijani bukan hanya politisi senior dalam sistem Republik Islam Iran—pernah menjabat sebagai Ketua Parlemen dan perwakilan dalam berbagai forum internasional—tetapi juga seorang pemikir yang memadukan pandangan filsafat Islam dengan analisis politik modern. Melalui pidato-pidato dan tulisan-tulisannya, Larijani menyoroti pentingnya ilmu sebagai alat emansipatoris, bukan sekadar instrumen teknokratis yang tunduk pada kekuasaan global. Ia menawarkan perspektif bahwa ilmu harus berpihak kepada nilai-nilai kemanusiaan, membela yang lemah, dan menolak subordinasi epistemik maupun politik yang dilakukan oleh negara-negara adikuasa.
Kajian ini berusaha menelusuri dan membedah gagasan-gagasan Larijani dalam konteks bagaimana Iran mencoba berbicara kepada dan untuk dunia—mengangkat suara mereka yang terpinggirkan, menantang narasi dominan global, serta menawarkan model peradaban alternatif yang berbasis pada moralitas, keadilan, dan keberpihakan kepada mustadh’afin. Di tengah dunia yang kian diwarnai oleh ketimpangan dan krisis legitimasi global, suara seperti Larijani layak dikaji bukan hanya sebagai representasi posisi politik Iran, tetapi juga sebagai refleksi atas pertarungan ideologis dan moral dunia kontemporer.
Topik ini menggambarkan upaya Iran, khususnya melalui tokoh intelektual dan politisi seperti Ali Larijani, dalam memposisikan diri sebagai representasi suara kaum tertindas (mustadh’afin) di dunia internasional.
Istilah mustadh’afin bukan sekadar kelompok yang tertindas secara ekonomi atau politik, tetapi juga simbol dari perjuangan global terhadap penindasan, dominasi, dan ketidakadilan—baik di dunia Muslim maupun dalam tatanan global secara umum.
Ajaran Islam menekankan pentingnya solidaritas dan pembelaan terhadap kaum mustadh’afin, serta upaya untuk mewujudkan keadilan sosial
Surah An-Nisa ayat 75 menyerukan untuk berperang membela orang-orang yang lemah dari kalangan laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang dizalimi
Ali Larijani, sebagai figur penting dalam politik dan pemikiran kontemporer Iran, sering mengusung tema keilmuan, keadilan, dan perlawanan terhadap hegemoni global dalam berbagai forum internasional.
Dalam kerangka itu, Larijani tidak hanya berbicara sebagai pejabat Iran, tetapi membawa pesan ideologis dan moral yang berakar dari revolusi Islam Iran—yang sejak awal menempatkan pembelaan terhadap mustadh’afin sebagai prinsip fundamental.
Melalui pendekatan ilmiah dan retorika filosofis-religius, Larijani menegaskan pentingnya peran ilmu (pengetahuan) sebagai sarana pembebasan, bukan sebagai alat dominasi. Ilmu, dalam pandangannya, harus berada di pihak keadilan dan kebenaran, bukan kekuasaan atau kepentingan segelintir elit global.
Oleh karena itu, Iran di bawah tokoh-tokoh seperti Larijani mencoba membentuk narasi tandingan terhadap arus dominan Barat, dengan menekankan pentingnya martabat kemanusiaan, keadilan sosial, dan kemerdekaan politik bagi bangsa-bangsa dunia.
Topik Judul ini juga menyiratkan bahwa ketika Larijani berbicara, ia tidak hanya mewakili negara Iran, tetapi juga membawa suara-suara yang terpinggirkan, dari Palestina hingga Yaman, dari Afrika hingga Asia Tenggara—sebuah posisi etis-politis yang berusaha membela prinsip-prinsip universal atas nama solidaritas umat manusia.
Judul ini menyoroti Larijani sebagai medium artikulasi Iran dalam mengangkat suara kaum mustadh’afin dunia melalui pendekatan intelektual dan politik yang khas.
Topik kajian ini sebagai ulasan dan cuplikan dari Pandangan Larijani, “Ilmu, Martabat Mustadh’apin : Ketika Iran Bicara untuk Dunia”
Penulis : Tonny Rivani
Editor : Andre Hariyanto
Sumber Berita : Parstoday Ir ID