Blitar, 12 Juni 2025 — Di balik rerimbun pepohonan tua dan tembok tua yang berdiri tegak sejak abad ke-19, terdapat sebuah rumah besar yang tak hanya menyimpan sejarah panjang Blitar, tetapi juga kisah mistis yang melegenda di kalangan masyarakat Jawa. Inilah Pesanggrahan Djojodigdan, rumah peninggalan R.Ng. Bawadiman Djojodigdo, seorang Patih Blitar yang dikenal bijak, sakti, dan dihormati baik oleh rakyat maupun penguasa kolonial.
Jejak Leluhur Perang dan Pengabdian
Djojodigdo bukanlah sosok biasa. Ia lahir di Kulon Progo pada 29 Juli 1827, dalam keluarga bangsawan-pejuang. Kakeknya adalah RT. Projo, Bupati Kulon Progo. Ayahnya, RT. Kartodiwirjo, merupakan salah satu panglima kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825–1830). Kartodiwirjo gugur dalam pertempuran melawan Belanda, dan sejak itu, Djojodigdo bersama ibunya hidup berpindah-pindah demi menghindari kejaran kolonial, hingga akhirnya bermukim di Blitar.
Nasib menuntunnya menjadi tokoh penting. Pada 8 September 1877, Djojodigdo resmi diangkat sebagai Patih Blitar, mendampingi Bupati KPH. Warsokoesoemo. Dengan kecerdasan dan kedekatan pada rakyat, Djojodigdo cepat dikenal sebagai pemimpin yang bukan hanya memerintah, tetapi mengayomi.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Mitos Cemeti Sakti dan Lahar Gunung Kelud
Di luar perannya sebagai pejabat, Djojodigdo juga menjadi tokoh spiritual. Masyarakat Blitar percaya, beliau memiliki ilmu kadigjayaan luar biasa, termasuk cemeti sakti yang konon dapat menundukkan kekuatan alam. Kisah yang paling banyak diceritakan turun-temurun adalah peristiwa letusan Gunung Kelud tahun 1901.
Ketika lahar panas mengancam pusat kota Blitar, Djojodigdo dikabarkan membelokkan aliran lahar dengan ayunan cemeti. Peristiwa itu begitu membekas, hingga Ratu Wilhelmina II dari Belanda menganugerahkan beliau Gold Medal atas jasanya melindungi rakyat dan wilayah dari bencana alam.
Pesanggrahan dan Makam Gantung
Rumah besar yang ia tinggali, Pesanggrahan Djojodigdan, dibangun tahun 1875 bersamaan dengan pembangunan Kantor Bupati Blitar. Tanahnya adalah tanah perdikan, hadiah bagi seorang Patih, yang kini tersisa seluas 2,7 hektar dan dikelola oleh Yayasan Keluarga Djojodigdo.
Namun bukan hanya rumahnya yang penuh cerita. Makam Djojodigdo, yang dikenal sebagai “Makam Gantung”, menyimpan aura misteri yang kuat. Jasad Djojodigdo diyakini tidak dikubur langsung menyentuh tanah, melainkan diletakkan di atas pondasi setinggi 50 cm.
Menurut Lasiman, juru kunci makam, hal ini dilakukan karena Djojodigdo disebut memiliki ilmu Pancasona ilmu keabadian yang membuat seseorang tidak bisa mati selama tubuhnya menyentuh tanah. Maka sebelum wafat, senjata, baju kebesaran, dan ilmunya harus “digantung” secara simbolis agar ruhnya bisa pergi dengan tenang.
“Kalau jasadnya menyentuh bumi, diyakini bisa hidup lagi,” ujar Lasiman, yang telah delapan tahun menjaga kompleks pemakaman itu.
Djojodigdo wafat pada 11 Maret 1909 dalam usia 84 tahun, dan makamnya dibangun pada 18 Agustus 1910. Hingga kini, makam itu masih sering diziarahi, bukan hanya oleh keturunannya, tetapi juga oleh mereka yang mencari ketenangan, inspirasi, bahkan petunjuk gaib.
Warisan yang Hidup di Tengah Zaman
Hari ini, Djojodigdo dikenang sebagai tokoh yang melampaui zamannya: seorang pejabat yang adil, spiritualis yang rendah hati, dan simbol perlawanan yang cerdas terhadap penjajahan.
Antara sejarah dan mitos, nama Djojodigdo tetap hidup. Bagi warga Blitar, ia bukan sekadar bagian dari masa lalu, melainkan sosok penjaga nilai-nilai keadilan, keberanian, dan kebijaksanaan yang terus relevan, bahkan di tengah dunia yang serba digital.
Penulis : Odie Priambodo
Editor : Mas Andre Hariyanto